Apa Itu Marxisme yang Diperbolehkan Menristekdikti untuk Dikaji?

31 Juli 2019 19:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Karl Marx Foto: Reuters/Wolfgang Rattay
zoom-in-whitePerbesar
Karl Marx Foto: Reuters/Wolfgang Rattay
ADVERTISEMENT
Dua mahasiswa di Probolinggo, Jawa timur, ditangkap polisi karena membawa buku bertemakan komunisme, Sabtu (27/7) . Peristiwa itu bermula saat keduanya membawa buku biografi ketua Partai Komunis Indonesia (PKI), DN Aidit, untuk perpustakaan jalanan di Alun-alun Kraksaan.
ADVERTISEMENT
Kedua mahasiswa itu adalah Muntasir Billah (24) dan Saiful Anwar (25). Mereka tergabung dalam komunitas Vespa Literasi. Yakni, sebuah komunitas yang rutin menggelar perpustakaan jalanan setiap Sabtu malam.
Berdasarkan keterangan Polsek Kraksaan, petugas menyita empat judul buku dari lapak baca mereka, yakni ‘Dua Wajah Dipa Nusantara’, ‘Menempuh Djalan Rakjat D.N AIDIT’, ‘Sukarno Marxisme & Leninisme’, dan ‘D.N Aidit: Sebuah Biografi Ringkas.
Penangkapan keduanya pun menimbulkan polemik. Sejumlah pihak menilai polisi tak seharusnya menangkap dua mahasiswa tersebut. Itu karena, Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2010 memutuskan pelarangan buku harus melewati proses pengadilan.
Kala itu, MK mencabut Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum. Sejak itu pula, penyitaan buku tak lagi diperbolehkan tanpa disertai bukti yang kuat.
ADVERTISEMENT
Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir pun angkat bicara terkait penangkapan kedua mahasiswa tersebut. Ia tak setuju jika aparat terlalu alergi dengan bacaan seperti maxisme yang dibaca mahasiswa.
Menteri Ristek dan Dikti Mohammad Nasir, saat ditemui di Universitas Negeri Surabaya, Surabaya, Rabu (20/2). Foto: Yuana Fatwalloh/kumparan
Menurut Nasir, mahasiswa memang diperbolehkan untuk mengkaji marxisme atau bahkan khilafah di kampus. Dengan catatan, kata dia, pembahasan itu hanya sebatas untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
"Mengkaji ilmu pengetahuan di kampus silakan, yang tidak boleh adalah memilih itu sebagai ideologi, karena negara telah menetapkan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan Pancasila," kata Nasir dilansir Antara, Rabu (31/7).
Nah, apa sebetulnya marxisme itu? Untuk mengetahuinya lebih rinci, kami membuat panduan sederhananya dalam bentuk tanya jawab. Ulasan ini dikhususkan untuk kamu yang baru pertama kali mendengar marxisme.
ADVERTISEMENT
Berikut ini adalah sejumlah pertanyaan umum seputar marxisme:
Apa itu Marxisme?
Marxisme adalah paham yang didasarkan pada pemikiran filsuf Jerman bernama Karl Marx (1818-1883). Dalam bukunya yang berjudul ‘Das Kapital’, Marx mengkritik sistem kapitalisme yang menurutnya hanya mengeksploitasi kaum pekerja (buruh).
Karl Marx. Foto: Getty Images
Marx berpendapat, sejarah dunia adalah sejarah pertarungan kelas. Yang artinya, selama kapitalisme menjadi sistem ekonomi, maka kaum borjuis (pemilik modal) akan senantiasa mengisap kelas pekerja.
Dalam relasi yang tak menguntungkan itu, Marx percaya bahwa kelas pekerja akan memiliki kesadaran kelas. Kesadaran itu akan terakumulasi dan menjadi sebuah revolusi. Hal itu demi menciptakan sebuah tatanan sosial baru yang bernama komunisme.
Ia bahkan memprediksi bahwa akan tiba saat kapitalisme runtuh dengan sendirinya. Hal itu bisa terjadi lantaran kapitalisme mengandung kontradiksi internal yang tengah menggali liang kuburnya sendiri.
Massa buruh dari KSPN bergerak menuju istana. Foto: Mirsan Simamora/kumparan
Menurut Marx, akan tiba saatnya kala proses produksi diambil oleh teknologi. Saat itu terjadi, buruh tak akan lagi ambil bagian lagi dalam produksi. Konsekuensinya, produk yang dihasilkan akan berlipat ganda, tetapi tak akan ada orang yang mampu membelinya karena tak memiliki uang akibat di-PHK.
