Arti Haka, Tarian untuk Korban Teror Christchurch

20 Maret 2019 17:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pelajar di Selandia Baru menari tarian Haka untuk korban penembakan masjid di Christchurch. Foto: YouTube/@AFP News Agency
zoom-in-whitePerbesar
Pelajar di Selandia Baru menari tarian Haka untuk korban penembakan masjid di Christchurch. Foto: YouTube/@AFP News Agency
ADVERTISEMENT
Warga Selandia Baru memiliki cara yang unik untuk menunjukkan simpati dan kesedihan mereka atas teror di Christchurch, yaitu menari Haka. Tarian ini ditampilkan hampir semua lapisan masyarakat di Selandia Baru
ADVERTISEMENT
Dari pelajar, mahasiswa, hingga geng motor menarikan tarian ini, tidak hanya di depan masjid Al Noor atau Linwood tempat penembakan terjadi, tetapi di seluruh Selandia Baru.
Bahkan tarian ini menyatukan geng motor Mongrel Mob, Black Power, dan Bandidos yang biasanya berseteru. Mereka menari Haka untuk penghormatan terhadap 50 orang yang tewas dalam penembakan.
"Kami datang sebagai bentuk penghormatan mereka yang gugur, dan itu mengapa kami menari Haka, itu tanda hormat," kata Hamish Hiroki, presiden Bandidos.
Tarian Haka adalah tarian khas suku Maori yang memiliki banyak bentuk sesuai suku Maori yang menarikannya, namun sama-sama menekankan wajah yang bengis dan kegagahan penarinya.
Tarian ini mendunia setelah dibawakan oleh klub rugby Selandia Baru All Blacks sebelum bertanding. Haka sejak itu dianggap sebagai tarian perang untuk memulai pertempuran.
ADVERTISEMENT
Namun menurut ahli Haka, Te Kahuata Maxwell, Haka yang ditarikan oleh warga setelah tragedi Christchurch adalah respons dari trauma yang dirasakan masyarakat. Jadi, Haka tidak melulu untuk perang.
"Ini cara Maori menghadapi kematian, cara Maori mengekspresikan duka, cara Maori mengekspresikan cinta. Haka adalah cara Maori menunjukkan dukungan, bagian dari belasungkawa," kata Maxwell, profesor di University of Waikato, kepada Maori Television yang dikutip Reuters.
Salah satu Haka yang terkenal adalah Ka Mate, dikomposisi oleh kepala suku Ngati Toa pada 1820 untuk merayakan kehidupan dan kematian.