Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya
Aras yang Hidup 11 Tahun Tanpa Listrik Tolak Bantuan Pemkot Tangerang
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Mualim menyebut, pihak pemerintah sudah mengkonfirmasi dan mencoba menawarkan opsi bantuan kepada Aras berupa pendidikan gratis untuk anak-anaknya juga rumah layak huni.
"Sudah dari setahun lalu kami dari pemerintah sudah mencoba menemui Bapak Aras, mengecek langsung kondisi rumah juga menawarkan bantuan sekolah untuk anak-anaknya. Namun beliau menolak," ujar Mualim saat ditemui kumparan (kumparan.com) pada Sabtu (5/5) di kantor Wali Kota Tangerang.
Menurut Mualim, Aras menolak bantuan tersebut dengan alasan belum mendapat titah dari leluhurnya.
"Ya kemarin bilangnya begitu, katanya dia itu adalah putra alam yang menjaga tanah leluhurnya. Dia juga sempat mengaku kalau keturunan Sunan Kudus dan Kalijaga begitu. Dipindahkan enggak mau, anaknya disekolahkan juga tidak mau," lanjut Mualim.
ADVERTISEMENT
Mualim mengatakan tanah yang ditempati Aras saat ini bukan lagi milik orang tua Aras, melainkan sudah dijual kepada perusahaan swasta untuk dijadikan proyek tol.
"Tanahnya sudah dijual, dulunya tanah orang tua, tahun 2007-an dijual. Kemudian pindah ke Cisauk lalu balik lagi ke Kunciran diriin gubug. Padahal tanahnya sudah dijual," kata Mualim.
Mualim menambahkan, pihak Pemkot akan terus membujuk Aras dan keluarga agar segera pindah ke rumah susun yang disediakan oleh pemerintah, kakrena mengkhawatirkan kesehatan dan keselamatan keenam anak Aras.
"Ya, pemkot akan mencoba untuk terus membujuk keluarga Bapak Aras, untuk pindah ke rumah yang lebih layak. Kan kami juga punya rumah susun yang lumayan lah. Dan mencoba untuk menyekolahkan dua anaknya yang paling besar sama yang nomor dua," kata Mualim.
Diketahui, selama belasan tahun, Aras beserta istri dan ke-6 anaknya hidup tanpa aliran lisrik. Terlebih, selama tiga tahun, yakni sejak tahun 2007 mereka sempat bertahan hidup dengan mengkonsumsi air hujan yang disaring sendiri menggunakan arang dan pasir.
ADVERTISEMENT
Tanaman padi dan kapas mengelilingi kediaman rumah Aras. Bukan tanpa alasan, ada filosofi khusus mengapa keluarga Aras memilih menanam padi dan kapas: mereka menuntut keadilan. Aras memilih tanaman yang merupakan simbol Pancasila ke-5 itu sebagai wadah protesnya.
Aras menuntut keadilan atas hak tanah milik orang tuanya yang akan dijadikan proyek tol oleh perusahaan swasta.