news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Cerita Minyak Sawit RI yang Diserang Isu Negatif Sejak 1980

25 November 2017 10:04 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kelapa sawit di kebun Sawindo Kencana. (Foto: Marcia Audita/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kelapa sawit di kebun Sawindo Kencana. (Foto: Marcia Audita/kumparan)
ADVERTISEMENT
Minyak sawit asal Indonesia tidak henti-hentinya diserang isu negatif oleh berbagai negara, khususnya di Uni Eropa. Yang terbaru adalah bagaimana maskapai asal Belanda, KLM, mengajak masyarakat agar tidak menggunakan minyak sawit sebagai bahan olahan makanan. Temuan ini langsung disikapi Council Palm Oil Producing Countries (CPOPC) atau negara-negara produsen minyak sawit terbesar di dunia.
ADVERTISEMENT
Direktur Eksekutif CPOPC Mahendra Siregar telah mengirim surat protes kepada Presiden sekaligus CEO KLM, Pieter Elbers, Kamis (23/11). Perlu diketahui, CPOPC beranggotakan 2 negara produsen minyak sawit terbesar di dunia, yaitu Indonesia dan Malaysia.
Fakta di lapangan, apa yang dilakukan maskapai KLM bukanlah hal yang baru terjadi. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencatat isu negatif mengenai minyak sawit khususnya dari Indonesia sudah terjadi sejak tahun 1980-an. Saat itu, minyak sawit mulai berkembang dan merebut pangsa pasar minyak nabati lain yang diproduksi Amerika Serikat (AS) dan Eropa misalnya rapeseed, kedelai dan bunga matahari.
"Bahkan beberapa perusahaan yang masih menggunakan minyak sawit sebagai bahan produksi mereka, juga mengalami penekanan untuk tidak lagi menggunakan," kata Direktur Eksekutif GAPKI Fadhil Hasan kepada kumparan (kumparan.com), Sabtu (25/11).
ADVERTISEMENT
Lahan kelapa sawit (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Lahan kelapa sawit (Foto: Pixabay)
Fadhil mengungkapkan, di lapangan minyak sawit memang terbukti lebih laku dibandingkan penghasil minyak nabati lain seperti rapeseed, kedelai, maupun bunga matahari. Alasannya karena harga minyak sawit jauh lebih murah. Ketersediaan minyak sawit juga cukup banyak dibandingkan kompetitor lainnya. Ini tentu meresahkan pasar minyak nabati lain di Eropa.
CPOPC mendata rapeseed hanya menghasilkan minyak nabati sekitar 0,3 ton/hektare. Sedangkan kedelai dan bunga matahari hanya menghasilkan 0,6 ton/hektare. Hal ini berbanding terbalik dengan produktivitas minyak sawit yang bisa menghasilkan 3 sampai 6 ton/hektare.
"Makanya inti dari kampanye hitam ini hanya satu masalah persaingan dagang,” tegasnya.
Isu negatif minyak sawit terutama di Uni Eropa bak bola panas yang terus bergulir. Berbagai tuduhan dialamatkan ke minyak sawit, mulai dari isu lingkungan, kesehatan hingga konflik sosial. Padahal tidak ada bukti yang cukup kuat atas tuduhan tersebut.
ADVERTISEMENT
"Sekarang minyak sawit juga dinilai memicu konflik sosial dan human rights,” lanjutnya.
Padahal berbagai upaya telah dilakukan Indonesia untuk bisa mengekspor produk minyak sawit ke Uni Eropa. Misalnya kewajiban memperoleh sertifikat RSPO atau Roundtable on Sustainable Palm Oil. Dengan RSPO maka minyak sawit yang diekspor memiliki standar global untuk minyak sawit berkelanjutan.
Kelapa sawit di kebun Sawindo Kencana. (Foto: Marcia Audita/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kelapa sawit di kebun Sawindo Kencana. (Foto: Marcia Audita/kumparan)
Punya RSPO tidak berarti bisa melenggang mulus masuk pasar ekspor. Kabar terbaru datang dari Amerika Serikat bagaimana negara Paman Sam itu membuat kebijakan pengenaan tarif pajak antidumping produk biodiesel sebesar 50,71%. Ini jelas memberatkan pengusaha minyak sawit Indonesia di tengah ketatnya persaingan pasar global.
Selain Uni Eropa, minyak sawit Indonesia juga banyak diekspor ke AS. Tahun ini, estimasi ekspor minyak sawit dalam bentuk biodiesel ke AS mencapai 100 juta liter.
ADVERTISEMENT
Menurut Fadhil, serangan isu negatif atas minyak sawit Indonesia oleh berbagai negara menjadi pekerjaan rumah yang cukup berat bagi pemerintah. Para pengusaha minyak sawit hanya menaruh harapan besar agar minyak sawit Indonesia bisa diterima di pasar global tanpa ada hambatan apapun.
"Makanya kami mendukung usaha pemerintah untuk mengkampanyekan citra positif minyak sawit bekerja sama dengan berbagai sektor lain. Kalau ada kebijakan diskriminatif, kami tuntut," tutupnya.