LIPUTAN KHUSUS, Indonesia Tanpa Feminis, Ilustrasi Perempuan Anti Feminis

Antifeminis: Perlukah Perempuan dan Laki-laki Setara?

8 April 2019 18:12 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Perempuan Anti Feminis. Foto: Dicky Adam Sidiq/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Perempuan Anti Feminis. Foto: Dicky Adam Sidiq/kumparan
Shelly Purnama satu dari sekian banyak pengisi pengajian yang menyatakan bahwa feminisme bertentangan dengan Islam. Bagi perempuan muda yang baru lulus akhir tahun lalu itu, feminisme mengancam nilai-nilai keluarga dan kebablasan.
Keresahannya akan feminisme dimulai sejak ia masih berkuliah. Ia kerap-kerap bertanya, benarkah muslim memerlukan feminisme?
Pertaliannya dengan kelompok pengajian milik Felix Siauw bernama Yuk Ngaji Bintaro dan buku berjudul Wanita Berkarir Surga membuatnya kian mantap mengklaim bahwa Islam bertentangan dengan feminisme.
Kini ia kerap mengisi pengajian baik secara online melalui Whatsapp Group ataupun tatap muka.
Salah satu yang kerap disoroti Shelly adalah persoalan ketahanan keluarga. Dia merasa waswas jika gerakan feminisme semakin masif, maka semua perempuan akan keluar dari rumah untuk bekerja dan meninggalkan kewajibannya di rumah.
“Padahal dalam Islam sebaik-baiknya perempuan adalah yang tinggal di dalam rumahnya,” kata Shelly kepada kumparan di Serpong, Tangerang, pada Sabtu (6/4).
Shelly Purnama, aktivis dakwah antifeminis. Foto: Rina Nurjanah/kumparan
Sementara Dinar Dewi Kania adalah peneliti di Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) dan juga aktif sebagai Ketua Bidang Kajian Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA). Ia juga aktif menulis di thisisgender.com, situs yang khusus dibuat untuk melawan paham feminisme dan kini kontennya kerap menjadi rujukan akun Instagram Indonesia Tanpa Feminis.
Keduanya antifeminis dan dengan tegas menyatakan feminisme tak dibutuhkan sebab dalam Islam, perempuan sudah dimuliakan. Dinar bahkan menuding feminisme berupaya melegalkan zina dan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender).
“Feminis yang tidak melegalkan LGBT itu munafik,” ujarnya ketika ditemui kumparan di Universitas Indonesia, pada Jumat (5/4).
Dinar Dewi Kania Foto: Ulfa/kumparan
Berikut kutipan obrolan kami bersama Shelly dan Dinar.
Menurut Anda feminis itu apa?
Shelly: Feminisme itu suatu ide yang menuntut kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan. Nah pertanyaannya perlu nggak sih laki-laki dan perempuan itu setara?
Di Al-Quran disebutkan bahwa laki-laki pemimpin bagi perempuan. Intinya, kaum laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, dan Islam juga mengatur hak laki-laki dan perempuan.
Sekarang, feminisme itu concern tentang perempuan, Islam pun sudah mengatur soal hak laki-laki dan perempuan. Al-Quran sendiri membahas satu surat yang mengkhususkan diri membahas tentang perempuan.
Misalnya feminisme berkoar-koar, Kita bisa kok seperti laki-laki, mandiri dan berpenghasilan sendiri”. Kenapa mereka bilang kaya gitu? Karena penghasilan mereka nggak terjamin. Soal nafkah. Tapi di dalam islam tugas mencari nafkah itu sudah dilakukan sama laki-laki.
Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Aliansi Perempuan Anti Kekerasan berunjuk rasa saat memperingati Hari Perempuan Internasional di Landmark Kota Cilegon, Banten, Kamis (21/3). Foto: ANTARA FOTO/Dziki Oktomauliyadi
Dinar: Feminis itu dibangun atas asumsi bahwa ada ketertindasan, ada opression, ada labelling, atau stereotyping, terhadap perempuan. Nah kita lihat dulu asumsinya bener apa enggak.
Dalam Islam, apa benar perempuan di zaman Islam itu ada penindasan dan segala macem? Kalau kita bicara sejarah Islam, banyak ahli-ahli hadist perempuan, dokter perempuan, bahkan pembuat universitas pertama di dunia tahun 800 masehi itu perempuan muslimah. Ada benarnya kalau kita melihat ke sejarah barat. Kalau di sana, memang di barat seperti itu.
Karena kita dijajah, yang jadi pemimpin ibaratnya adalah mereka (orang Barat). Akhirnya sekolah muslim, pesantren-pesantren itu dipinggirkan. Mereka membuat sekolah sekuler yang memang enggak boleh untuk perempuan.
Jadi tradisi bahwa ada penindasan terhadap perempuan di negara Islam itu akibat ada kolonialisasi. Bukan tradisi Islam sendiri.