ADVERTISEMENT
Salah seorang komentator pemikiran Marx, Karl Korsch, punya pendapat menarik tentang apa itu marxisme. Dalam bukunya yang berjudul Marxism and Philosophy, Korsh menyatakan sebagai berikut:
“Marxisme adalah senjata revolusioner yang bukan hanya di bidang politik, tetapi di semua bidang filsafat dan teoritik. Semua itu terhubung ke dalam pandangan dunia yang koheren," kata Korsch.
Siapa Sebenarnya Marx?
Marx lahir di Trier, Jerman pada 5 Mei 1818. Ia berdarah Yahudi dan berasal dari keluarga kelas menengah. Di usianya yang ke-17 tahun, Marx terdaftar sebagai mahasiswa filsafat di Universitas Bonn pada 1835.
Meski demikian, sang ayah memintanya untuk belajar ke fakultas hukum. Marx pun tak bisa membantah. Pada 1836, ia banting setir menjadi mahasiswa ilmu hukum di Universitas Berlin. Menariknya, meski belajar hukum, Marx masih menaruh minat yang besar pada kajian filsafat.
Makam Karl Marx yang dipenuhi coretan karena aksi vandalisme. Foto: Reuters
Kala di kampus, ia masuk ke dalam organisasi Hegelian kiri. Hegelian merujuk pada orang-orang yang mengkaji pemikiran filsuf Jerman bernama Georg Wilhelm Friedrich Hegel. Hegel sendiri merupakan filsuf besar yang merumuskan teori dialektika dan negara integralistik.
ADVERTISEMENT
Minatnya yang besar terhadap filsafat lalu menyebabkan ia tak pernah menjadi penegak hukum. Lain dari itu, ia justru menjadi doktor filsafat. Distertasinya mengenai ulasan terhadap filsuf bernama Ludwig Feurbach.
Lantas Apa Hubungan Marxisme dan komunisme?
Marxisme, khususnya marxisme klasik yang digagas Marx meyakini adanya tatanan baru bernama komunisme.Tatanan baru itu menekankan adanya kepemilikan bersama atas alat-alat produksi.
Ilustrasi Komunis. Foto: Getty Images
Komunisme percaya bahwa setiap orang adalah setara. Masyarakat yang sama rata sama rasa adalah wujud dari komunisme itu sendiri. Marx melihat bahwa masa depan umat manusia ke tatanan baru tersebut.
“Biarkan kelas-kelas yang berkuasa gemetar menghadapi revolusi Komunis. Kaum proletar tidak akan kehilangan suatu apapun kecuali belenggu mereka. Dunia masa depan adalah milik mereka. Kaum buruh sedunia, bersatulah!,” kata Marx dalam Manifesto Komunis.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, ide tentang masyarakat komunis baru berupa gagasan teoritis. Belum ada orang atau negara yang mengaplikasikannya ke dunia nyata. Baru kemudian di tangan Vladimir Lenin (1870-1924), ‘mimpi’ Marx itu berubah menjadi kenyataan.
Vladimir Lenin dan Bendera Komunis. Foto: Getty Images
Lenin sendiri merupakan tokoh yang menggulingkan kekaisaran Tsar Rusia pada 1918. Di bawah komandonya, Kaum Bolshevik mengubah tatanan monarki Tsar menjadi sebuah negara sosialis pertama di dunia.
Negara sosialis merupakan negara yang alat-alat produksinya dikuasai negara. Dalam konsep negara semacam itu, pasar bebas sebagaimana dalam kapitalisme tidak ada lagi. Sederhananya, tak ada perusahaan swasta. Seluruh aktivitas perekonomian dikendalikan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Dalam skama tersebut, negara dikuasai oleh diktator poletariat. Yakni, sebuah pemerintahan yang diatur oleh organiasi buruh. Di Uni Soviet, organisasi tersebut mewujud pada satu partai tunggal yang dipimpin Lenin, yaitu Partai Buruh Demokrat Sosial Rusia.
ADVERTISEMENT
Dalam State and Revolution (1917), Lenin menyebut sosialisme adala transisi sebelum masyarakat komunis tercipta. Negara sosialis dibutuhkan untuk memastikan masyarakat memiliki visi yang sama dalam mengusung masyarakat tanpa kelas.
“Dalam masyarakat kapitalis kita memiliki demokrasi yang dibatasi, buruk, salah. Demokrasi yang hanya untuk orang kaya. Kediktatoran proletariat, periode transisi ke komunisme, untuk pertama kalinya akan menciptakan demokrasi bagi rakyat, bagi semua orang,” kata Lenin.
