Belajar dari Jepang: Menakar Kesiapan Indonesia Hadapi Siklon

7 Desember 2017 16:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Akhir September 1959, tak kurang dari 5.098 jiwa melayang diamuk badai Isewan (disebut juga siklon tropis Vera). Itu bukan kali pertama. Sejak 1945, tak kurang 1.000 jiwa telah terenggut oleh beragam bencana di negeri itu. Bertahun-tahun hingga berpuluh tahun kemudian, negara itu perlahan bangkit dari pahit bencana masa lampau.
ADVERTISEMENT
Negara itu saat ini menjadi begitu maju, dengan sistem tanggap bencana yang mumpuni. Ia adalah Jepang--yang tiap 1 September memperingati Hari Penanggulangan Bencana sebagai wujud belasungkawa, doa, sekaligus tekad kebangkitan Negeri Sakura dalam sejarah kebencanaan.
Jepang memilih 1 September sebagai tanggal peringatan karena pada hari itu, tepatnya 1 September 1923 pukul 11.58 pagi, gempa bumi besar berkekuatan 7,9 dan 8,4 Skala Richter melanda Kanto, menewaskan sekitar 142.800 orang dan menghilangkan 37.000 orang lainnya--yang diperkirakan tewas dalam musibah dahsyat itu.
Badai di Jepang (Foto: REUTERS/Issei Kato)
Bangkitnya Jepang, menurut Japan Official Development Assistance, bermula pasca-hantaman badai Isewan yang meluluhlantakkan kota Nagoya dan kawasan industri Chukyo. Kehancuran wilayah vital memunculkan desakan kuat untuk memperbaiki Pedoman Kebijakan Penanggulangan Bencana.
ADVERTISEMENT
Tahun 1961, Undang-Undang Kebijakan Penanggulangan Bencana di Jepang diubah menyeluruh untuk menata ulang peta strategi penanggulangan bencana mereka. Lewat UU yang baru, pemerintah Jepang menunjuk instansi yang bertanggung jawab terhadap penanggulangan bencana, membentuk badan penanggulangan bencana di tingkat pusat dan daerah, membuat perencanaan penanggulangan bencana, mempertegas kebijakan pencegahan bencana, dan lain-lain.
Anggaran jelas jadi elemen penting dalam membangun sistem penanggulangan bencana. Pada tahun 2001 saja, pemerintah Jepang menyediakan dana 3 triliun Yen untuk pengelolaan upaya penanggulangan bencana.
Dana sebesar itu dialokasikan untuk penelitian, kesiapsiagaan menghadapi bencana, pelestarian tanah nasional, pemulihan serta pembangunan pascabencana, penyediaan satelit-satelit meteorologi, radar observasi cuaca, dan seismometer (alat untuk mengukur getaran gempa bumi), dan sebagainya.
Perdana Menteri bahkan turun langsung memimpin latihan evakuasi menyeluruh kepada masyarakat. Pun penduduk dibekali kesadaran dan kesiapan dalam menghadapi bencana yang bisa datang kapan pun.
ADVERTISEMENT
“Sampai tiga hari pertama, 86 persen masyarakat (Jepang) bisa menangani bencana sendiri, mencukupi kebutuhan diri sendiri,” kata Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), menceritakan kesiapan mental dan sikap warga Jepang ketika bencana melanda.
“Warga Jepang tinggal di daerah rawan kayak kita di Indonesia, tapi di sana mereka membangun rumah yang ringan, diatur dalam peraturan daerah. Di rumah warga, sudah siap tas siaga bencana yang di dalamnya ada senter, selimut, pakaian, makanan siap saji, minuman darurat, obat-obatan. Jadi begitu terjadi gempa, mereka langsung ambil tas itu. Dan mereka sudah tahu lokasi evakuasi di mana,” ujar Sutopo, Kamis (30/11).
Dampak Siklon Tropis Cempaka dan Dahlia. (Foto: Antara/Aditya Pradana Putra)
Jepang dan Indonesia, jika dilihat dari topografinya, memang sama-sama rawan bencana, baik gempa bumi, tsunami, ledakan gunung, banjir, longsor, atau kekeringan. Ini karena kondisi geografis kedua negara yang berada di garis Pasifik dan Monsoon Asia dengan risiko curah hujan tinggi.
ADVERTISEMENT
Jadi, apakah Indonesia sesiap Jepang dalam menghadapi bencana, termasuk siklon tropis yang akhir November 2017 menghantam Pulau Jawa dua kali dalam sepekan?
Secara klimatologi, Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa sesungguhnya tak umum menjadi lintasan siklon tropis. Nyatanya, itu bukan jaminan Indonesia tak terkena dampak siklon tropis yang terbentuk di sekitar wilayah Indonesia.
Misalnya, siklon tropis Rosie (2008) yang terbentuk di sebelah barat Banten, siklon tropis Kirrily di Kepulauan Aru (2009), dan siklon tropis Vamei (2001) di Semenanjung Malaka.
Belum lagi, siklon-siklon yang belakangan kian sering tumbuh di wilayah Indonesia. Contohnya siklon Durga di perairan barat Bengkulu pada 22-25 April 2008, siklon Anggrek di perairan barat Sumatera pada 30 Oktober-4 November 2010, siklon Bakung di barat daya Sumatera pada 11-13 Desember 2014, siklon Cempaka di selatan Jawa pada 27 November 2017, dan siklon Dahlia di barat daya Bengkulu pada 29 November 2017.
