Antara Hate Speech dan Free Speech

2 Februari 2017 14:53 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ilustrasi hate speech (Foto: Pixabay)
Pernyatan gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki T Purnama(Ahok) dan kuasa hukumnya kepada Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia(MUI) Kiai Ma'ruf Amin dalam sidang soal penistaan, Selasa (31/1) menuai polemik. Ahok dan kuasa hukumnya dinilai 'menyudutkan' Kiai Maruf, ada juga yang menyebut pernyataan keduanya melakukan hate speech.
ADVERTISEMENT
Salah seorang yang menyebut pernyataan pihak Ahok dalam sidang kemarin sebagai hate speech adalah Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid.
"Pernyataan beliau kan tidak memerlukan tafsir karena amat sangat jelas, vulgar di depan publik. Bukan hanya pilihan kata, tapi bahasa tubuh sangat tidak menghormati (kiai Maruf Amin). Bahkan menurut saya itu bagian dari hate speech ujaran kebencian," ucap Hidayat kepada kumparan, Rabu (2/1).
Hidayat mengatakan, Ma'ruf Amin adalah tokoh yang sangat dihormati umat Islam. Bukan saja sebagai ketua umum MUI, tapi juga Rais Am Syuriah PBNU. Mestinya Ahok dan tim pengacara tahu adab ketimuran menghormati orang tua.
ADVERTISEMENT
Namun apakah makna hate speech sesungguhnya? Apa perbedaan hate speech dan free speech?
Menurut pengamat hukum pidana Universitas Indonesia, Ganjar Laksamana Bondan, perbedaan hate speech dan free speech cukup jelas. Dalam ketentuan hukum, lanjut dia, free speech bukan berarti kebebasan yang mutlak.
"Jadi yang bebas itu bicaranya. Bicara itu kan macem-macem, ada bicara baik ada bicara buruk. Bicara buruk terbagi lagi, ada bicara buruk yang menyerang orang ada yang tidak. Bisa dikatakan hatespeech kalau dia sudah menyerang pihak lain," kata Ganjar dalam perbincangannya dengan kumparan, Rabu (1/2).
Ia menambahkan, muatan kebencian itu harus berupa kata-kata yang secara denotatif bermakna negatif. Bukan berdasarkan gestur atau intonasi ketika Ia bicara.
ADVERTISEMENT
"Tidak boleh dengan intonasi atau dengan gestur. Harus kata-kata yang tegas. Orang kita kan kadang menyinggung dengan halus. Bisa bermakna jelek karena intonasinya. Jadi dalam penegakkan hukum tak bisa berdasarkan intonasi atau gestur," papar dia.
Ma'ruf Amin memasuki ruang sidang. (Foto: Aprilandika Hendra/kumparan)
Persoalan hate speech ini sebelumnya pernah dijelaskan secara lengkap lewat surat edaran Kapolri tahun 2015 lalu. SE dengan Nomor SE/06/X/2015 tersebut diteken Jenderal Badrodin Haiti pada 8 Oktober 2015.
Dalam surat tersebut disebutkan bahwa persoalan ujaran kebencian semakin mendapatkan perhatian masyarakat baik nasional atau internasional seiring meningkatnya kepedulian terhadap perlindungan hak asasi manusia (HAM).
Ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, yang berbentuk antara lain: penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, serta menyebarkan berita bohong.
ADVERTISEMENT
Semua tindakan tersebut memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial.
Ujaran kebencian juga harus memenuhi kriteria bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan atau kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas yang dibedakan dari aspek, di antaranya ras, suku ataupun agama.
"Yang pasti subjeknya harus jelas," ungkapnya.
Ilustrasi meja hakim di ruang sidang pengadilan (Foto: Akbar Ramadhan)
Sementara itu dalam KUHP ada beberapa aturan terkait dengan hate speech:
Pasal 310: (1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.
ADVERTISEMENT
Pasal 315 Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat peneemaran atau pencemaran tertulis yang dilakuknn terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan stau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.