Nah sekarang kan akhirnya asumsinya jilbab itu sebagai suatu opresi. Jadi kita dibilang (mengalami) false consciousness. Agama itu mengontrol tubuh, agama memperoleh kekuasaan dengan mengontrol tubuh peerempuan.
Jadi walaupun kita dengan kesadaran memakai jilbab, kita dianggap teropresi-tertindas, karena itu perintah agama. Mereka (feminis) memang cenderung ateis.
Kenapa saya selalu membantahnya dengan argumen agama? Masalahnya kalian (feminis) menganggap Islam itu patriarki, Islam itu sebagai penyuplai ideologi patriarki.
Dalam Islam, perempuan memang boleh berperan di publik. Kalau dalam Islam orientasinya bukan karena uang, itu bukan kewajiban perempuan. (Mencari uang) itu kewajiban mas-mas (laki-laki).
Perempuan itu harus punya peran publik terutama adalah menjaga masyarakat, menjaga moral masyarakat, keteraturan sosial. Jadi kita boleh pergi dan bekerja pun enggak apa-apa kalau memang kita memerlukan uang, enggak masalah.
Gerakan Feminisme di Indonesia Foto: Basith Subastian/kumparan
Feminisme, seperti Anda bilang, memperjuangkan hak perempuan. Bagian mana dari feminisme yang bertentangan dengan Islam?
Shelly: Begini, contohnya kita bahas tentang perempuan bekerja. Itu artinya laki-laki bisa kerja, saya (perempuan) juga bisa kerja. Tapi di balik saya bisa kerja, akhirnya yang muncul perempuan sekarang rata-rata 24 jam menghabiskan waktu di luar rumah.
Sedangkan dalam Islam, “sebaik-baiknya perempuan adalah yang tinggal di dalam rumahnya”. Itu bukan berarti perempuan tidak boleh kerja. Hukum dari kerja itu hukum dari kerja itu sendiri adalah mubah (boleh), tapi ketika itu tidak mengabaikan kewajibannya sebagai seorang istri.
Sekarang yang terjadi dari gerakan feminisme itu adalah ketika, misalnya, perempuan bekerja 24 jam. Maka pengasuhan dialihkan ke pembantu, akhirnya muncullah ketidakseimbangan pola pengasuhan orang tua.
Ayahnya sibuk kerja, ibunya sibuk kerja. Padahal wanita dalam Islam adalah madrasatul ula, (pendidik utama untuk anaknya). Tugas utama wanita bukan bekerja. Perempuan tidak wajib cari nafkah, tapi sekarang yang terjadi seolah-olah itu hal yang wajib.
Makanya ketika itu terjadi, fitrahnya perempuan itu berubah. Dia menjadi tulang punggung keluarga, menjadi pencari nafkah. Itu yang berbeda dengan yang diajarkan sama islam.
Ketika pola pengasuhan dioper ke pembantu, anak-anak tumbuh kadang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kurang perhatian orang tua, akhirnya mencari perhatian di luar rumah. Akhirnya yang terjadi apa? Narkoba, tawuran, hamil di luar nikah.
Itu karena pola pengasuhan di dalam rumah yang terabaikan. Karena butuh uang, akhirnya perempuan juga ikut menjadi penghasil pundi-pundi. Itu feminisme, itulah yang bertentangan dengan Islam.
Anggota Aliansi Perempuan Bali meneriakan yel-yel dalam kampanye publik Hari Perempuan Internasional 2019 pada acara hari bebas kendaraan di Denpasar, Bali, Minggu (10/3). Foto: ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo
Dinar: Kita sebagai muslim, di samping sudah mengadvokasi hal-hal seperti itu (yang diperjuangkan feminis), kita juga enggak ada pertentangan dengan sekolah, berkarier, itu enggak pernah.
Jadi penolakan Islam dan feminisme itu sebenarnya sama dengan penolakan Islam terhadap sosialisme dan komunisme. Kenapa Islam menolak komunisme? Karena itu sudah menjadi -isme kan. Artinya itu suatu pandangann hidup, dia punya konsep tuhan, dia punya konsep kehidupan, konsep barang, konsep agama dan lain-lainnya sendiri.
Misalnya, sosialis ini mau berjuang untuk keadilan sosial? Nah Islam kan juga memperjuangkan itu. Artinya, apakah sosialisme itu sama dengan Islam? Tidak.
Kalau dalam Islam, penyebabnya terjadi penindasan perempuan yang lainnya itu karena memang orang-orang Islam itu sudah tidak tahu ajaran Islam yang benar, sudah tidak lagi mengamalkan ajarannya, jadi kurang iman lah.
Rasullulah itu tidak pernah memukul perempuan. Orang-orang yang memukul istrinya itu bukan karena ingin memperingati istrinya, tapi dia nafsu atau marah. Alasannya kemudian harus syar'i, misalnya melanggar ajaran agama, selingkuh, atau apa. Itu pun harus bertahap kan, satu, dua, baru cerai.
