America First: Trump Batasi Pekerja Asing Masuk AS

19 April 2017 12:22 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Pekerja di Amerika Serikat (Foto: Thinkstock)
Pekerja profesional asing (ekspatriat) dari berbagai negara kemungkinan akan lebih sulit masuk Amerika Serikat, setelah Presiden AS Donald Trump menandatangani perintah eksekutif untuk meninjau ulang program visa H-1B terkait keberadaan pekerja asing terampil di negara itu.
ADVERTISEMENT
Perintah Trump tersebut mesti diwaspadai perusahaan-perusahaan teknologi dan outsourcing AS yang selama ini menggunakan jasa para ekspatriat, akan angin perubahan yang mungkin terjadi di masa mendatang.
Instruksi Trump memperketat visa ekspatriat merupakan wujud janji kampanyenya untuk menomorsatukan warga Amerika di negara mereka sendiri (America First).
Pembatasan visa dilakukan di berbagai sektor dengan satu tujuan, yakni untuk memodifikasi atau mengganti undian untuk visa H-1B yang berlaku saat ini, menjadi sistem berdasarkan jasa.
Kelompok penerima visa H-1B terbesar tercatat berkewarganegaraan India. Maka bila pengetatan visa pekerja asing itu direalisasikan, perusahaan yang bakal terdampak antara lain Tata Consultancy Services Ltd --perusahaan multinasional di bidang teknologi informasi yang berasal India, dan Cognizant Tech Solutions Corp and Infosys Ltd --perusahaan multinasional sektor teknologi digital asal AS.
ADVERTISEMENT
Dua perusahaan itu hampir pasti terkena imbas karena keduanya menghubungkan perusahaan-perusahaan teknologi AS dengan ribuan insinyur dan programmer asing di seluruh dunia. Tata dan Cognizant sampai saat ini belum merespons rencana pembatasan visa pekerja asing tersebut.
Trump mengumumkan instruksi peninjauan visa H-1B pada kunjungannya ke markas Snap-On Inc, produsen peralatan industri dan otomotif AS.
“Dengan langkah ini, kami (pemerintah AS) mengirim sinyal kuat kepada dunia: kami akan membela pekerja-pekerja kami, melindungi lapangan pekerjaan kami, dan menempatkan orang Amerika di urutan pertama,” kata Trump seperti dilansir Reuters, Selasa (18/4).
Ironisnya, Trump --yang merupakan pengusaha sebelum terpilih menjadi Presiden AS-- dulu kerap menerima kritik karena perusahaan-perusahaannya menggunakan program visa untuk mendatangkan pekerja asing. Produk-produk keluaran perusahaan Trump juga dibuat di luar negeri.
Presiden AS Donald Trump. (Foto: Reuters)
Mendekati 100 hari masa kepresidenannya, Trump dinilai masih belum memiliki pencapaian menonjol di bidang legislasi atau kebijakan undang-undang. Upayanya merombak aturan kesehatan dan pajak sebelumnya terhenti di Kongres.
ADVERTISEMENT
Kini, belum jelas apakah perintah eksekutif terbaru Trump soal pembatasan ekspatriat akan segera memperlihatkan hasil.
“Kami berharap tujuan perintah eksekutif Presiden Trump atas program H-1B adalah untuk memperbaiki, bukan mengakhirinya,” kata Robert Atkinson, Presiden Information Technology and Innovation Foundation --sebuah grup industri teknologi.
Seleksi visa H-1B yang menekankan pada sistem jasa, menurut Atkinson, dapat menarik minat lebih banyak orang dengan kemampuan teknologi dan pengetahuan yang mumpuni. Namun, sejumlah kemungkinan aturan dapat membuat sistem tersebut tak efektif, misalnya syarat pembuktian ketiadaan pekerja AS dengan memasang iklan lowongan pekerjaan untuk waktu lama --dan tanpa hasil.
Visa Amerika Serikat (Foto: Thinkstock)
Perintah eksekutif Trump soal visa pekerja asing dinilai Demokrat tak kuat dan terlambat, sebab ribuan visa telah diberikan tahun ini.
ADVERTISEMENT
Program visa H-1B dikritik sebagian warga AS karena diberikan kepada orang-orang yang dibayar lebih rendah oleh perusahaan-perusahaan outsourcing yang kebanyakan berbasis di India. Hal itu membuat para penerima visa tersebut mengambil lapangan pekerjaan dari orang Amerika, dan menurunkan tingkat upah di negeri itu.
“Saat ini, penyalahgunaan luas dalam sistem imigrasi kami membuat pekerja-pekerja Amerika dari semua latar belakang, digantikan oleh para pekerja dari negara lain,” kata Trump.
Perubahan aturan pada visa H-1B bertujuan agar perusahaan-perusahaan di AS benar-benar merekrut pekerja asing dengan keahlian khusus seperti memiliki ilmu pengetahuan, teknik, atau pemrogaman komputer tertentu.
Setiap tahun, pemerintah AS melakukan pengundian untuk memberikan 65 ribu visa, dan mendistribusikan 20 ribu visa lain secara acak untuk pekerja mahasiswa yang baru lulus.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut dianggap menguntungkan perusahaan-perusahaan outsourcing --yang kemudian menggunakan sistem itu untuk mengajukan banyak aplikasi dari para pekerja teknologi informasi berupah rendah.
“Pemerintah harus memberikan visa kepada pemohon dengan keahlian paling tinggi, dan pembayaran paling tinggi pula. Visa tidak boleh digunakan untuk menggantikan pekerja Amerika,” tegas Trump.
Facebook. (Foto: AP Photo/Noah Berger)
Berdasarkan hasil olah data Reuters dari Departemen Tenaga Kerja AS, lebih dari 15 persen pekerja Facebook --layanan jejaring sosial yang berkantor pusat di California, AS-- pada tahun 2016 menggunakan visa kerja sementara.
Sementara Infoys, perusahaan jasa teknologi informasi global yang bermarkas di India dan memiliki kantor di 33 negara termasuk AS, mengatakan dapat bekerja sama dengan pusat-pusat pengembangan di AS untuk melatih bakat-bakat lokal guna mengantisipasi kebijakan perubahan aturan visa bagi pekerja asing.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Perdana Menteri India Narendra Modi mendesak Washington untuk berpikiran terbuka dan mengakui keahlian para pekerja India.
Isu tentang pekerja asing dan lokal memang kerap jadi sorotan di sejumlah negara, tak terkecuali Indonesia yang beberapa kali diributkan oleh dugaan pekerja China yang membanjiri sejumlah pabrik di daerah-daerah tertentu.
Hal serupa juga terjadi di Singapura. Negeri Singa membatasi pekerja asing dan mendahulukan lapangan pekerjaan bagi tenaga lokal --yang belakangan mengalami peningkatan angka pengangguran.
Ilustrasi Pekerja di Amerika Serikat (Foto: Thinkstock)