Longsornya Sisi Barat Daya Anak Krakatau Diduga Jadi Pemicu Tsunami

24 Desember 2018 6:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Semburan material vulkanik Anak Gunung Krakatau. (Foto: Dicky Adam Sidiq/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Semburan material vulkanik Anak Gunung Krakatau. (Foto: Dicky Adam Sidiq/kumparan)
ADVERTISEMENT
Tsunami pada Sabtu (22/12) lalu yang melanda kawasan di sekitar Selat Sunda tepatnya Anyer, Banten dan Lampung Selatan, masih meninggalkan duka mendalam bagi Bangsa Indonesia. 222 Orang tewas akibat tsunami tersebut.
ADVERTISEMENT
Menurut ahli vulkanologi yang pernah jadi peneliti di LIPI, Prof Hery Harjono dalam keterangannya, Minggu (23/12), tsunami itu diduga terjadi akibat longsor di sisi barat daya Anak Krakatau. Meski awalnya Hery terkejut tsunami tersebut dikaitkan dengan Krakatau.
"Runtuhnya sisi barat daya Anak Krakatau tampaknya makin kuat menjelaskan penyebab tsunami. Saya semula terkejut tsunami dikaitkan dengan erupsi Anak Krakatau.," kata Hery.
"Bukankah letusan Anak Krakatau yang terjadi kali ini biasa-biasa saja, seperti yang sudah-sudah. Tak istimewa," lanjut dia.
Ilustrasi Longsoran Anak Krakatau di Sisi Barat Daya. (Foto: Dok. Paper Deplus)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Longsoran Anak Krakatau di Sisi Barat Daya. (Foto: Dok. Paper Deplus)
Bahkan mantan Deputi bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian LIPI ini menjelaskan rekan-rekannya yang menjadi vulkanolog memberitahu bahwa letusan di anak Krakatau itu masuk dalam kategori biasa. Hery lalu menuturkan, dia sempat membuka catatan Christine Deplus dari IPG Paris yang ditulis tahun 1995.
ADVERTISEMENT
"Intinya adalah pertumbuhan Anak Krakatau yang cenderung ke arah barat daya. Pertumbuhan itu begitu cepat yang tentu sebanding aktivitas anak super aktif ini," ucap Hery.
Ilustrasi Longsoran Anak Krakatau di Sisi Barat Daya. (Foto: Dok. Paper Deplus)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Longsoran Anak Krakatau di Sisi Barat Daya. (Foto: Dok. Paper Deplus)
Hery kemudian mengingat kejadian 30 tahun lalu saat mulai melakukan riset di Anak Krakatau bersama tim dari Prancis. Ketika itu dia menggunakan perahu kecil bersama 2 teknisi Geotek dan disergap badai.
"Doa terus tak putus. Bahkan kapal mesin yang membawa peralatan geofisika milik Prancis terseret ke Pulau Bangka," ungkapnya.
Ilustrasi Longsoran Anak Krakatau di Sisi Barat Daya. (Foto: Dok. Paper Deplus)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Longsoran Anak Krakatau di Sisi Barat Daya. (Foto: Dok. Paper Deplus)
Dalam tulisan Deplus, dijelaskan Hery, muntahan material vulkanik dari perut anak Krakatau yang lahir 27 Desember 1927 tepat di dinding utara Kaldera 1883 terus menumpuk dan membuat ia makin tinggi. Kemudian sisi barat daya tampak lebih curam dibandingkan sisi lainnya.
ADVERTISEMENT
"Tentu ini merupakan bagian yang labil dan jika melorot atau longsor tentu dapat memicu tsunami. Deplus dan kawan-kawan menulis demikian," beber Hery.
Ilustrasi Longsoran Anak Krakatau di Sisi Barat Daya. (Foto: Dok. Paper Deplus)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Longsoran Anak Krakatau di Sisi Barat Daya. (Foto: Dok. Paper Deplus)
Hery menyebut boleh jadi bagian di sebelah barat daya anak Krakatau yang longsor itulah penyebab tsunami. Hery mengatakan sudah seharusnya kini dilakukan pemetaan dasar laut di area Anak Krakatau.
"Tak usah menunggu datangnya tsunami berikutnya. Itu tak sulit dilakukan. Barangkali yang perlu juga dipikirkan apa pemicu longsoran itu?" jelasnya.
Gambar dari udara kondisi Anak Gunung Krakatau. (Foto: Dicky Adam Sidiq/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Gambar dari udara kondisi Anak Gunung Krakatau. (Foto: Dicky Adam Sidiq/kumparan)
Terakhir, dalam keterangannya, Hery menyampaikan tahun 2018 ini adalah tahun kejutan bagi para ahli kebumian. Karena sudah beberapa kali tsunami menerjang Indonesia.
"Seismic swarm Lombok, tsunami dan land movement Palu, dan Tsunami Selat Sunda. Ketiganya sempat membuat para ahli 'kaget'. Kok rasanya perlu 'grand design' riset kebumian di Indonesia atau sudah ada? Apalagi universitas dan lembaga penelitian sudah satu atap. Nunggu apa lagi," tutur Hery Harjono.
ADVERTISEMENT