Bagaimana Anak-anak Dibujuk Orang Tuanya Ikut Aksi Bom Bunuh Diri?

14 Mei 2018 16:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Keluarga pelaku ledakan bom di Surabaya. (Foto: Facebook/Puji Kuswati)
zoom-in-whitePerbesar
Keluarga pelaku ledakan bom di Surabaya. (Foto: Facebook/Puji Kuswati)
ADVERTISEMENT
Rangkaian peristiwa bom di Jawa Timur memperlihatkan pola baru. Baik penyerangan di tiga gereja pada Minggu (13/5) Surabaya, kecelakaan bom di Rusunawa Sidoarjo dan juga pengeboman di depan Polrestabes Surabaya menyertakan keluarga, termasuk anak-anak dalam aksi mereka.
ADVERTISEMENT
“Fenomena menggunakan anak-anak, ini baru pertama kali di Indonesia,” kata Kapolri Tito Karnavian saat jumpa pers di Surabaya Jawa Timur, Senin (14/5).
Saat kejadian bom GKI Diponegoro, Puji Kuswati membawa dua anaknya Fadhila Sari (12) dan Famela Rizqita. Tak hanya Puji, pada tubuh kedua anak perempuannya itu pun telah dililit bom.
Di Gereja Santa Maria, giliran anak pertama Puji dan Dita Oerpriarto, yakni Yusuf Fadhil (18) dan Firman Halim (16), yang jadi pelaku dalam serangan ini. Mereka berdua menerobos masuk pagar penjagaan Gereja Santa Maria menggunakan sepeda motor dan meledakkan diri di tengah kerumunan.
Sementara itu, ledakan yang terjadi di Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo, Minggu (13/5) malam juga mengorbankan anak-anak. Satu anak tewas bersama orang tuanya, sedangkan tiga anak lain mengalami luka-luka dan kini tengah dirawat.
ADVERTISEMENT
Terakhir, dalam peristiwa serangan teroris di Polrestabes Surabaya, terdapat satu orang anak yang ikut serta dalam aksi teror keluarganya.
Suasana di kawasan Polrestabes Surabaya. (Foto: Jamal Ramadhan/ kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana di kawasan Polrestabes Surabaya. (Foto: Jamal Ramadhan/ kumparan)
Kebaruan strategi jihad ini juga dianalisis oleh mantan anggota jaringan Al-Qaeda yang sekarang rutin menjadi narasumber mengenai isu terorisme, Sofian Tsauri. Sofian menjelaskan, ada bujuk rayu mengenai kehidupan indah setelah kematian yang dilakukan para orangtua calon pengebom kepada anak-anaknya. “Biasanya ada dialog tuh: ‘Mau ikut abi ummi enggak? Kalau kita mau ke surga ayo kita sama-sama,” kata Sofian Tsauri saat berbincang dengan kumparan.
Namun, ada maksud lain ketika aksi yang dilakukan anak-anak itu berhasil dilakukan. Menurut Sofian, keberhasilan pengeboman yang dilakukan anak-anak bakal membangkitkan inspirasi anggota jaringan teroris lainnya untuk berani melakukan aksi pengeboman.
ADVERTISEMENT
“Akhirnya mereka berlomba-lomba ada semacam sugesti untuk mati bersama-sama dan mati syahid,’ kata Sofian.
Keluarga 'Bomber' gereja di Surabaya. (Foto: Putri Sarah Arifira/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Keluarga 'Bomber' gereja di Surabaya. (Foto: Putri Sarah Arifira/kumparan)
Sofian menerangkan, aksi-aksi untuk mengajak bunuh diri dengan mengajak anak-anak ini bukan fenomena baru, paling tidak oleh kelompok-kelompok ektrem religius. Menurutnya, cara bunuh diri itu sebagai salah satu langkah tercepat untuk meraih surga. “Mereka mengadakan bunuh diri bareng karena mereka mengatakan dunia prasarana saja. Ada kehidupan abadi yang kekal. Kalau kita mau pindah dunia ke alam lain ke akhirat kita harus mati dulu. Itu sarana ke sana,” imbuhnya.
Sementara itu, upaya rehabilitasi dan penyembuhan diperlukan bagi anak-anak yang terlanjur terpengaruh doktrinasi paham radikal orang tuanya.
Peneliti psikologi sosial UI Faisal Magrie menjelaskan ada perbedaan penanganan antara anak-anak dan remaja yang keburu terdoktrinasi orangtuanya. “Kalau untuk anak-anak umur segitu (5-10 tahun) lebih ke arah healing (yang dibutuhkannya),” kata Faisal.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, bagi para remaja, Faisal mengimbau agar dilakukan program doktrinasi tandingan. "Kalau untuk usia belasan itu diperlukan semacam deradikalisasi, kontra narasi untuk radikalismenya," kata Faisal.