Cerita Yusuf Dumdum, Relawan Jokowi yang Enggan Disebut Buzzer

6 Oktober 2019 15:44 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Buzzer Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Buzzer Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
“Munculnya buzzer & influencers militan Jokowi karena: 1) Banyaknya fitnah & serangan di media sosial terhadap presiden yang terjadi secara masif, 2) Hampir tidak ada elit politik yang membela Jokowi ketika diserang habis-habisan oleh oposisi atau buzzer anti-pemerintah melalui media sosial.”
ADVERTISEMENT
Tulisan itu merupakan salah satu cuitan @yusuf_dumdum. Akun Twitter yang memiliki sekitar 53 ribu pengikut ini sudah mencuitkan dukungan secara konsisten pada satu pihak, sosok Joko Widodo, sejak tahun 2014.
Tak heran, akun itu kerap dilabeli sebagai buzzer oleh warganet lainnya. Di balik akun tersebut, pria yang akrab disapa Dumdum ini bilang, dia sudah biasa dituding demikian.
“Saya menganggap isu-isu buzzer itu biasa aja sih, karena dari dulu memang sudah dituduh seperti itu. Bahwasannya pendukung Jokowi yang gencar menyerang yang antipemerintah disebut sebagai buzzer,” kata Dumdum kepada kumparan, Jumat (4/10).
Isu buzzer mencuat belakangan lantaran adanya sejumlah informasi keliru dan kontroversial seputar demonstrasi mahasiswa di Gedung DPR, akhir September lalu. Di antaranya, kasus ‘ambulans bawa batu’ hingga ‘chat anak STM’.
ADVERTISEMENT
Akun-akun seperti milik Dumdum-lah yang menyebarkannya info yang salah itu. Selaras dengan cuitan akun-akun lain seperti @MurtadhaOne, @eko_kuntadhi, hingga @Dennysiregar7, akun Dumdum kerap melontarkan kritik terhadap demo mahasiswa di Gedung DPR.
Sebab itulah, sebagian pihak menuding Dumdum dan beberapa akun lainnya sebagai buzzer istana. Merujuk pada mereka yang kerap mendengungkan narasi pro pemerintah dan Jokowi. Namun, Dumdum menampik hal itu.
“Dari awal pergerakan saya ya relawan dan kita bergerak bukan sebagai bayaran atau yang disebut sebagai buzzer. Jadi murni dari awal, kita bergerak dari awal bisa dilihat kok pergerakan media sosial saya dari 2014 sampai sekarang selalu mendukung Jokowi dan kita bergerak bukan sebagai buzzer,” terangnya.

Buzzer Tidak Melulu Dibayar

Sebenarnya, buzzer memang tak perlu melulu dibayar. Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) dalam riset berjudul "Di Balik Fenomena Buzzer: Memahami Lanskap Industri dan Pengaruh Buzzer di Indonesia" menyebut ada buzzer yang digerakkan oleh motif sukarela.
ADVERTISEMENT
Asalkan mereka mampu mendengungkan suatu isu agar diterima publik, maka bisa dikategorikan sebagai buzzer. Hal ini diungkap Wasisto Raharjo Jati dalam artikel jurnal “Aktivisme Kelas Menengah Berbasis Media Sosial: Munculnya Relawan dalam Pemilu 2014”.
“Dinamakan sebagai buzzer karena berkaitan dengan tugasnya mendengungkan (buzzing) suatu isu atau wacana untuk diterima dan ditangkap publik sebagai konstruksi berpikir,” terang Staf peneliti di Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI), itu.
Selain itu, Dumdum sendiri menyebut kemunculan ‘buzzer militan Jokowi’ dalam cuitannya merepons isu buzzer yang mencuat akhir-akhir ini.
Namun, ia beralasan menyebut itu bukan untuk membenarkan dirinya sebagai buzzer. Melainkan hanya untuk mengikuti apa yang disampaikan oleh para pihak yang menudingnya demikian.
ADVERTISEMENT
“Jadi saya tidak memposisikan diri sebagai buzzer, tapi saya memposisikan diri sebagai relawan. Ya mungkin saya lebih sering disebut influencer ya, kalau dari teman-teman saya ya influencer,” katanya.

