Beda Reaksi Golkar saat Tangani Kasus Idrus dan Novanto

25 Agustus 2018 10:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Idrus Marham di Kemensos (Foto: Maulana Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Idrus Marham di Kemensos (Foto: Maulana Ramadhan/kumparan)
ADVERTISEMENT
Peneliti CSIS Arya Fernandes membandingkan penanganan kasus korupsi Idrus Marham dengan mantan Ketua Umum Golkar Setya Novanto. Arya mengatakan, penanganan kasus Setnov saat itu terlalu lama sehingga membawa dampak negatif bagi Golkar.
ADVERTISEMENT
“Kalau Novanto saya kira pertama dari sisi penanganan krisis itu terlalu panjang, sehingga dramanya yang panjang itu membuat publik sentimennya negatif, karena ada juga usaha di internal untuk mempertahankan posisi Novanto,” kata Arya saat diskusi di Gado-gado Boplo, Menteng, Jakarta, Sabtu, (25/8).
Sementara dalam kasus Idrus, Golkar menanganinya dengan cepat dan tidak menimbulkan gejolak apalagi menjelang Pemilu 2019. Meski Arya juga mengakui posisi Setnov dan Idrus di Golkar saat menjadi tersangka berbeda.
Diskusi Polekmik tajuk Lombok, Status Bencana dan Kita, Sabtu (25/8/18). (Foto: Yana Fatwalloh/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Diskusi Polekmik tajuk Lombok, Status Bencana dan Kita, Sabtu (25/8/18). (Foto: Yana Fatwalloh/kumparan)
“Kalau sekarang di internal relatif tidak ada gejolak karena sadar bahwa pemilu sudah dekat dan kader-kader butuh survive untuk menyelamatkan partai dan menyelamatkan dirinya,” ujar Arya.
“Saya kita posisi politik yang tidak kuat di sana (Golkar) juga menyebabkan tidak ada proteksi ke Idrus tapi ini saya kira negosiasi yang bijaksana di internal Golkar harus bisa survive dan merelakan Idrus mundur,” tambahnya.
ADVERTISEMENT
Arya juga mengapresiasi langkah Idrus yang mundur dari posisinya sebagai mensos, sebelum ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK. Arya menganggap sudah ada saling memahami dari pihak Golkar dan Istana mengenai mundurnya Idrus.
Sebab menurut Arya, apabila Idrus mundur sebagai menteri setelah menjadi tersangka, maka akan membawa dampak buruk bagi istana.
“Saya kira itu langkah yang taktis karena kalau dia ditetapkan tersangka dalam posisinya sebagai menteri itu efeknya lebih kuat. Nah dia mundur sebelum penetapan oleh KPK Jadi ini lebih soft landing,” tutup Arya.