Bos Blackgold Didakwa Suap Idrus Marham dan Eni Saragih Rp 4,75 Miliar

4 Oktober 2018 13:51 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tersangka kasus dugaan suap PLTU Riau-1 Johannes Budisutrisno Kotjo tiba untuk menjalani pemeriksaan di gedung KPK. (Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)
zoom-in-whitePerbesar
Tersangka kasus dugaan suap PLTU Riau-1 Johannes Budisutrisno Kotjo tiba untuk menjalani pemeriksaan di gedung KPK. (Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)
ADVERTISEMENT
Pemegang saham PT Blackgold Natural Resources Limited, Johanes Budisutrisno Kotjo, didakwa menyuap mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Fraksi Golkar, Eni Maulani Saragih, dan mantan Sekjen Golkar Idrus Marham. Johannes diduga menyuap kedua mantan politikus Golkar itu sebesar Rp 4,75 miliar dalam proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1 (PLTU MT Riau-1).
ADVERTISEMENT
"Dengan maksud supaya Eni membantu terdakwa (Johanes) mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1 antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PBJI), Blackgold Natural Resources, dan China Huadian Engineering Company," ujar jaksa Ronald Ferdinand Worotikan, saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (4/10).
Sekitar tahun 2015, Johanes yang memegang saham Blackgold sebesar 4,3 persen atau setara 40 juta lembar saham, berusaha mencari investor yang bersedia melaksanakan proyek PLTU Riau. Dengan kesepakatan, Johanes akan mendapatkan fee 2,5 persen atau sekitar USD 25 juta dari proyek senilai USD 900 juta tersebut.
Dari fee itu, Johanes akan mendapatkan keuntungan sebesar 24 persen atau sekitar USD 6 juta. Sedangkan sisanya, akan dibagikan ke sejumlah petinggi Blackgold dan anak perusahaannya, PT Samantaka Batubara.
Setya Novanto menjadi saksi pada sidang lanjutan terdakwa Irvanto dan Made Oka Masagung di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (14/9). (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Setya Novanto menjadi saksi pada sidang lanjutan terdakwa Irvanto dan Made Oka Masagung di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (14/9). (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Menurut Jaksa, perkenalan antara Johanes dengan Eni terjadi karena dipertemukan oleh mantan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto. Sekitar awal 2016, Johanes meminta Setnov untuk memperkenalkannya kepada pihak PT PLN (Persero).
ADVERTISEMENT
Bertempat di ruang kerja Ketua Fraksi Golkar Gedung Nusantara DPR, Sentov kemudian mengenalkan Eni sebagai anggota Komisi VII DPR yang membidangi energi, riset, teknologi, serta lingkungan hidup.
"Pada kesempatan itu, Setya Novanto menyampaikan kepada Eni agar membantu terdakwa (Johanes) dalam proyek PLTU dan untuk itu terdakwa akan memberikan fee, yang kemudian disanggupi Eni," tutur jaksa Ronald.
Eni Maulani Saragih usai menjalani pemeriksaan oleh penyidik KPK, Jakarta. (Foto: ANTARA FOTO/Reno Esnir)
zoom-in-whitePerbesar
Eni Maulani Saragih usai menjalani pemeriksaan oleh penyidik KPK, Jakarta. (Foto: ANTARA FOTO/Reno Esnir)
Untuk menindaklanjuti kesepakatan tersebut, Eni, Johanes, dan Setnov, kerap melakukan pertemuan. Namun, setelah Setnov ditahan KPK terkait kasus korupsi proyek e-KTP, Eni melaporkan perkembangan proyek PLTU Riau kepada Idrus Marham, yang saat itu sudah ditunjuk menjadi pelaksana tugas (Plt) Ketum Golkar. Termasuk menagih fee yang dijanjikan Johanes untuk Eni.
"Selanjutnya, Eni menyampaikan kepada Idrus Marham bahwa Eni akan mendapatkan fee dari terdakwa (Johanes) untuk mengawal proyek PLTU Riau. Pada 25 November 2017, Eni, atas sepengetahuan Idrus, mengirimkan pesan melalui WhatsApp meminta uang sejumlah SGD 400.000 kepada terdakwa (Johanes)," ungkap jaksa Ronald.
ADVERTISEMENT
Usai mengirimkan pesan itu, Eni mengajak Idrus untuk menemui Johanes di kantornya, Graha BIP Jakarta, pada 15 Desember 2017. Jaksa menyebut, dalam pertemuan itu, Johanes menyampaikan kepada Idrus persoalan fee 2,5 persen jika proyek PLTU Riau berhasil terlaksana.
Untuk melancarkan pemberian, Eni beralasan bahwa fee tersebut akan digunakan untuk kegiatan musyawarah nasional luar biasa (Munaslub) Partai Golkar. Saat proyek sedang bergulir, Eni juga menjabat sebagai Bendahara Munaslub Golkar.
"Dan guna meyakinkan terdakwa (Johanes), Idrus juga menyampaikan kepada terdakwa 'tolong dibantu ya', selanjutnya permintaan Eni dan Idrus disanggupi oleh terdakwa," imbuh Jaksa Robert.
Idrus Marham usai menjalani pemeriksaan lanjutan di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (19/9). (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Idrus Marham usai menjalani pemeriksaan lanjutan di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (19/9). (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Johanes langsung memerintahkan sekretaris pribadinya, Audrey Ratna Justianty, untuk memberikan fee dalam dua tahap, yakni sebesar Rp 2 miliar pada 18 September 2017, dan Rp 2 miliar berikutnya pada 14 Maret 2018 melalui orang suruhan Eni bernama Tahta Maharaya.
ADVERTISEMENT
Adapun, untuk Rp 750 juta sisanya, diberikan oleh Audrey kepada Eni secara terpisah. Dengan rincian, pemberian pertama sebesar Rp 250 juta, dan Rp 500 juta pada 10 Juli 2018. Akan tetapi, sesaat setelah pemberian uang Rp 500 juta dari Audrey itu, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Eni, Tahta dan Audrey. Dalam perkembangan selanjutnya, KPK turut menjerat Idrus.
Atas perbuatannya, Johanes didakwa melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Padal 64 ayat (1) KUHP.
ADVERTISEMENT
Usai mendengarkan pembacaan dakwaan, Johanes dan tim kuasa hukumnya tidak berniat mengajukan keberatan atau eksepsi.