Cerita Mereka, Para Perempuan yang Hampir Menjadi Teroris

16 Mei 2018 17:11 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi wanita berhijab (Foto: Pexels)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi wanita berhijab (Foto: Pexels)
ADVERTISEMENT
Sudah lebih dari tiga hari sejak Minggu (13/5) masyarakat dikagetkan dengan aksi teror bom bunuh diri yang terjadi di Surabaya. Setidaknya, belasan orang tewas dan puluhan lainnya terluka akibat peristiwa kelam tersebut.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, tagar #PrayForSurabaya membanjiri media sosial oleh masyarakat yang turut bersimpati atas aksi tak bertanggung jawab itu. Profil mengenai pelaku pengeboman cepat menyebar, masyarakat beramai-ramai menghujat atas aksi yang dilakukan si pelaku.
Bahkan, tak sedikit yang mengaku mengenal pelaku semasa SMA hingga kuliah kemudian bercerita tentang sosok si pelaku di mata mereka. Ajaran radikal dan ekstremisme soal agama semasa sekolah dan kuliah diduga ikut 'mensponsori' aksi nekat tersebut.
kumparan berbincang dengan beberapa orang yang sahabatnya atau bahkan dirinya sendiri sempat merasakan ajaran radikal tersebut hingga hampir menjadi teroris. Identitas ketiga wanita ini disamarkan untuk menghindari peristiwa-peristiwa yang tak diinginkan.
1. Hasna (Bukan nama sebenarnya), Bandung
Melalui akun Facebook pribadinya, Hasna membagikan pengalamanannya saat hampir menjadi bagian dari kelompok radikalisme.
ADVERTISEMENT
Karena saya peduli, jadi mau sharing cerita 12 tahun yang lalu. Saat sedang galau Tugas Akhir (TA) kuliah, di perjalanan menuju indekos dari kampus sendirian, tiba-tiba ada remaja perempuan mengaku baru lulus SMA, sebutlah Anna, datang menghampiri.
"Kak, saya lagi cari indekos, bisa bantu enggak?"
Kebetulan di tempat indekos saya masih ada kamar kosong, tanpa ragu saya tawarkan ke dia. Penampilannya seperti anak dari daerah, rok panjang, baju kemeja tidak berjilbab.
Sesampainya di indekos, dia menolak ketika saya ajak ketemu dengan bapak indekos. Malah minta minum dan duduk di dalam kamar. Meski aneh kelakuannya, saya enggak ada takut sedikitpun dengan anak ini.
Dia melihat ada Al-Qur'an terbuka di atas sajadah, kemudian dia bertanya, "Suka baca Al-Quran kak?". Saya jawab, "Iya, lagi belajar, suka baca tafsirannya".
ADVERTISEMENT
Kemudian dia bilang,"Saya besok ke sini lagi ya kak bawa teman, nanti kita belajar bareng-bareng tentang tafsir Al Qur'an". Saya sudah mulai curiga karena tujuan awal dia kesini adalah cari indekos, kenapa jadi sok akrab malah ngajak teman main.
Tapi saat itu, saya memang lagi ngulik tentang Al-Qur'an dan buku-buku tentang Ketuhanan, namanya juga masa remaja yang lagi kepo-keponya. Jadi ada yang nawarin belajar ya sudah diterima.
Besoknya, Anna datang bersama temannya sebutlah Tari yang sepertinya seumur dengan saya saat itu, berjilbab putih, kemeja putih, celana bahan warna hitam, penampilannya sangat enggak kekinian.
Setiap kalimat tertata rapi dari awal berkenalan dan akhirnya mulai menyuruh saya membuka Al-Qur'an. Dengan hafal dia mengintruksikan untuk membuka tiap-tiap ayat. Si Anna hanya diam, malah lebih seperti asisten, bukan teman.
ADVERTISEMENT
Setiap ayat yang dia intruksikan saya bacakan, dan intinya adalah halalnya membunuh orang-orang kafir, jihad di jalan Allah tidak mudah, pasti akan dimusuhi bahkan oleh keluarga sendiri, tapi hal itu yang dibenarkan dalam Al-Qur'an, maka dari itu diawali dengan sembunyi-sembunyi agar misi terlaksana dengan baik.
Ilustrasi cadar. (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi cadar. (Foto: Thinkstock)
Enggak lama dia mengajak untuk belajar lebih lanjut di indekos dia besok, kos nya enggak jauh dari kos saya. Kemudian Tari pergi, enggak ada basa-basi seperti orang biasa yang ingin berteman.
Besoknya Anna datang menjemput, dia mengajak saya ke indekos Tari. Di situ, saya mulai curiga. Di kamar berukuran 3x3 meter, tanpa kasur dan furniture lain, hanya ada lemari dan tikar. Kemudian Anna menutup jendela dan mengunci pintu. Tari mengeluarkan sebuah whiteboard berukuran sedang dari belakang lemari.
ADVERTISEMENT
Diawali doa, dia mengajarkan sebuah ideologi, enggak pakai Al-Qur'an. Hanya dengan coretan di whiteboard. Menggambarkan sebuah mobil ketika driver salah mengendarai, masuk kejurang, matilah semua penumpang di dalam mobil, begitulah jika di sebuah negara pemimpinnya salah.
Intinya adalah negara ini salah dan kita semua berdosa jika dipimpin dengan pemimpin yang salah. Kemudian menggambarkan sebuah apel busuk ketika ada di dalam kulkas bersama apel-apel yang baik, maka apel yang baik akan tertular busuk, itulah kita jika masih berteman dengan orang kafir dan tidak sepemahaman dengan kita.
