Wajah Ramah Suami Pembunuh Istri

4 Januari 2018 21:13 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Banyak sekali hal yang berpotensi bahaya di dunia ini. Siapa sangka, teman hidup yang mengaku mencinta, berubah jadi “iblis” pencabut nyawa.
ADVERTISEMENT
Bagaimana bisa pasangan yang hidup bersama dengan kasih sayang, bisa saling menyakiti? Berangkat dari pertanyaan ini, saya dan Dwi Herlambang berniat mencari tahu jawabannya langsung dari sang pelaku.
Hari itu, Jumat terakhir tahun 2017, saya dan Dwi--bersama Intan dan Charles, fotografer dan videografer kami --menemui Kholili, tersangka pembunuh dan pemutilasi istrinya, Siti Saidah.
Walau sebelumnya sudah melihat wajah Kholili dari fotonya di media sosial, namun kekejaman yang ia lakukan membuat saya bersiap bertemu lelaki yang ganas dan menyeramkan.
Saat polisi menjemput Kholili dari balik jeruji besi Rumah Tahanan Polres Karawang untuk menemui kami atas izin Kapolres Karawang AKBP Hendy F Kurniawan, saya kian bersiaga.
Hingga akhirnya sosok Kholili keluar dari rutan dengan wajah tertunduk dan tangan terborgol. Ia dan sejumlah polisi yang mendampingi, berjalan cepat, membuat saya mengikuti setengah berlari.
ADVERTISEMENT
Di ruang Kasat Reskrim, borgol Kholili dilepas. Sang tersangka pembunuh duduk, dan mulai mengangkat wajahnya, melihat kami yang sudah duduk tepat di depannya.
Tapi saya jadi kaget bukan main, sebab gurat wajah Kholili jauh dari kesan pembunuh apalagi pemutilasi. Dia ramah, dan suaranya pelan. Saya merasa gelagatnya tak ada yang dibuat-buat, normal dan natural.
Pertanyaan demi pertanyaan kami ajukan, Kholili mengaku datang dari keluarga yang terbilang taat agama. SD dan SMP ia habiskan di sekolah Islam. Sekilas, Kholili tampak baik-baik saja. Ia betul-betul seperti orang baik.
Tapi lama-lama saya merasa kesal, sebab Kholili bercerita soal tindak mutilasinya sambil cengengesan. Betul-betul menjengkelkan.
Usai mewawancarai Kholili, kami mendatangi rumah kontrakan dia dan Siti di Telukjambe, Karawang, dan bertukar sapa dengan tetangga yang kebetulan sore itu sedang berkumpul di dekat kontrakan Siti.
ADVERTISEMENT
Tetangga mengatakan, tak menyangka Kholili yang selalu terlihat ramah bisa membunuh istrinya.
Meski baru lima bulan tinggal di rumah kontrakan itu, Siti dan Kholili sudah bergaul cukup dekat dengan para tetangga. Pasangan muda itu misalnya sering makan es krim bersama di warung kelontong salah satu tetangga mereka.
Sang pemilik warung pun menitikkan air mata ketika mengingat Siti. Sementara Walijah, tetangga depan rumah Kholili, juga seolah tak percaya Siti bisa dibunuh suaminya.
Walijah (40) tetangga Siti Saidah dan Kholili (Foto: Intan Alfitry Novian/kumparan)
“Memang sering cekcok sih, tapi sering juga mesra-mesraan. Suap-suapan gitu. Kadang suka momong anak bareng,” kata Walijah.
Dari cerita para tetangga, saya mendapat gambaran bahwa Siti adalah tipe perempuan easy going yang mudah diajak bercengkerama.
Di Balik Tindakan Mutilasi (Foto: Intan Alfitry/kumparan)
Saya kemudian menuju depan rumah kontrakan Siti, menatapnya, dan mulai membayangkan bagaimana ia dan Kholili sering bercanda dan suap-suapan di teras rumah.
ADVERTISEMENT
Sedih? Tentu, walau saya sudah mencoba untuk menahan perasaan melankolis itu.
Lalu saya terbayang adegan ketika Kholili dan Siti bertengkar hebat hingga nyawa Siti melayang--dan Kholili memotong-motong istri yang pernah dicintanya itu seperti sapi.
Sudah cukup, saya tak kuat membayangkan!
Apapun kesulitan hidup yang mereka hadapi, amat tak layak nyawa diakhiri dengan cara seperti itu.
Siti Saidah alias Nindya dan suami. (Foto: Instagram muhamad.kholili)
Segala rasa dan tanya jadi berkecamuk di benak saya: kalau saling cinta, kenapa bertikai dan saling pukul? Kalau tak siap berumah tangga, kenapa menikah? Kalau sudah hidup bersama, kenapa tak bisa mengenal tabiat dan batas kesabaran pasangannya?
Kalau tak suka dengan perlakuan pasangan, kenapa diam terus hingga meledak menjadi petaka hebat? Kalau kalau kalau… ah! Semua sudah terlambat. Waktu tak dapat diputar balik.
ADVERTISEMENT
Dan tentu saja satu pertanyaan besar mengerikan--seperti juga yang bersemayam di kepala Kholili: kalau putra mereka telah tumbuh dewasa, bagaimana saat ia tahu ibunya tewas di tangan ayahnya?
Muhammad Kholili di Polres Karawang (Foto: Intan Alfitry Novian/kumparan)