Anggiasari Puji, Caleg Difabel yang Sempat Golput karena Susah ke TPS

9 Februari 2019 11:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Calon DPR RI, Anggiasari Puji Aryatie saat kampanye di daerah pemilihannya, di Yogyakarta. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Calon DPR RI, Anggiasari Puji Aryatie saat kampanye di daerah pemilihannya, di Yogyakarta. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Anggiasari Puji Aryatie tak pernah menyangka akan maju menjadi caleg DPR RI pada Pileg 2019. Perempuan kelahiran Jakarta, 6 Agustus 1980 itu merupakan caleg penyandang disabilitas
ADVERTISEMENT
“Kok aku bisa jadi caleg piye, to? (bagaimana, sih?),” katanya saat bercerita dengan separuh bahasa Jawa kepada kumparan, Jumat (8/2).
Perempuan yang akrab disapa Anggi ini berasal dari daerah pemilihan Daerah Istimewa Yogyakarta. Motivasinya maju sebagai caleg sederhana, dia ingin memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas yang selama ini kerap terpinggirkan.
“Selama ini dalam perjalanan hidup saya pun saya paham betul pernah merasakan bagaimana rasanya didiskriminasi, mendapat stigma (dan) perlakuan-perlakuan yang tidak mengenakkan di masyarakat,” ujarnya.
Calon DPR RI, Anggiasari Puji Aryatie saat kampanye di daerah pemilihannya, di Yogyakarta. Foto: Dok. Istimewa
Anggi masih ingat betul pengalaman pahitnya saat hendak masuk SD. Kala itu, ibunya sampai harus memohon kepada kepala sekolah. Memohon supaya Anggi diperbolehkan untuk masuk SD reguler, bukan sekolah luar biasa (SLB).
Usai diterima di SD tersebut, perjuangan Anggi untuk pergi ke sekolah juga lebih keras. Sebagai penyandang akondroplasia, postur tubuh Anggi berbeda dari orang-orang pada umumnya. Hal itu yang membuatnya kesulitan dalam beraktivitas.
ADVERTISEMENT
“Perjalanan dari rumah ke SD itu sendiri pun, juga butuh perjuangan, karena harus naik angkot. Pada saat itu memang belum banyak tanah yang disemen atau apa gitu, jadi ya becek istilahnya, tanah lempung. Ke sekolah pagi-pagi naik angkot, dari pintu masuk ke tangga angkot selanjutnya pun cukup tinggi, jadi memang kadang-kadang berangkat baju putih, sampai sekolah bajunya coklat,” kata Anggi sembari terkekeh mengingat masa lalu.
Calon DPR RI, Anggiasari Puji Aryatie saat kampanye di daerah pemilihannya, di Yogyakarta. Foto: Dok. Istimewa
Namun di tengah perjuangannya yang tidak mudah itu, Anggi selalu teringat dengan nasihat ibunya. Nasihat itulah yang kemudian membuatnya bisa menempuh sekolah tinggi dan lulus dari 3 kampus yakni UGM, Universitas Kristen Duta Wacana, dan Sekolah Bahasa Asing LIA.
“Kamu belajar, kalau kamu pintar orang tidak akan meledek kamu, tunjukkan kalau kamu punya kualitas. Ada sesuatu yang membedakan,” pesan ibunya, sebagaimana ditirukan Anggi.
ADVERTISEMENT
Perjalanan Anggi menjadi caleg pun bukan lantas tiba-tiba. Perempuan yang ramah saat diajak bicara ini sudah lebih dulu punya track record memperjuangkan isu-isu penyandang disabilitas. Dia aktif di berbagai lembaga swadaya masyarakat dalam dan luar negeri, seperti Yakkum, ASB (Jerman), hingga HI (Perancis).
“Kemudian pada 2018 bulan Juli (pendaftaran akhir caleg), saya diminta untuk menjadi calon legislatif DPR sebagai kandidat caleg perempuan yang berkualitas. Jadi waktu itu omongannya atau tembung-nya dari DPW Partai Nasdem Yogyakarta seperti itu. ‘Mbak Anggi, kita butuh calon legislatif perempuan yang berkualitas,’ dan selama ini saya juga berkarya dengan teman-teman disabilitas itu juga sudah cukup lama,” kata Anggi.