Ternyata laki-laki ini ngerti enggak? Kalau ini dia enggak ngerti, mukul karena marah. Jadi alasan terutama (penindasan) itu karena laki-laki itu tidak mengerti konsep Islam.
Ilustrasi perempuan muslimah bersama anaknya di dapur. Foto: Getty Images
Persoalannya pada pola pengasuhan, bukan feminisme kan?
Shelly: Lalu kenapa tadi masalahnya jadi pola asuh? karena perempuannya sibuk di luar. Sibuk dengan konsep cari duit, duit, duit, duit. Akhirnya, feminisme itu kalau ditarik garis itu nggak lepas dari kapitalils. Menjadikan perempuan sebagai penghasil uang.
Kalau dulu perempuan sebagai pendidik. Dalam Islam kita punya kewajiban untuk taat suami. Sekarang dengan adanya teriakan perempuan bisa bebas itu akhirnya kebebasan yang kebablasan.
Itu dampak negatif kenapa feminisme mesti ditolak. Karena kesetaraan ini nggak balance, ini pakai nafsu, sedangkan Islam datangnya dari Allah.
Lalu bagaimana pendapat Anda mengenai RUU Penghapusan Kekerasan Seksual?
Shelly: Aku nggak menghilangkan poin mereka yang mengatur tentang kekerasan seksual, itu menurut aku sah-sah saja, toh tidak bertentangan dengan Islam. Tetapi di beberapa hal itu dia kok kayak melegalkan zina ya.
Apapun peraturan yang dibuat kita boleh tunduk, boleh ikut, asalkan tidak bertentangan dengan Islam. Jadi karena hal yang menurut kita kecil, yang menurut kita orang concern-nya enggak akan ke situ, dampaknya bisa jadi akan luas ketika itu bertabrakan dengan akidah.
Makanya, sekarang hipotesis sementara aku banyak orang-orang yang masih memisahkan agama dan kehidupan. Padahal enggak bisa kayak gitu.
Aliansi Muslimah Aceh melakukan aksi menolak RUU PKS. Foto: ANTARA FOTO/Ampelsa
Dinar: Kita menolak, kecuali itu direvisi lebih dulu. Tapi kita dianggap mendukung perkosaan, kita selalu dipinggirkan oleh pihak yang enggak mau mempelajari. Padahal kita bikin 200 halaman daftar inventaris masalah. Itu sebelum orang-orang bikin, kita udah dateng ke Komisi 8, kita bikin.
Kita mengajukan untuk mempidanakan LGBT. Cuma yang tidak mereka pahami, mempidana LGBT itu bukan larinya ke kriminalisasi atau penjara. Tapi hak rehabilitasi LGBT yang merasa tidak enak, pengin sembuh. Negara harus kasih terapi.
Ketika mereka mengeluarkan surat rekomendasi dari APA (American Psychiater Association), dari British Psyhchology Association, menyebut bahwa LGBT bukanlah penyakit. Posisi kita bagaimana? Kita kan muslim, kita pengin membantu. Makanya saya bilang kita harus berjuang, harus ada norma yang mengatur LGBT.
Nanti mereka ngomong gini, "Enggak kok kita enggak melegalisasi LGBT". Ya itu belum. Nanti ujung-ujungnya ke situ, memang ideologinya akan ke situ. Feminis yang tidak melegalkan LGBT itu munafik.
Salah Kaprah Feminisme Foto: Satrio Herlambang Putra/kumparan
Yang kedua soal consent. Mereka tuh berpikir, seks yang bermoral tuh yang seperti apa? Oh ternyata seks yang bermoral itu yang tidak dipaksa. Maka mereka punya konsep consensual sex.
Dia bertentangan dengan nilai adat, nilai budaya, dan nilai agama. Contohnya kalau orang berzina, kalau suka sama suka, kalau dia consensual sex, dia enggak disebut kejahatan kan, bukan suatu tindakan tidak bermoral.
Jadi pasal zina yang di KUHP itu dikenakan jika salah satunya sudah menikah. Kalau yang belum menikah itu dia tidak ada pasal-pasalnya. Cuma kan masyarakat tahunya pandangan agama. Kita enggak mungkin akan mengkriminalkan semua perempuan yang zina misalnya. Tapi kan ada pidana untuk direhabilitasi.
Sebenarnya kita mau aja dialog dengan feminis, kalau kita perempuan memperjuangkan sesuatu tidak harus disebut feminis. Kita memperjuangkan lingkungan hidup, kita tidak perlu jadi feminis.
Feminisme selama ini dikasih karpet merah. Instrumen internasional disiapkan, kita juga enggak nyalahin. Saya selalu bilang, kita tuh memposisikan diri bukan musuh.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten