Cerita Kivlan Bersama Prabowo Kerahkan Kostrad Atasi Kerusuhan Mei '98

25 Februari 2019 12:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana diskusi "Para Tokoh Bicara 1998" di kawasan TB Simatupang, Jakarta Selatan. Foto: Muhammad Lutfan Darmawan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana diskusi "Para Tokoh Bicara 1998" di kawasan TB Simatupang, Jakarta Selatan. Foto: Muhammad Lutfan Darmawan/kumparan
ADVERTISEMENT
Jelang Reformasi 1998, keadaan Jakarta kacau. Demo dan keericuhan terjadi di mana-mana. Pembakaran merebak di sejumlah tempat.
ADVERTISEMENT
Tak pelak, aktor politik dan mahasiswa, serta kekuatan militer bergerak dengan tujuannya masing-masing. Satu ke arah reformasi, yang lainnya mengamankan kericuhan di Jakarta. Begitu versi Mayjen (Purn) Kivlan Zein, Kepala Staf Kostrad saat itu.
Militer, kata Kivlan, menurunkan ribuan anggota Kostrad ke Jakarta untuk mengamankan kerusuhan. Versi Kivlan, hal itu mulai dilakukan sejak kericuhan pecah pada 12 Mei 1998.
"Tanggal 12 saya dipanggil Prabowo untuk datang ke Kostrad. Kumpulkan pasukan, amankan Jakarta. Mengamankan sidang umum MPR dan Pemilu 1997 masih berlaku," kata Kivlan di diskusi 'Para Tokoh Bicara 1998' di kawasan TB Simatupang, Jakarta Selatan, Senin (25/2).
Pasukan Kostrad tersebut dikumpulkan dari berbagai daerah. Mulai dari Garut, Tasikmalaya, Jawa Tengah, Jawa Timur hingga Makassar. Hal ini dilakukan karena pada tanggal 13 Mei 1998, kericuhan di Jakarta semakin meluas. Sekitar 15 ribu anggota Kostrad masuk memenuhi jalan-jalan ibu kota.
ADVERTISEMENT
"Maka kita kerahkan pasukan Kostrad untuk diserahkan ke Pangdam, tanggal 13 (Mei) saya masuk ke seluruh Jakarta. Karena kekacauan makin melebar," katanya.
Kivlan Zen Foto: Twitter @kivlan_zen
Dalam upaya mengirimkan pasukan Kostrad tersebut, Kivlan meminta kepada Panglima ABRI saat itu, Jenderal Wiranto, untuk meminjamkan pesawat Hercules. Namun, dalam keterangannya, Kivlan menyebut Wiranto tak mengizinkan peminjaman pesawat tersebut.
Bahkan, kata Kivlan, pada saat kericuhan semakin memuncak, tanggal 14 Mei, Wiranto tak ada di Ibu Kota. Ia pergi ke Malang, untuk meresmikan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC).
Kivlan menuturkan, 15 ribu anggota Kostrad yang datang ke Jakarta dianggap pihak lain akan melakukan kudeta militer. Namun, Kivlan membantah hal itu. Ia menyebut diturunkannya pasukan Kostrad untuk meredam kerusuhan.
Suasana diskusi "Para Tokoh Bicara 1998" di kawasan TB Simatupang, Jakarta Selatan. Foto: Muhammad Lutfan Darmawan/kumparan
ADVERTISEMENT
Setelah masuknya pasukan Kostrad, Kivlan menyebut kondisi Jakarta mulai bisa diatasi. Situasi berangsur membaik. Namun, pada 15 Mei 1998, Kivlan menyebut, ada manuver politik yang dilakukan oleh Panglima ABRI Jenderal Wiranto untuk meminta Presiden Soeharto mundur dari kekuasaanya.
"Pak Harto tangal 15 turun dari pesawat dari Mesir, Wiranto dengan Paspampres bilang keadaan kacau. Tidak bisa diatasi. Lebih baik Bapak mundur. Wiranto ini yang perintahkan mundur. Ini saya ngalamin," kata Kivlan.
Kivlan siap dituntut dengan ceritanya ini.
"Kalau nanti saya mau dituntut, tuntutlah saya ke pengadilan militer. Dan saya tuntut dia di pengadilan militer," kata Kivlan.
Pada 18 Mei 1998, Kivlan beserta dengan Prabowo mendatangi Presiden Soeharto dan meminta untuk tidak mundur. Namun, Pak Harto menyebut kondisi saat itu sudah tidak memungkinkan untuk mempertahankan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
"Tanggal 18 saya dengan Prabowo ngadep Pak Harto. Pak, jangan mundur. "Gimana ini semua anti saya tidak ada yang mendukung," kata Kivlan mencontohkan ucapan Pak Harto.
Hingga kemudian pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto menyatakan mundur dari jabatannya, diawali dengan adanya demonstrasi besar-besaran mahasiswa yang menduduki gedung MPR/DPR.
Cerita Bambang Widjojanto
Sementara itu, Bambang Widjojanto, sebagai tim gabungan pencari fakta (TGPF) menceritakan hal serupa. Bahkan sejak 12 Mei 1998 saja, dirinya menyambangi Kostrad tapi kesulitan bertemu dengan Panglima dan pemimpin-pemimpin ABRI saat itu.
"12 Mei saya datang ke Kostrad. Bersama dengan kalangan civil society lain. Yang menarik di situ situasi chaos di Ibu Kota tidak bisa dikendalikan, dan kita tidak tahu penguasa saat itu siap. Kebakaran terjadi di mana-mana," kata Bambang.
ADVERTISEMENT
"Dan apa yang menarik di situ? Kita cari penjelasan. Saat sudah larut, Pak Prabowo datang. Kita temui panglima tidak bisa katanya tidak ada di Jakarta. Yang menarik di situ penjelasan Prabowo 'saya juga tidak tahu seluruh panglima yang punya otoritas di situ tak ada, di mana di Ibu Kota tak ada kontrol'," lanjut Bambang.