Bos Blackgold Divonis 2 Tahun 8 Bulan Penjara

13 Desember 2018 13:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Terdakwa kasus suap proyek pembangunan PLTU Riau-1 Johannes Budisutrisno Kotjo bergegas meninggalkan ruang sidang. (Foto: ANTARA FOTO/Galih Pradipta)
zoom-in-whitePerbesar
Terdakwa kasus suap proyek pembangunan PLTU Riau-1 Johannes Budisutrisno Kotjo bergegas meninggalkan ruang sidang. (Foto: ANTARA FOTO/Galih Pradipta)
ADVERTISEMENT
Pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johanes Budisutrisno Kotjo, dihukum 2 tahun 8 bulan penjara dengan denda Rp 150 juta subsider 3 bulan kurungan. Kotjo dinilai hakim terbukti terlibat kasus suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1.
ADVERTISEMENT
"Mengadili, menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi," ujar ketua majelis Hakim Lucas membacakan amar putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (13/12).
Putusan tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa KPK. Kotjo dituntut pidana penjara selama 4 tahun dan denda sebesar Rp 250 juta subsider 6 bulan kurungan.
Menurut hakim, Kotjo terbukti menyuap eks Wakil Ketua Komisi VII DPR fraksi Golkar, Eni Maulani Saragih, dan eks Sekjen Partai Golkar, Idrus Marham, sebesar Rp 4,75 miliar, dalam beberapa tahap. Tujuannya agar Eni dan Idrus membantu perusahaan Kotjo mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) PLTU riau-1.
"Meski Eni tidak memiliki kewenangan tapi terdakwa mengetahui jabatan Eni dapat memperlancar proyek PLTU Riau," kata hakim Lucas.
Sidang pembacaan putusan untuk terdakwa kasus suap PLTU Riau-1, Johanes Budisutrisno Kotjo, selaku pemilik saham Blackgold Natural Resources Limited. (Foto: Marcia Audita/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sidang pembacaan putusan untuk terdakwa kasus suap PLTU Riau-1, Johanes Budisutrisno Kotjo, selaku pemilik saham Blackgold Natural Resources Limited. (Foto: Marcia Audita/kumparan)
Perbuatan Kotjo dinilai telah memenuhi unsur Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Padal 64 ayat (1) KUHP.
ADVERTISEMENT
Awal Mula Kasus
Sekitar tahun 2015, Kotjo yang memegang saham Blackgold sebesar 4,3 persen atau setara 40 juta lembar saham, berusaha mencari investor yang bersedia melaksanakan proyek PLTU Riau. Kotjo lalu membuat kesepakatan dengan pihak investor, CHEC, bahwa jika proyek berjalan, perusahaan akan mendapatkan fee 2,5 persen atau sekitar USD 25 juta dari proyek senilai USD 900 juta tersebut.
Dari fee itu, Kotjo akan mendapatkan keuntungan sebesar 24 persen atau sekitar USD 6 juta. Sedangkan sisanya, akan dibagikan ke sejumlah petinggi Blackgold dan anak perusahaannya, PT Samantaka Batubara.
Mantan Ketua DPR Setya Novanto dinilai turut andil dalam memuluskan proyek ini. Dalam pertemuannya pada awal 2016, Kotjo meminta Novanto untuk memperkenalkannya kepada pihak PT PLN (persero) selaku pemegang proyek.
Mantan Ketua DPR Setya Novanto (kanan) mengikuti sidang di gedung Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (18/9). (Foto: Antara/Muhammad Adimaja)
zoom-in-whitePerbesar
Mantan Ketua DPR Setya Novanto (kanan) mengikuti sidang di gedung Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (18/9). (Foto: Antara/Muhammad Adimaja)
Setnov lantas mengenalkan Kotjo dengan Eni Saragih sebagai anggota yang membidangi energi, riset, teknologi, serta lingkungan hidup. Setnov meminta Eni agar membantu Kotjo dalam proyek PLTU dan untuk itu Kotjo akan memberikan fee, yang kemudian disanggupi Eni.
ADVERTISEMENT
Untuk menindaklanjuti kesepakatan tersebut, Eni, Johanes, dan Setnov, kerap melakukan pertemuan. Namun, setelah Setnov ditahan KPK terkait kasus korupsi proyek e-KTP, Eni melaporkan perkembangan proyek PLTU Riau kepada Idrus Marham, yang saat itu sudah ditunjuk menjadi pelaksana tugas (Plt) Ketum Golkar. Termasuk menagih fee yang dijanjikan Kotjo untuk Eni.
Eni pun menyampaikan kepada Idrus Marham bahwa ia akan mendapatkan fee dari Kotjo untuk mengawal proyek PLTU Riau. Pada 25 November 2017, Eni, atas sepengetahuan Idrus, mengirimkan pesan melalui WhatsApp meminta uang sejumlah SGD 400 ribu kepada Kotjo.
Usai mengirimkan pesan itu, Eni pun mengajak Idrus untuk menemui Kotjo di kantornya, Graha BIP Jakarta, pada 15 Desember 2017. Jaksa menyebut, dalam pertemuan itu, Kotjo pun menyampaikan kepada Idrus persoalan fee 2,5 persen jika proyek PLTU Riau-1 berhasil terlaksana.
Eni Maulani Saragih di pengadilan Tipikor Jakarta. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Eni Maulani Saragih di pengadilan Tipikor Jakarta. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
Untuk melancarkan pemberian, Eni beralasan bahwa fee tersebut akan digunakan untuk kegiatan musyawarah nasional luar biasa (Munaslub) Partai Golkar. Saat proyek sedang bergulir, Eni juga menjabat sebagai Bendahara Munaslub Golkar.
ADVERTISEMENT
Untuk meyakinkan Kotjo, Idrus pun juga menyampaikan kepada Kotjo 'tolong dibantu ya', selanjutnya permintaan Eni dan Idrus disanggupi oleh Kotjo.
Kotjo pun langsung memerintahkan sekretaris pribadinya, Audrey Ratna Justianty, untuk memberikan fee dalam dua tahap, yakni sebesar Rp 2 miliar pada 18 September 2017, dan Rp 2 miliar berikutnya pada 14 Maret 2018 melalui orang suruhan Eni bernama Tahta Maharaya.
Adapun, untuk Rp 750 juta sisanya, diberikan oleh Audrey kepada Eni secara terpisah. Dengan rincian, pemberian pertama sebesar Rp 250 juta, dan Rp 500 juta pada 10 Juli 2018.
Akan tetapi sesaat setelah pemberian uang Rp 500 juta dari Audrey itu, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Eni, Tahta dan Audrey. Dalam perkembangan selanjutnya, KPK turut menjerat Idrus Marham.
ADVERTISEMENT