Calon DPR RI, Anggiasari Puji Aryatie saat kampanye di daerah pemilihannya, di Yogyakarta. Foto: Dok. Istimewa
Sempat mengalami pergolakan batin Anggi tak pernah punya cita-cita muluk. Sejak kecil keinginannya di masa depan sederhana, yaitu bisa hidup mandiri dan tak merepotkan orang lain. Maka, saat datang tawaran nyaleg dari partai NasDem dirinya mengalami pergolakan batin.
ADVERTISEMENT
“Pergolakan (batin) saya itu sebenarnya, saya itu Golput karena saya susah ke TPS bertahun-tahun.” Ditanya apakah selama hidup belum pernah memilih sekalipun, Anggi menjawab, “Ya, sekali lah 2014, presiden doang,".
Bukan tanpa alasan Anggi tak pergi ke TPS pada pemilu-pemilu sebelumnya. Dia menyoroti perihal infrastruktur TPS yang selama ini bisa menyusahkan penyandang disabilitas seperti dirinya.
Dari soal adanya parit yang kurang ramah bagi pengguna kursi roda, kertas suara yang tak pakai braile untuk tuna netra, hingga peletakan kotak suara yang tidak mampu dijangkau oleh orang dengan tinggi badan 105 cm seperti dirinya.
Calon DPR RI, Anggiasari Puji Aryatie saat kampanye di daerah pemilihannya, di Yogyakarta. Foto: Dok. Istimewa
Oleh sebab itu sejak 2014 lalu, Anggi dan teman-temannya sesama penyandang disabilitas berjuang untuk mengusulkan rekomendasi pendataan ragam disabilitas. Sehingga di TPS, berbagai pemilih penyandang disabilitas bisa difasilitasi dengan baik.
ADVERTISEMENT
“Ketika misalnya Bapak A, oh disabilitasnya misalnya tuna daksa, tuna daksanya misalnya kaki atau tangan. Oh, Ibu C dia (tuna) netra berarti, kan, alat bantunya adalah braile toh? Nah kalau tuna rungu mungkin informasi atau pemanggilannya bisa menggunakan tulisan, seperti itu. Jadi pendataan itu menjadi pintu utama ketika kita berbicara soal pemilihan umum di TPS-TPS,” kata caleg nomor urut 06 ini.
Fokus isu pendidikan dan pekerjaan
Jika berhasil terpillih, isu pendidikan dan pekerjaan akan dibawa Anggi untuk diperjuangkan lewat kursi DPR RI. Dia tak menampik kalau isu ini tak lepas dari pengalamannya dulu sempat didiskriminasi saat akan memasuki dunia kerja.
“Setelah kuliah, masuk dunia kerja kaget dong saya, ternyata diskriminasi itu seperti ini. Ngelamar kerja sana-sini, begitu sampai tahap akhir, ngelihat orangnya (yang ternyata penyandang disabilitas), enggak jadi diterima,” tutur Anggi.
Calon DPR RI, Anggiasari Puji Aryatie saat kampanye di daerah pemilihannya, di Yogyakarta. Foto: Dok. Istimewa
Anggi memperjuangkan pendidikan juga karena hal itu dianggapnya sebagai landasan atau pondasi untuk kehidupan masyarakat yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
“Kalau kita mendapatkan pendidikan yang berkualitas, harapannya ke depannya kita juga bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, bisa hidup mandiri, bisa hidup sejahtera. Teman-teman disabilitas juga bisa memilih profesi dan keahlian yang sesuai dengan minat dan bakatnya,” terangnya.
Lulusan Diploma Bahasa Perancis UGM ini melihat kalau sebenarnya sudah ada peraturan yang menopang hak-hak penyandang disabilitas. Namun dia hanya ingin memastikan dan mengawal bagaimana implementasi peraturan-peraturan ini bisa berjalan di lapangan.
“Harapan saya adalah kita persatukan suara, kita bergerak bareng-bareng, kita kerja bareng-bareng untuk pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas di Indonesia, termasuk perjuangan untuk hidup bermartabat sebagai warga negara Indonesia,” ujarnya.