Cara Kerja Para Buzzer, Pergi Pagi Pulang Pagi untuk Giring Opini

6 September 2018 10:44 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
lika-liku buzzer. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
lika-liku buzzer. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
ADVERTISEMENT
Kurela pergi pagi pulang pagi hanya untuk mengais rezeki”. Sepenggal lirik lagu yang dibawakan grup band Armada ini tampaknya sangat mengena bagi sejumlah warga Ibu Kota.
ADVERTISEMENT
Buktinya banyak orang mengorbankan waktu istirahat untuk bekerja keras mencari rezeki hingga bekerja di luar batas. Akhirnya banyak hal harus dikorbankan. Tentangan keluarga pun jadi lawan, hingga penyakit datang menyerang badan dan beban bertambah di pikiran.
Bekerja hampir 24 jam jelas bukan hal yang dibenarkan menurut undang-undang ketenagakerjaan. Namun bagi beberapa orang yang menekuni profesi tertentu hal ini tak berlaku, termasuk Desi.
Desi menekuni pekerjaan sebagai buzzer politik pada 2017 setelah lulus dari salah satu perguruan tinggi negeri ternama di Indonesia. Alasannya gajinya cukup tinggi untuk ukuran fresh graduate seperti dirinya, yakni Rp 6 juta per bulan.
Momen Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 tepatnya. Desi bertarung dengan waktu untuk bekerja dalam sebuah tim pemenangan salah satu pasangan calon. Awalnya semua berjalan lancar hingga setelah 2 bulan, pembagian gaji tak transparan dan jam kerja yang semakin kacau.
ADVERTISEMENT
Desi pernah bekerja hampir 24 jam dalam sehari. Waktu istirahat dan hari liburnya juga kerap hangus karena harus bekerja sesuai perintah koordinatornya. Ironisnya tak boleh ada penolakan meskipun sakit.
lika-liku buzzer. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
lika-liku buzzer. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
“Kalau kantoran kan shifting, kalau kita enggak ada kontrak resmi jam kerja. Jadi misalkan nantinya dibutuhkan jam segini, jam segini kita harus siap kayak gitu,” ujar Desi, Jumat (31/8) kepada kumparan.
Tugas Desi adalah membuat berita berisi informasi positif paslon yang mempekerjakannya dan menepis isu negatif. Dia juga harus memposting di media sosial dengan berbagai akun yang berbeda.
“Kalau berita itu sehari kita bisa sampai 15, terus di twitter atau ig (instagram) kita upload yang berhubungan dengan beritanya terus itu bisa disamain sama jumlah artikelnya itu, terus ada produksi juga lebih mengarah ke vlog gitu sih videonya itu kalau vlog seminggu cuma sekali,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Isi postingan dan beritanya juga beragam tergantung dengan kondisi juga untuk promosi pasangan calon.
“Naikin artikel pengenalan gitu supaya masyarakat lebih kenal, setelah resmi jadi calon otomatis kita harus blow up nih apa aja kinerja nyatanya. Kalau ada berita dari paslon lain yang menjelekkan atau kayak downgrade, kita otomatis counter dengan berita baik dari sisi itu,” ujarnya.
Ilustrasi Buzzer (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Buzzer (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Seringkali Desi harus merelakan waktu libur dan jam istirahat jika atasannya meminta bertemu untuk menaikkan isu tertentu. Tak jarang situasi ini membuat orang tua Desi gusar dan khawatir. Desi sering adu mulut dengan orang tuanya dan tak mendukung pekerjaannya.
“Kamu kerjaannya aneh-aneh aja, kayak gitulah pokoknya kerjanya dimarahin dan benar benar gak didukung sih dari awal-awal, tapi kayak yaudah saya pengen nyoba dunia baru jalani aja,” tambahnya.
ADVERTISEMENT
Apalagi jelang pemilihan tiba, Desi dan teman-temannya bekerja sekuat tenaga. Tujuannya tak lain adalah untuk memenangkan pasangan calon yang diusung.
“Enggak ada durasi kerja yang jelas sebenarnya, karena koordinator saya agak maksain ‘gua butuh lu sekarang’. Yaudah kita datang, waktu itu tu pernah paling parah itu dari pagi dari jam 07.00 WIB sampai jam 02.00 WIB pagi pernah,” ceritanya.
Idealisme Desi pun luntur seketika karena ia bekerja berdasarkan kepentingan pihak yang membayarnya. Dia sering mempublikasikan hal yang bukan merupakan fakta sebenarnya.
Semakin jauh melangkah, Desi akhirnya memutuskan untuk berhenti dari profesinya. Durasi waktu kerja yang tak terjadwal dengan baik serta kesehatan yang memburuk membuat tekadnya semakin bulat mencari pekerjaan lainnya.
ADVERTISEMENT
Namun Desi menyebut pekerjaan buzzer masih tetap digeluti banyak orang. Ironisnya setiap pasangan calon yang hendak bertarung di pemilu rata-rata memiliki buzzer tersendiri yang dimotori oleh partai politik.
“Rata rata pasti punya (buzzer) sih karena perang sekarang kan enggak di dunia nyata aja tapi media sosial juga pentinglah,” pungkasnya.
-------------------------------------------------------------------------------
Simak pengakuan para mantan buzzer selengkapnya dalam konten spesial Lika-Liku Buzzer.