Bagaimana Kemenangan Donald Trump Ubah Cara AS Melihat Media Sosial

9 Oktober 2018 13:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kepalan tangan Donald Trump. (Foto: Lucy Nicholson/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Kepalan tangan Donald Trump. (Foto: Lucy Nicholson/Reuters)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tidak ada yang mengira Donald Trump akan memenangi pemilu presiden Amerika Serikat 2016. Hampir semua jajak pendapat kala itu menunjukkan kekalahan Trump terhadap Hillary Clinton. Selidik punya selidik, Trump menang akibat pengaruh di media sosial, salah satunya akibat campur tangan Rusia.
ADVERTISEMENT
Berbagai penyelidikan FBI menunjukkan Rusia mengerahkan pasukan siber untuk mengacaukan pemilu AS. Rusia membuat ribuan akun palsu di berbagai media sosial untuk menyebarkan hoaks, memainkan isu sensitif, dan membenturkan para pendukung kedua calon presiden. Tidak berhenti sampai di situ, Rusia juga dituding meretas email Clinton, merusak reputasi mantan ibu negara dan menteri luar negeri AS itu.
Terungkapnya peran Rusia lantas mengubah cara Amerika Serikat melihat media sosial. Perbincangan soal literasi media mulai muncul di negara itu usai pemilu 2016. Mawas diri dalam menyikapi pesan media menjadi pendidikan baru di AS.
"Setelah pemilu 2016, literasi media menjadi diskusi. Karena masyarakat sangat kecewa, padahal media ketika itu menjadi harapan mereka," kata Sherri Hope Culver, Direktur Center for Media and Information Literacy (CMIL) di Temple University dalam diskusi yang dihadiri kumparan di Philadelphia, AS, pekan lalu.
ADVERTISEMENT
Culver mengatakan, dari pemilu AS tersebut masyarakat menyadari adanya pesan-pesan tersembunyi yang memiliki niat jahat di media sosial. Pesan-pesan yang disampaikan dan dibagikan berulang-ulang ini yang kemudian membentuk pola pikir masyarakat.
"Masyarakat meyakini betul pesan-pesan Rusia di Facebook sangat berpengaruh, mendorong masyarakat menentukan pilihannya," kata Culver lagi.
Sherri Hope Culver, Direktur CMIL. (Foto: Denny Armandhanu/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sherri Hope Culver, Direktur CMIL. (Foto: Denny Armandhanu/kumparan)
Dalam pemilu, Trump menyampaikan retorika negatif soal media massa, melabeli perusahaan-perusahaan media yang memberitakan buruk soal dirinya dengan sebutan "berita palsu". Culver mengatakan, cap yang disampaikan berulang kali oleh Trump ini turut menyumbang perubahan sikap masyarakat AS terhadap media.
"Jika setiap hari orang bilang di luar berawan, padahal cerah, maka orang akan lain akan terpengaruh juga. Jika orang berkali-kali mengatakan saya kejam, padahal tidak, maka saya juga akan berpikir diri saya kejam. Pesan yang disampaikan berulang-ulang punya pengaruh," ujar Culver.
ADVERTISEMENT
"Trump sangat bagus memberikan pesan tertentu dan berpegang teguh pada pesan tersebut, menyampaikannya berulang-ulang kali," lanjut dia.
Trump juga mengubah cara politisi dalam berkampanye. Di saat politisi lainnya menggunakan media konvensional seperti koran atau televisi, Trump menggunakan Twitter sebagai caranya menyampaikan pesan. Pesan-pesan ini yang kemudian dibagikan oleh para pendukungnya.
Menurut James G. McGann, ahli studi internasional di University of Pennsylvania, Philadelphia, Trump melalui Twitter pandai memainkan sentimen-sentimen yang diperlukan untuk kemenangannya, dari soal ekonomi hingga identitas nasional.
"Trump berhasil menang karena dia punya teknologi modern. Bukan koran atau televisi, tapi Twitter. Dia melakukan disrupsi politik digital dengan mengubah sifat politik. Dia memotong pesan (dari media massa) dan langsung ke pemilihnya melalui Twitter," kata McGann.
Donald Trump pidato National Security Strategy (Foto: REUTERS/Joshua Roberts)
zoom-in-whitePerbesar
Donald Trump pidato National Security Strategy (Foto: REUTERS/Joshua Roberts)
McGann mengatakan, cara Trump ini telah menjadi fenomena global. Mempengaruhi pemilih di media sosial, baik dengan cara terbuka maupun tersembunyi, telah digunakan oleh politisi dan pendukungnya di seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
"Ini menjadi fenomena global. Sifat globalisasi adalah memperkecil dunia dan membuatnya saling terkait. Saat ini tidak ada lagi yang lokal, semuanya global," tutur McGann.
Literasi Media jadi Penting
Pemilu 2016 menjadikan perkara literasi media jadi pembahasan penting. Berbagai pendidikan literasi media dilakukan di AS, termasuk yang didanai oleh pemerintah.
Kementerian Luar Negeri AS membentuk gugus tugas baru usai pemilu tersebut, yaitu Global Engagement Center (GEC). Salah satu tugas GEC adalah mencegah penyebaran disinformasi oleh aktor asing terjadi lagi. Salah satu yang dilakukan GEC adalah mendidik masyarakat soal literasi media.
"Kami tidak menghadapi disinformasi dengan informasi, tidak word to word. Dari pada melakukan kontra narasi, kami berinvestasi untuk masyarakat sipil dan media," Jonathan Henick, Plt Wakil Koordinator GEC, di Washington DC.
ADVERTISEMENT
Literasi media adalah kemampuan masyarakat menangkap pesan yang terkandung dalam sebuah konten media.
Michelle Ciulla Lipkin, direktur eksekutif National Association for Media Literacy Education (NAMLE), dalam diskusi yang diikuti kumparan di New York pekan lalu mengatakan dengan literasi media masyarakat akan memiliki daya kritis dalam menggunakan dan menganalisa konten media.
Michelle Ciulla Lipkin, Direktur NAMLE. (Foto: Denny Armandhanu/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Michelle Ciulla Lipkin, Direktur NAMLE. (Foto: Denny Armandhanu/kumparan)
"Tujuan pendidikan literasi media adalah membantu individu semua usia dalam menjadi pemikir yang kritis sehingga menciptakan komunikasi yang efektif," ujar Lipkin.
Seseorang dikatakan melek media ketika dia tidak lagi menelan mentah-mentah apa yang disampaikan dalam media sosial atau media lainnya. Seseorang bisa menentukan apakah sebuah pesan itu hoaks atau fakta, berita atau opini, dan menganalisa apa yang ingin disampaikan oleh penyampainya.
ADVERTISEMENT
Lipkin mengatakan, ada beberapa pertanyaan kunci yang perlu dimiliki oleh seseorang dalam menyikapi pesan pada media. Di antaranya adalah tujuan pembuatan pesan, siapa yang membuatnya, siapa yang membayarnya, apa tindakan yang diharapkan dari pesan itu, dan interpretasi apa yang tercipta dari pesan tersebut.
"Visi kami adalah bagaimana media literasi dihargai oleh semua orang dan dipraktikkan sebagai salah satu skill di abad ke-21," kata Lipkin.