Vladimir Lenin. Foto: Getty Images
Masyarakat tanpa kelas atau komunisme itu sendiri unik. Kala saat masa itu tiba, konsep negara tak lagi ada. Negara lenyap bersamaan dengan tak ada lagi kelas sosial. Orang saling bekerja sama. Tak ada lagi yang memperkaya diri sendiri.
Mungkinkah Masyarakat Tanpa Kelas Tercipta?
ADVERTISEMENT
Sejarah menunjukkan bahwa masyarkat tanpa kelas belum pernah terealisasikan. Hal yang baru tercipta adalah negara sosialis, yakni Uni Soviet. Itu pun bubar jalan pada 26 Desember 1991.
Sekarang ini, marxisme juga semakin berkembang, semakin banyak varian dari teori marxis itu sendiri. Marxisme klasik memang percaya bahwa masyarakat tanpa kelas itu tercipta. Namun varian lain, misalnya Neo-Marxis atau bahkan Post-Marxis memiliki pandangan yang berbeda.
Ilustrasi May Day Foto: Basith Subastian/kumparan
Sejumlah teoritikus Neo-Marxis misalnya, mereka tak lagi memperdebatkan mungkin atau tidaknya negara komunis. Lain dari itu, mereka justru mengarahkan marxisme sebagai alat yang membongkar selubung ideologis dari kapitalisme.
Cara-cara revolusioner seperti yang dilakukan Lenin juga tak diterima oleh Neo-Marxis. Kajian yang mereka lakukan ada dalam koridor akademik. Bukan lagi memikirkan bagaimana masyarakat tanpa kelas itu tercipta.
ADVERTISEMENT
Yang lebih baru, Post-Marxis, pun demikian. Mereka bahkan tak percaya ada pertentangan kelas borjuis dan proletar sebagaimana yang diyakini Marx. Lain dari itu, mereka justru berfokus bagaimana menyelamatkan kaum-kaum minoritas seperti aktivis lingkungan, komunitas LGBT, yang belum memperoleh keadilan yang paripurna.
Benarkah Marxisme Menentang Konsep Tuhan?
Bagi Marx, agama adalah candu. Pernyataan itu gamblang ia sebutkan dalam esainya di On The Jewish Question (1844). Kala itu, ia menyebut agama adalah biang keladi dari lambatnya revolusi.
“Agama adalah ekspresi dari makhluk yang tertindas. Pusat dari dunia yang tidak berperasaan, dan jiwa dari kondisi tanpa jiwa. Agama adalah candu masyarakat,” kata Marx.
Karl Marx. Foto: Getty Images
Hubungan marxisme dan agama memang terlanjur rumit. Itu karena, marxisme berakar dari filsafat materialisme. Yakni, sebuah aliran yang meyakini bahwa materi adalah segala-galanya. Mereka menentang filsafat metafisika, yang artinya menentang segala hal yang tak berwujud.
ADVERTISEMENT
Sebagai pemimpin Uni Soviet, Lenin pernah memberikan satu interpretasi menarik tentang agama. Dalam Socialism and Religion (1905), Lenin berpendapat bahwa sudah sapatutnya negara tak mengurusi agama. Ia bahkan menginginkan agar kolom agama pada identitas warga Uni Soviet dihapuskan.
"Agama harus dinyatakan sebagai urusan pribadi,” kata Lenin.
Lalu Siapa itu DN Aidit?
Era perang dingin (1947-1991) adalah sebuah era di mana ideologi komunisme berhadapan dengan liberalisme. Jika komunisme dipelopori oleh Uni Soviet, maka liberalisme dipelopori oleh Amerika Serikat (AS).
Uni Soviet pun melancarkan penetrasi ideologinya ke sejumlah negara. Salah satunya adalah Indonesia. Pada masa-masa itu, di Indonesia tumbuh satu partai yang bernama Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pada tahun 1965, PKI merupakan partai politik terbesar di Indonesia. DN Aidit adalah Ketua Central Comitte dari partai tersebut. Aidit sekaligus merupakan anggota komunis internasional (komintern).
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang politikus sayap kiri, DN Aidit dekat dengan Presiden Sukarno. Namun, kariernya politiknya mulai tamat saat meletusnya peristiwa Gerakan 30 September PKI. Dalam peristiwa itu, sejumlah jendral tewas terbunuh. Aidit dan PKI-nya disebut-sebut terlibat dalam peristiwa berdarah itu.
Meski demikian, sejarah dalam hal ini terbelah. Sebagian menyebut bahwa Aidit memang menjadi dalang dari pembunuhan para jenderal. Namun sebagian lainnya menyebut Aidit adalah korban dari konspirasi Suharto dan agenda politik AS.
Dan demikianlah sejarah. Sebagaimana kata sejarawan AS, bahwa sejarah adalah perkara interpretasi.