ADVERTISEMENT
Siklon tropis secara alamiah dipicu oleh perbedaan tekanan udara dan anomali suhu permukaan laut. Kondisi ini dipengaruhi oleh matahari yang berada di bagian selatan Bumi yang menjadikannya lebih hangat, sehingga atmosfer pada Bumi selatan pun lebih cair dan renggang dibanding bagian utara.
Siklon Tropis (Foto: AFP)
Pertumbuhan bibit siklon yang meningkat di Indonesia membuat budaya sadar bencana dan upaya tanggap bencana kian penting dilakukan. Terpenting, budaya sadar bencana adalah investasi masa depan sebuah bangsa.
“Pengaruh pemanasan global membuat kerusakan alam semakin parah. Seperti yang telah dilakukan Jepang, pemerintah Indonesia diharapkan tidak menempatkan anggaran untuk pencegahan bencana dan penekanan jumlah korban sebagai ‘biaya’, tapi juga investasi,” tulis Takeshi Muronaga dalam Pengenalan Bantuan ODA Offical Development Assistance Jepang ke Indonesia.
ADVERTISEMENT
Saat ini, Indonesia telah memiliki Undang-Undang yang menjadi landasan nasional terkait penanggulangan bencana yaitu UU Nomor 24 Tahun 2007. Pasal 33 UU tersebut menjelaskan, penanggulangan bencana terdiri dari 3 tahap, yakni prabencana, saat tanggap darurat, dan pascabencana.
Jadi, Indonesia jelas punya kebijakan penanggulangan bencana.
“Dari sistem yang ada di BNPB, Inaware (Indonesia All Warning and Risk Evaluation), kami bisa memantau daerah-daerah mana yang terdampak. Antisipasi atas dampak curah hujan yang lebat dan angin yang kencang,” ucap Sutopo.
Penyaluran informasi dan sosialisasi terhadap ancaman bencana yang mungkin timbul juga dilakukan oleh pemerintah daerah, masyarakat, hingga media yang menjadi sarana penyebar informasi. Sistem peringatan dini serta pendidikan dan pelatihan tanggap bencana tak dilupakan.
ADVERTISEMENT
Sementara untuk penanggulangan pasca-bencana, dibelilah helikopter Bell 412, digelontorkan bantuan dari pemerintah bersama pihak swasta dan masyarakat, diturunkan personel dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), TNI, Polri, hingga relawan untuk melakukan evakuasi, didirikan dapur umum dan posko kesehatan, dan lain-lain.
Meski begitu, Indonesia memiliki kendala dalam hal teknologi.
Sungai Gajah Wong setelah diterjang badai. (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
Saat Sungai Gajah Wong di Kotagede, Yogya, meluap, Selasa (28/11), alarm peringatan dini di menara tak menyala. Sebagian rumah diterjang banjir bandang.
“Kalau debit air di hulu sungai naik, alarm menara biasanya berbunyi. Tapi kemarin enggak. Mungkin saking besarnya hujan,” ucap Suyono.
Ia dan warga lain terlihat sibuk di tengah Sungai Gajah Wong. Mereka mengeruk pasir dari sisi dangkal sungai, menambal talut yang berantakan akibat banjir bandang seiring amukan siklon tropis di Yogya dan Pacitan.
Siklon tropis di Indonesia (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
“Kalau mau seakurat Jepang, (Indonesia) masih kurang sekali. Saat ini radar kita 41, di Jepang ratusan bahkan mungkin seribu lebih, padahal areanya lebih kecil. Tapi kondisi terbatas itu tidak boleh jadi alasa,” kata Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Dwikorita Karnawati, Minggu (3/12).
ADVERTISEMENT
Keterbatasan perangkat teknologi itu membuat Indonesia masih gagap menghadapi bencana siklon tropis.
“Persoalannya, di Indonesia jarang terjadi siklon tropis, sehingga tidak menduga akan mengalami siklon semacam itu,” ujar Dwikorita.
Persoalan lain, pengetahuan masyarakat terhadap informasi penanggulangan bencana masih minim. “Masyarakat yang tinggal di ujung-ujung sana (pelosok), nggak ngerti,” kata Kepala Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, Kamis (30/11).
Banjir akibat siklon (Foto: Antara)
Pengetahuan minim tersebut menyebabkan minusnya sikap sadar bencana di tengah masyarakat. Banyak perilaku masyarakat yang justru menjadi “bom waktu” atas kemunculan bencana-bencana di Indonesia.
Sebut saja kerusakan lingkungan akibat alih fungsi hutan untuk lahan pertanian dan permukiman, drainase yang terganggu karena kebiasaan buang sampah sembarangan, hingga membangun hunian di daerah rawan bencana.
“Lima puluh persen penduduk tinggal di Jawa, jadi umpel-umpelan, padat. Kalangan ekonomi menengah ke bawah akhirnya mencari tempat tinggal yang murah, yaitu di daerah rentan bencana seperti bantaran sungai, lereng-lereng gunung, dan perbukitan yang rawan longsor,” kata Sutopo.
ADVERTISEMENT
Aturan dalam UU Penanggulangan Bencana disebut Dwikorita dan Sutopo masih bersifat administratif, kurang detail pada tataran implementasi.
Namun setidaknya, ada langkah minimal yang bisa dilakukan semua orang untuk meminimalisasi bencana: tidak merusak lingkungan.