Banyak lah ideologi-ideologi yang dia sampaikan. Dan dia menyebut kita harus membangun Negara Islam Indonesia (NII) untuk negara yang diridhoi Allah.
Semakin curiga, ketika dia bilang,"Untuk membangun misi ini diperlukan dana, karena kita membangun sebuah negara baru untuk Allah, dan diperlukan pengorbanan dan ketetapan hati, jadi kamu akan dibai'at di Cimahi,".
ADVERTISEMENT
Bahkan ketika kamu berbohong meminta uang ke orang tua atau menjual handphone-mu adalah sebuah pengorbanan untuk Allah. Adapun baju yang harus dikenakan adalah kemeja, hijab, celana bahan.
Jujur saja saya cukup merasa di-brainwash, otak ini berpikir untuk mengikuti perkataannya sampai saya enggak berani ngomong ke teman terdekat. Tapi hati ini menolak ketika saya harus berbohong ke orang tua demi Allah, bahkan ketika saya harus menghalalkan segala cara demi pengorbanan demi Allah untuk mendapatkan uang Rp400 ribu.
Saya kuliah mayoritas teman non muslim, enggak mungkin saya cerita ke mereka. Saya takut dosa karena saya menyalahi aturan.
Kemudian saya lari ke Daarut Tauhid, singkat cerita saya bertemu dengan dua mahasiswa, mereka adalah penyelamat saya, mereka tahu betul tentang NII sebuah aliran sesat yang ternyata sudah lumayan banyak di Bandung.
ADVERTISEMENT
Mereka berusaha mencuci otak anak-anak muda, banyak di antara mereka yang hilang, meninggalkan keluarga demi membangun Negara Islam Indonesia, menghalalkan segala cara demi mendapatkan uang.
Bahkan sampai mereka semiskin-miskinnya untuk disetor ke pimpinan mereka karena misi mereka membangun sebuah negara di dalam negara.
Setelah saya memutuskan enggak mau datang ke ajakannya untuk dibai'at beberapa minggu kemudian saya bertemu lagi dengan Anna. Tiba-tiba dia berjilbab dan pura-pura enggak lihat seperti ketakutan.
2. Diah (Bukan nama sebenarnya), Malang
Saya kuliah angkatan 2012, saya punya sahabat kami dulu satu indekos. Kami dekat, namun setelah semester dua teman saya tiba-tiba menjauh. Dia juga jarang berkomunikasi dengan kami, anak-anak kos lainnya. Tiba suatu hari dia kebingungan dan menangis ketakutan.
ADVERTISEMENT
"Aku takut, ini orangnya telepon aku terus. Aku takut ke kampus, takut keluar kamar,".
Kemudian saya tanya, "Itu siapa?". Barulah teman saya ini bercerita kalau selama dua semester dia ikut pengajian di luar kampus, mulanya bertemu dengan perempuan yang memberikan selebaran soal agama.
Saya lupa isi selebarannya apa, namun mereka punya waktu untuk pengajian setiap harinya. Bahkan jika tidak ikut pengajian, akan di jemput ke indekos.
Teman saya bilang saat dia mengikuti pengajian tersebut, dikatakan bahwa orang tua adalah penghalang masuk surga karena tidak mengizinkan anaknya untuk berjihad. Dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan tersebut. Jika perlu mereka akan berjihad sendiri tanpa izin orang tua.
3. Sinta (bukan nama sebenarnya), Yogyakarta
Ilustrasi Wanita Bercadar (Foto: AFP/Ozan Kose)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Wanita Bercadar (Foto: AFP/Ozan Kose)
Saya punya teman, sebut saja namanya Ica. Dulu satu pesantren sama saya saat SMA. Kemudian dia melanjutkan kuliah ke satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta, tepatnya Fakultas Dakwah.
ADVERTISEMENT
Dia semester 3 saat peristiwa itu bermula. Selama lebih dari sebulan dia tiba-tiba menghilang, kami sebagai teman mencarinya kemana-mana juga orang tuanya. Namun yang pasti, teman-teman tahu Ica sedang dekat dengan beberapa teman baru.
Bahkan orang tuanya sampai menghubungi pihak pesantren untuk mencari keberadaan Ica. Setelah sebulan, keberadaan Ica tiba-tiba terlacak dan dia kembali ke rumah orang tuanya di Brebes. Saat itu Ica bercerita bahwa ia selama ini ikut NII (Negara Islam Indonesia).
Sebelum dia menghilang, Ica diajak pengajian oleh teman-temannya, lalu dijemput dengan menggunakan mobil dan matanya ditutup.
Setelah sampai di sebuah rumah, Ica diminta memenuhi sejumlah uang yang enggak sedikit untuk ukuran anak mahasiswa juga didoktrin dengan pemahaman khilafah-khilafah begitu.
ADVERTISEMENT
Karena merasa tidak bisa memenuhi permintaan tersebut, Ica kabur, dia takut diteror oleh orang-orang itu dan enggak mau kembali ke Yogyakarta.
Selanjutnya, Ica memulihkan diri selama satu semester dia absen dari kampus. Namun sekarang kondisinya sudah membaik, Ica bahkan sudah menyelesaikan studi S2 nya.
Keberadaan teroris adalah nyata, bahkan sudah memakan banyak korban jiwa. Kewaspadaan perlu ditingkatkan agar tak terjerumus ke hal-hal yang negatif.