Ancaman Penyu Kini: Manusia dan Sampah Plastik

4 April 2018 20:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kelompok Konservasi Penyu Saba Asri (Foto: Cisilia Agustina Siahaan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kelompok Konservasi Penyu Saba Asri (Foto: Cisilia Agustina Siahaan/kumparan)
ADVERTISEMENT
Butuh waktu kurang lebih 45 hingga 50 hari, tergantung cuaca, untuk telur penyu menetas hingga menjadi seekor tukik. Tak bisa langsung dilepas, butuh waktu hingga tukik tersebut dianggap siap. Made Kikik, pengelola KKP Saba Asri menyampaikan, di tempatnya saat ini membutuhkan waktu satu minggu untuk kemudian tukik dapat dilepas. Dengan tolak ukur bahwa tukik sudah bisa makan dan berenang.
ADVERTISEMENT
Namun melepaskan tukik tak bisa begitu saja, ada tata cara tersendiri untuk melepas tukik atau anak penyu ini. Selain posisi pelepasan dari belakang, pelepasan penyu ini harus dilakukan secara berkelompok atau dalam jumlah besar dan menghindari area fish feeding station agar penyu tidak dimakan ikan pemangsa. Jumlah tukik yang dilepaskan pun harus didata dan dilaporkan ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali. Edukasi tersebut disampaikan Kikik, diberikan kepada para pengunjung atau wisatawan yang melepas tukik termasuk informasi secara lebih luas terkait konservasi penyu.
Hanya saja permasalahan saat ini bukan hanya ancaman predator di laut. Tapi manusia dan sampah plastik turut menjadi kendala utama keberlangsungan tukik dan penyu. Ia menyampaikan bahwa saat akan melepas tukik saja, tantangannya hari ini adalah kondisi pantai yang kotor dari sampah plastik.
ADVERTISEMENT
“Jadi ancamannya paling besar itu manusia dan sampah plastik. Sekarang mau lepas tukik saja, pantainya penuh sampah plastik. Belum lagi yang di tengah laut yang susah kita akses,” ujar Kikik.
Kelompok Konservasi Penyu Saba Asri (Foto: Cisilia Agustina Siahaan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kelompok Konservasi Penyu Saba Asri (Foto: Cisilia Agustina Siahaan/kumparan)
“Itu Pak Kikik sampai harus bersihin dulu sampah di pantai sebelum melepas tukik,” kata Kadek Boim, rekan Made Kikik.
Kikik menyampaikan bahwa perbandingan tukik bisa hidup dan tumbuh menjadi seekor penyu, adalah 1000:1. Hal tersebut karena ancaman dari sekitar. Saat masih berwujud telur, telur penyu ini terancam dari manusia dan anjing yang mengonsumsi. Begitu menetas menjadi tukik, ancaman muncul dari predator di laut dan sampah plastik, di mana ini juga merupakan hasil perbuatan manusia. Dan setelah besar menjadi penyu terancam dari manusia dan sampah plastik.
ADVERTISEMENT
“Jadi sekarang ancamannya sampah plastik, ketika di laut mereka makan sampah plastik, itu kan berbahaya. Apalagi sampah plastik itu di mana-mana. Dan juga human error, hampir 90 persen predatornya adalah manusia, mereka yang menjual daging penyu,” katanya.
Kelompok Konservasi Penyu Saba Asri (Foto: Cisilia Agustina Siahaan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kelompok Konservasi Penyu Saba Asri (Foto: Cisilia Agustina Siahaan/kumparan)
Sempat Gagal
Bukan hanya pandangan sebelah mata dari masyarakat sekitar, atau sempat tak didukung pihak keluarga. Namun kendala lain kerap dialami, misalnya kegagalan tahun 2016. Di mana terjadi banjir karena luapan air laut yang tinggi hingga ke area konservasi.
Saat itu ada 27 sarang yang terkena imbas banjir dengan rata-rata 100 per satu sarang, berarti ada 2700 telur. Jika diuangkan Rp 3.000 per butir, maka KKP Saba Asri mengalami kerugian lebih dari Rp 8 juta. Itu belum biaya operasional yang sudah dikeluarkan.
ADVERTISEMENT
“Tahun 2016 kami rugi. Karena air laut sempat naik, banjir ke sini, dulu belum ada tembok ini. Ada sekitar 2700 butir yang gagal. Kalau itu diuangkan berapa kami rugi,” katanya.
