Bolehkah Pelanggar Hukum Diunggah ke Media Sosial?

27 Desember 2017 23:21 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Media sosial (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Media sosial (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
Penyebaran temuan dugaan tindakan asusila seperti yang dikampanyekan gerakan Celup (cekrek, lapor, upload) berisiko melanggar hukum. Pasalnya, ada Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang melarang penyebaran konten berbau pornografi.
ADVERTISEMENT
Namun, bolehkah kampanye serupa Celup yang mengunggah para pelaku asusila ke media sosial itu dilakukan untuk dugaan pelanggaran hukum lain, misalnya saja pelanggaran lalu lintas yang sudah jelas batasan.
Pakar hukum pidana Universitas Indonesia Ganjar Laksmana menyebutkan, temuan dugaan pelanggaran hukum tidak boleh diabaikan. Tindakan pengabaian saat menemukan pelanggaran malah punya konsekuensi hukum.
"Kalau ada tindak pidana, tidak kita laporkan, itu namanya membantu tindak pidana dalam bentuk membiarkan," kata Ganjar kepada kumparan (kumparan.com) Rabu (27/12).
Hanya saja, pelaporan temuan dugaan pelanggaran hukum harus ke polisi, bukan ke media sosial. Selanjutnya menjadi tugas polisi tindakan tersebut benar melanggar hukum atau tidak.
Penyebaran ke media sosial disebut Ganjar punya risiko menimbulkan kekacauan di masyarakat. "Kalau ke publik, nanti (pelaku) bisa dihakimi masyarakat," ujar Ganjar.
ADVERTISEMENT
Terkait temuan dugaan pelanggaran, Ganjar mengatakan, hal tersebut belum tentu tindakan melawan hukum. "Publik harus paham tidak setiap melanggar undang-undang adalah melanggar hukum. Anda masuk busway difoto orang melanggar karena Undang-undang Lalu Lintas, siapa yang tahu Anda sedang kepepet bantu orang butuh darah," jelas Ganjar.
Hal seperti itu, menurut Ganjar, bisa dimaafkan. Dia menuturkan, dalam hukum pidana Indonesia ada kemungkinan penghapusan pidana untuk kasus tertentu.
Karena itu, Ganjar meminta publik berhati-hati saat hendak menyebarkan temuan pelanggaran hukum. "Dia mesti tahu persis peristiwa yang terjadi di depan matanya jika dia mau melaporkan. Yang paling aman ya lapor polisi," sebut Ganjar.
Sedangkan pakar hukum pidana Universitas Trisakti Yenti Ganarsih berpendapat maraknya publik yang menyebarkan temuan pelanggaran ke dunia maya merupakan konsekuensi teknologi. Meski pengunggah tidak lepas dari akibat perbuatannya.
ADVERTISEMENT
"Misal pelanggar lalu lintas diunggah, maka bisa merasa terhina. Tapi terhina bagaimana, melanggar lalu lintas kan perbuatan terhina juga," ucap Yenti.
Laporan masyarakat ke sosial media, malah dianggap Yenti bisa dimaafkan secara hukum. "Bukan sesuatu yang bisa dibenarkan tapi bisa dimaafkan," katanya.
Terkait akun media sosial milik polisi yang belakangan ini sering menyebarluaskan foto pelanggar hukum, tindakan itu diperbolehkan. Pasal 5 ayat 1 dan ayat 2 UU ITE menyatakan, penyebaran foto atau dokumen digital lainnya terkait pelanggaran hukum bisa dianggap sebagai perpanjangan alat bukti yang diatur Hukum Acara Pidana.
Terlebih lagi, dalam Pasal 14 UU nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta menjelaskan, pendistribusian foto tersebut dalam kepentingan umum, keamanan atau proses pidana, diperbolehkan tanpa perlunya izin dari pelaku yang terpotret, dilakukan oleh instansi yang berwenang.
ADVERTISEMENT