Menanti Listrik dan Jalan Beraspal di Pedalaman Aceh Timur

2 April 2018 10:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana pedalaman Aceh Timur. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana pedalaman Aceh Timur. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Suara azan terdengar merdu dari balik musala. Langit mulai meredup meninggalkan cahaya malam. Beberapa warga terlihat beranjak menghidupkan mesin genset untuk penerangan. Sebagian warga lainnya menjadikan cahaya teplok sebagai tumpuan harapan.
ADVERTISEMENT
Hal itu merupakan pemandangan sehari-hari masyarakat pedalaman di empat desa di Kecamatan Simpang Jernih, Aceh Timur. Empat desa itu, yaitu Melidi, Tampur Paloh, Tampur Bur, dan HTI Ranto Naro merupakan kawasan tertinggal di pedalaman Aceh Timur. Desa-desa ini dikelilingi Gunung Punggung Leusong, Bur Bujang Selamat, Bendahara, Sanggapani, dan Gunung Masjid Perbatasan Gayo Lues-Aceh Tamiang.
Suasana pedalaman Aceh Timur. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana pedalaman Aceh Timur. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
Untuk menuju ke sana harus menggunakan transportasi perahu kayu melintasi Sungai Hulu Tamiang dengan jarak tempuh sekitar 2 jam. Perjalanan dimulai dari pelabuhan Serkil, Bandar Pusaka, Kabupaten Aceh Tamiang. Meski berada di wilayah Aceh Timur, untuk menuju ke empat desa tersebut harus melalui Aceh Tamiang, sebab tidak ada jalur penghubung lain menuju ke sana.
Dari pusat ibu kota Banda Aceh menuju Aceh Tamiang berjarak 600 km atau menempuh 8 jam perjalanan, sementara dari kawasan perkantoran Bupati Aceh Tamiang menuju ke pelabuhan Serkil, mengahabiskan waktu 2 jam melewati perkampungan warga dengan hamparan pemandangan pohon sawit di sepanjang perjalanan.
ADVERTISEMENT
Pengujung Maret, kumparan (kumparan.com) mengunjungi dua desa di sana, yaitu Melidi dan Tampur Paloh. Sejumlah persoalan melanda desa tersebut, mulai dari tidak adanya arus listrik, fasilitas infrastruktur, kesehatan, pendidikan, jaringan komunikasi hingga minimnya transportasi.
Suasana pedalaman Aceh Timur. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana pedalaman Aceh Timur. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
Di Bawah Cahaya Lampu Teplok
Di bawah cahaya lampu teplok Ariga (8) sedang membaca surat surat Al-Baqarah di tempat pengajiannya. Meski cahaya minim ia tetap berusaha membaca ayat demi ayat dengan baik dituntun ustaz Said Husin (40). Kendati bermodalkan cahaya teplok, satu per satu anak muridnya terus berdatangan. Mereka mengambil Al-Quran masing-masing dari atas meja kemudian duduk mengelilingi Husin mengulangi setiap bacaan yang telah ditentukan.
Husin telah membuka tempat pengajian sejak lima tahun silam. Setiap malam ia mengajari anak-anak di Desa Tampur Paloh belajar mengaji. Rumah Husin tidak memiliki aliran listrik, sehingga ia mengajari anak-anak di bawah sinar cahaya teplok.
ADVERTISEMENT
“Selain milik pribadi sebagian lampu teplok dibawa oleh anak-anak. Rumah saya memang tidak ada fasilitas aliran listrik. Walaupun sebagian warga sudah dialiri listrik dari mesin genset, tetapi saya tidak mampu membayar uang untuk membeli minyaknya,” kata Husin.
Suasana pedalaman Aceh Timur. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana pedalaman Aceh Timur. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
Kondisi gelap gulita dialami warga Tampur Paloh sejak desa mereka berdiri hingga saat ini. Masyarakat di sana sama sekali belum pernah merasakan aliran listrik PLN milik negara. Namun beberapa warga sudah menggunakan genset dan sebagiannya masih menggunakan lampu teplok lantaran tidak sanggup membayar uang bulanan untuk membeli minyak.
Bagi rumah warga yang mendapatkan aliran listrik tenaga diesel (genset) yang hanya hidup mulai dari pukul 18.00 WIB hingga 23.00 WIB. Setelah itu minyak genset habis dan Tampur Paloh gelap gulita. Untuk membayar uang pembelian minyak, bagi warga yang mampu dibebani biaya Rp 90 ribu per bulannya. Sementara bagi warga yang memiliki televisi membayar sebanyak Rp 150 ribu per bulan.
ADVERTISEMENT
Di Tampur Paloh ada 8 genset milik pribadi warga. Satu genset bisa menerangi 7 hingga 10 rumah warga. Sedang penduduk di sana sebanyak 112 KK atau 400 jiwa.
“Dari pukul 24.00 sampai pagi itu gelap gulita tidak ada lampu, masih kayak zaman Belanda dululah kami pakai lampu teplok. Kadang-kadang ada rumah warga yang enggak pakai lampu, karena enggak sanggup beli minyak, sedih enggak. Seperti ibu-ibu yang janda kita bangunin kok enggak ada orang padahal ada di dalam tapi karena gelap,” ujar Hasbi (50), tokoh masyarakat Tampur Paloh, sambil tersenyum menceritakan kondisi desanya kepada kumparan, Jumat (30/3) malam.
Hasbi mengaku masyarakat di Tampur Paloh belum merasakan kemerdekaan sesungguhnya. Warga di sana tidak mendapatkan fasilitas layaknya daerah lain di wilayah Aceh Timur.
Suasana pedalaman Aceh Timur. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana pedalaman Aceh Timur. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
“Ya jelaslah kami belum merdeka, pertama kami lampu penerangan belum ada, jaringan komunikasi tidak ada, transportasi masih naik boat. Itu tandanya belum merdeka. Walaupun negara kita sudah merdeka tapi kami belum menikmatinya,” tutur Hasbi.
ADVERTISEMENT
Hasbi mengatakan pembangunan tidak adil untuk desanya, pemerintah hanya mengutamakan pembangunan di daerah perkotaan. Sementara warga di daerah pedalaman tak diperhatikan dan terus menderita selama bertahun-tahun.
“Pemerintah cuma ada dari pihak Bappeda yang pernah kemari. Tetapi kalau untuk bupatinya sendiri belum pernah sama sekali. Kami hanya mendapatkan janji-janji surge (surga-red), tetapi tidak pernah ditepati apa yang diucapkan itu. Dulu pernah dijanjikan pembangunan PLTA, PLN tapi sampai saat ini belum pernah kami rasakan,” sebut Hasbi.
Murni, warga Tampur Paloh lainnya, memiliki cerita unik. Tiga tahun silam dirinya membeli kulkas. Namun kulkas yang seharusnya berisikan es batu dan kebutuhan bahan pokok rumah tangga, malah dijadikan lemari baju lantaran tak ada listrik. Penerangan di rumah Murni berasal dari genset yang hidup menggunakan tenaga baterai.
Suasana pedalaman Aceh Timur. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana pedalaman Aceh Timur. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
"Seharusnya berisi es tapi malah diisikan baju," ujar Murni tersenyum malu menceritakan kisahnya.
ADVERTISEMENT
Pemandangan berbeda terlihat di Desa Melidi. Warga di sana telah memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) sejak beberapa tahun terakhir, bantuan dari PNPM Mandiri. Aliran listrik dapat dinikmati warga mulai pukul 17.00 WIB hingga 07.00 WIB, setelah itu mati. Bagi warga yang punya televisi dibebankan untuk membayar uang lampu sebesar Rp 35 ribu dan warga yang pakai lampu saja hanya membayar Rp 20 ribu.
Masyarakat di dua desa ini menopang kebutuhan hidup di sektor pertanian. Warga berprofesi sebagai petani cabai, karet, pinang, dan tanaman palawija serta mencari ikan. Sebagian kecil menebang kayu di hutan (pembalakan liar). Hubungan sosial interaksi sesama warga berjalan dengan baik. Adat dan budaya nenek moyang masih begitu erat dijaga demi menjalin tali persaudaraan.
ADVERTISEMENT
Di Desa Melidi dan Tampur Paloh, kumparan merasakan suasana yang begitu nyaman. Bentangan Sungai Hulu Tamiang dengan air yang sejuk dan panorama alam masih begitu alami. Jauh dari hiruk-pikuk kota, tidak ada kebisingan di sana.
Persoalan Pendidikan
Suasana pedalaman Aceh Timur. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana pedalaman Aceh Timur. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
Di Desa Melidi, Tampur Paloh, Tampur Bur, dan HTI Ranto Naro, hanya terdapat 2 Sekolah Menengah Pertama (SMP). Untuk Sekolah Dasar (SD) terdapat di masing-masing desa. Kendati demikian permasalahan kerap dialami anak-anak di sana karena minimnya tenaga pengajar.
Seperti di Desa Melidi, untuk tingkat SD terdapat 10 tenaga pengajar, 5 guru bakti dan 5 Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sementara SMP hanya tenaga bakti yang sering masuk ke sekolah, sementara PNS sering bolos.
ADVERTISEMENT
Kondisi memprihatinkan dirasakan sebagian anak-anak yang memiliki tempat tinggal jauh dari lingkungan sekolah. Tiap pagi mereka harus menyeberangi sungai menggunakan sampan kayu berukuran kecil. Bahkan mereka rela basah-basahan akibat terkena air sungai demi menuju ke sekolah.
Mutia, salah seorang guru PNS di SD Melidi, saat ditemui kumparan Sabtu (31/3), mengaku sudah 20 tahun mengajar di sana. Kata dia, guru PNS yang seangkatan dengannya hanya mampu bertahan selama satu atau dua tahun, kemudian mengajukan surat permohonan pemindahan tugas ke pemerintah daerah alasan tidak betah.
“Dari pertama pengangkatan jadi PNS langsung di sini dan enggak pindah-pindah lagi. Seiring berjalannya waktu saya merasa terpanggil untuk mengabdi dan mengajarkan anak-anak di sini,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Mutia mengeluhkan gaji yang diterimanya. Pemerintah daerah kerap memberikan upahnya tidak tepat waktu. Untuk mengambil gaji, ia harus ke Aceh Timur, yang menghabiskan waktu beberapa hari perjalanan.
Khalid, siswa kelas 3 SMP Mandiri desa Tampur Paloh bercerita, proses belajar mengajar di sekolahnya sama seperti sekolah lain pada umumnya. Hanya saja di sekolah mereka terkendala minimnya guru. Bahkan dalam sepekan, kata dia, pernah hanya ada seorang guru yang mengajar.
“Di sini kendalanya guru tidak pernah semua kumpul, guru di sini kebanyakan dari Langsa dan mereka saling bagi tugas mengajar. Dalam satu minggu paling banyak 3 guru bahkan pernah ada satu guru mengajar. Dan di sini satu guru itu mengajarkan semua mata pelajaran,” kata Khalid, saat dijumpai kumparan usai bermain bola voli.
ADVERTISEMENT
Fasilitas Kesehatan
Suasana pedalaman Aceh Timur. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana pedalaman Aceh Timur. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
Tidak hanya soal pendidikan, fasilitas kesehatan juga sangat terbatas. Obat-obatan sering tidak mencukupi untuk kebutuhan berobat masyarakat di sana. Dari empat desa hanya terdapat seorang mantri yang juga sebagai Kepala Puskesmas Pembantu (Pustu) di Desa Melidi, Sahidin (34), dibantu empat orang bidan.
Sahidin mengatakan, ia kerap kesulitan memperoleh obat karena harus mengambil ke Puskesmas di ibu kota Kecamatan Simpang Jernih. Sahidin dibebankan menangani 1.600 jiwa penduduk dari empat desa dengan gaji Rp 600 ribu per bulan. Selama ia menjadi kepala Pustu, ia sudah menangani 9 orang ibu melahirkan karena kondisi darurat.
“Dari 2006 saya bakti dan 2014 lalu diangkat menjadi status kontrak daerah, dengan gaji Rp 600 ribu sampai saat ini. Bagaimana saya harus memenuhi kebutuhan hidup, tapi ya bagaimana lagi, karena ini sudah kampung kelahiran saya maka bertahan dan mengabdi di sini untuk menolong masyarakat,” kata Sahidin.
ADVERTISEMENT
Infrastruktur
Suasana pedalaman Aceh Timur. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana pedalaman Aceh Timur. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
Pada 26 November 2006 banjir bandang akibat luapan Sungai Tamiang meluluhlantakkan seluruh desa di pedalaman Aceh Timur. Pemerintah melalui Menteri Keuangan saat itu memberikan bantuan bagi warga membangun rumahnya kembali. Permukiman direlokasi ke daratan yang lebih tinggi, seluruh warga saat ini menempati rumah-rumah berkonstruksi kayu, tidak ada bangunan bertingkat di sana.
Pengamatan kumparan, fasilitas jalan di Desa Melidi masih dalam kondisi tanah dan bebatuan, belum ada jalan aspal maupun semen di sana. Berbeda halnya di Tampur Paloh, jalur utama lalu lintas warga sudah bisa dilalui dengan jalan bersemen. Sementara di sebagaian titik, masyarakat harus naik turun bukit dengan kondisi jalan tanah dan bebatuan.
Transportasi
Suasana pedalaman Aceh Timur. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana pedalaman Aceh Timur. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
Perahu kayu menjadi alat transportasi utama masyarakat di sana. Dengan biaya Rp 50 ribu/orang, perahu itu hanya mampu mengangkut maksimal 12 penumpang, setiap hari melawan arus memecai Sungai Tamiang. Jika kondisi air tinggi, maka nyawa menjadi taruhan, ketika air surut, boat akan kandas.
ADVERTISEMENT
Setiap memasuki November hingga Januari, warga yang menggunakan boat tersebut harus hati-hati. Karena air sungai kerap meluap sehingga menghanyutkan potongan kayu dan balok.
Sementara akses jalan darat berjarak sulit ditempuh karena kondisi jalan tidak baik.Jalan darat berupa jalan kecil (setapak) di beberapa titik terdapat reruntuhan kayu saat melintasinya serta beberapa anak sungai.
Selain itu, warga juga harus menguras tenaga karena kondisi jalan naik turun bukit. Jalan ini hanya bisa dilalui kendaraan roda dua saat musim kemarau. Namun saat musim hujan jalan itu tidak bisa dilalui lantaran berlumpur.
“Kalau kondisi air normal kita aman, tetapi saat air tinggi kita harus bertarung melawan arus. Bahkan ada yang pernah tenggelam. Kalau musim hujan enggak ada pilihan lain karena itu akses utama transportasi kami di sini,” kata Ajisah (40), warga Melidi.
ADVERTISEMENT
Untuk akses ke ibu kota, masyarakat harus mengeluarkan uang banyak lantaran perjalananan yang cukup panjang. Untuk menuju ke pusat pemerintahan Aceh Timur, warga harus melewati Aceh Tamiang dan Kota Langsa. Selain itu bagi warga yang ingin menjual hasil tanaman ke luar daerah mereka harus patungan terlebih dahulu untuk membayar sewa boat.
“Kalau pergi ke Aceh Timur itu sekali jalan mengahabiskan uang Rp 300 ribu. Ongkos boat, biaya makan, penginapan dan kebutuhan lainnya. Biaya tranportasi besar, tapi itulah yang dilalui masyarakat setiap ada keperluan ke kota seperti mengurus KTP atau membeli kebutuhan perlengkapan rumah lainnya,” kata Ajisah.
Jaringan Komunikasi
Suasana malam di Kota Aceh Timur. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana malam di Kota Aceh Timur. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
Keterbatasan jaringan komunikasi semakin memperparah ketertinggalan warga di sana. Untuk memperoleh akses jaringan telepon masyarakat harus bersusah payah naik turun bukit untuk mencari titik lokasi yang memiliki sinyal.
ADVERTISEMENT
Seperti di Desa Melidi, jika warga ingin menghubungi keluarga atau anaknya yang berada di kota maka harus mendaki ke salah satu bukit. Warga menyebutnya dengan nama “Bukit Sinyal” karena hanya di lokasi itulah warga bisa memperoleh jaringan komunikasi.
Setiba di atas Bukit Sinyal, warga menunggu sekitar 30 menit untuk mendapatkan jaringan. Jika kondisi cuaca bagus maka warga mudah memperolehnya, namun di saat mendung, warga tidak dapat mengakses jaringan. Saat berada di bukit hanya ponsel biasa yang bisa mendapatkan jaringan, sementara smartphone tidak dapat mengaksesnya.
“Kalau HP biasa mudah dapat sinyalnya, kalau untuk Android masyarakat di sini paling untuk dengar musik aja,” ucap Ajisah sambil tertawa.
Penjelasan Bupati Aceh Timur
ADVERTISEMENT
Bupati Aceh Timur, Hasballah M Thaib, saat dikonfirmasi kumparan Minggu (1/4) mengatakan pemerintah daerah sudah memiliki program untuk pembangunan di sana. Dalam waktu dekat, kata dia, wakil bupati akan menuju ke lokasi untuk mengecek program pembangunan jalan dari Pantai Bidari ke Simpang Jernih.
Suasana pedalaman Aceh Timur. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana pedalaman Aceh Timur. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
“Daerahnya sangat jauh, kalau kita bangun jalan darat dengan biaya APBD memang tidak cukup jika pembangunan sekaligus. Pembangunan harus secara perlahan. Walau bagaimanapun Simpang Jernih tetap wilayah kami. Kita akan bangun dengan dana APBK alat PU sekaligus memasukkan aliran listrik kerja sama dengan PLN, dan kita akan bangun jalan 30 km dari Serba Jadi Lokop ke Simpang Jernih. Target kami selama 4 tahun ke depan akan selesai,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Hasballah yang akrap disapa Roky oleh warga, mengatakan, tahun 2019 pihaknya mengusulkan pengaspalan jalan dari batas Tamiang ke Simpang Jernih. Untuk pembangunan wilayah tertinggal dirinya sudah bertemu pihak Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi dan mengusulkan pembangunan di wilayahnya.
“Ke kementerian sudah beberapa kali kita usul untuk daerah tertinggal bahkan sudah langsung ketemu bicara dan memberikan proposal, tetapi belum ada respons hingga hari ini. Jika dibangun dengan dana APBD tidak cukup karena anggaran yang dimiliki kecil, pendapatan saja tidak memadai kalau kita naikkan pajak tidak mungkin. APBD kami paling sedikit kalau dibanding dengan daerah lain,” bebernya.