Kelompok Konservasi Penyu Saba Asri (Foto: Cisilia Agustina Siahaan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kelompok Konservasi Penyu Saba Asri (Foto: Cisilia Agustina Siahaan/kumparan)
Selain itu, ia juga harus menghadapi kendala lain seperti tukik yang sakit. Beberapa waktu yang lalu, Kikik mendapatkan tukik-tukik ini berjamur. Jamur ini menutupi lubang hidung, mulut dan mata. Namun hingga saat ini, belum diketahui penyebab munculnya jamur tersebut.
“Kemarin ini sempat jamuran, sampai stres saya. Kami sudah bertanya juga ke BKSDA dan TCEC Serangan yang lebih dulu dari kami, mereka juga belum tahu mengapa. Jadi waktu itu sementara kami pakai obat merah, karena kan saat menyerang ke badannya jadi luka dan ujungnya mati,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Tantangan lainnya menurut Kikik adalah tempat penetasan telur. Khususnya pada bulan Juli-Agustus bahkan hingga Oktober, jumlah telur yang sangat banyak, namun tempat tidak memadai dan biaya operasional yang tinggi untuk memberikan pakan dalam jumlah yang juga besar.
Konservasi penyu di Pantai Saba Gianyar Bali (Foto: Cisilia Agustina Siahaan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Konservasi penyu di Pantai Saba Gianyar Bali (Foto: Cisilia Agustina Siahaan/kumparan)
Kadang juga, menurut Kikik, kesulitan dialami dari tidak adanya wisatawan yang melepas, di mana wisatawan ini salah satu sumber pendapatan dengan donasi yang mereka berikan untuk pelepasan tukik.
“Kalau musimnya, Juli, Agustus, hingga Oktober itu musim bertelur banyak sekali. Bahkan bisa sampai 5.000 telur. Di sini tempatnya yang tidak memadai. Biaya operasional untuk pakan juga kan butuh banyak. Ini yang sulit, untungnya masih ada bantuan dari yayasan,” kata Kikik.
“Apalagi ini (Pantai Saba) ini belum jadi tourist destination. Jadi mereka enggak tahu tempat ini. Kebanyakan kan di Kuta dan pantai-pantai kawasan pariwisata lainnya,” tambah Kadek Boim.
Konservasi penyu di Saba, Bali. (Foto: dok. Bali Zoo Turtle Conservation via Kitabisa)
zoom-in-whitePerbesar
Konservasi penyu di Saba, Bali. (Foto: dok. Bali Zoo Turtle Conservation via Kitabisa)
Mulai Dilirik Desa
ADVERTISEMENT
Pandangan sebelah mata juga kerap dialami oleh Made Kikik dalam mengelola KKP Saba Asri. Dulu baik desa dan keluarga tidak mendukung apa yang ia lakukan. Bukan hanya minim perhatian, bahkan kerap dicemooh. Namun saat melihat ada perkembangan KKP Saba Asri, baru mulai ada perhatian dari pihak desa. Hanya saja keterlibatan warga sekitar belum ada hingga saat ini.
“Dulu dilihat sebelah mata, dibilang sok kaya, padahal beli beras saja masih ngebon. Seperti itu, baru setelah ada bangunan-bangunan ini kami dilirik. Tahun 2017, kami dikasih dana Rp 10 juta yang kami bayar utang telur, biaya pakan. Tapi ya masih kekurangan juga,” ujarnya.
Sementara itu di awal menekuni konservasi ini, sang istri sempat tidak setuju. Apalagi secara perekonomian ia hidup sangat pas-pasan bahkan cenderung kurang. Namun ia meyakini sang istri daripada terus berjudi dan mabuk-mabukan lebih baik ia melakukan konservasi tersebut.
Konservasi penyu di Pantai Saba Gianyar Bali (Foto: Cisilia Agustina Siahaan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Konservasi penyu di Pantai Saba Gianyar Bali (Foto: Cisilia Agustina Siahaan/kumparan)
Hingga akhirnya tak butuh waktu lama, sang istri luluh bahkan senang ketika melihat anak-anak penyu ini lahir dari telur-telur tersebut. Ditambah lagi waktu untuk keluarga lebih banyak dibandingkan sebelumnya.
ADVERTISEMENT
“Dulu istri gak setuju, katanya untuk makan saja susah tambah lagi ini. Tapi daripada saya judi dan mabuk, dan ternyata lama kelamaan dia senang. Waktu di rumah juga lebih banyak dibanding dulu jarang pulang karena berjudi,” tambahnya.
Saat ini selain mengurusi KKP Saba Asri, Made Kikik juga masih menekuni profesi sebagai nelayan penangkap lobster.
“Sekarang saya masih sebagai nelayan, kalau lagi musim hujan melaut untuk cari lobster kalau sekarang ini memasang jaring saja,” kata Kikik.