Merespons Penertiban Buzzer

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko turut angkat bicara soal isu buzzer ini. Ia mengatakan para buzzer membangun dukungan politik yang destruktif dan justru merugikan Jokowi sendiri. Dia pun berpendapat, buzzer perlu ditertibkan.
"Ya justru itu buzzer ini kan muncul karena perjuangan apa itu menjaga marwah pemimpinnya. Tetapi sekali lagi bahwa dalam situasi ini bahwa relatif sudah enggak perlu lagi buzzer-buzzeran," kata Moeldoko di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (4/10).
Merespons hal ini, Dumdum mengaku tak tahu-menahu buzzer mana yang mau ditertibkan. Dirinya bahkan merasa tak pernah bertemu dan tak ada hubungan apapun dengan Moeldoko.
ADVERTISEMENT
“Ya kalau netizen-netizen seperti saya, relawan seperti saya ditertibkan itu mau ditertibkan seperti apa? Saya ketemu Pak Moeldoko saja enggak pernah,” kata pria yang berprofesi sebagai pemilik usaha travel itu.
Dumdum mengaku, selama ini mendukung Jokowi secara sukarela. Tak ada komando dari siapapun. Ia hanya mengikuti berbagai grup WA relawan Jokowi dan mendapat sejumlah materi/aset postingan dari sana untuk terkadang disebarluaskan di Twitter.
Ilustrasi menggunakan aplikasi Whatsapp. Foto: Pixabay
“Ya, tapi saya sih enggak asal juga. Saya sih biasanya cek dulu, kayak kemarin masalah ambulans saya cek dulu di akun-akun yang kredibel. Dan saya kemarin acuannya dari TMC Polda,” ujar salah satu pencuit postingan ambulans bawa batu itu.
Soal siapa yang membuat grup relawan itu tentu menjadi pertanyaan. Tapi, Dumdum mengaku tidak tahu.
ADVERTISEMENT
“Wah saya kurang tahu, banyak grup relawan Jokowi, saya ikut berapa di sini, ada 10-an. Saya diundang, tahu-tahu masuk. Terkadang dari mereka kan dari Facebook, dari Twitter minta izin mau digabungkan ke grup pendukungnya Jokowi gitu kan. Ya udah monggo aja,” akunya.

Mematikan Diskusi

Pengalaman tak sedap berhubungan dengan buzzer pro pemerintah dialami oleh Ismail Fahmi, analis media sosial dari Media Kernels Indonesia. Karena menguak peran buzzer di balik sejumlah trending lewat teknologi Drone Emprit, ia diserang dan dituding anti-Jokowi.
Dari pengalamannya itu, Fahmi melihat adanya karakter main serang pribadi pada buzzer di Indonesia. Berbeda dengan di Amerika Serikat kala perebutan takhta presiden antara Donald Trump dan Hillary Clinton pada 2016 lalu.
ADVERTISEMENT
“Separah-parahnya buzzer yang ada di Trump (AS) sana, mereka main di gagasan. Okelah katakan itu sifatnya propaganda, mereka mencoba membangun narasi dari sudut pandang mereka, tapi mainnya tuh bukan menyerang orang (ad hominem),” kata Fahmi kala dihubungi, Jumat (4/10).
Serangan terhadap pribadi ini tak melibatkan logika. Akibatnya, Fahmi melihat diskusi yang membangun tak bisa terjadi di media sosial.
Ismail Fahmi Foto: Ardhana Pragota/kumparan
“Pola buzzer itu dengan ad hominem, menyerang terus, logikanya enggak ada sama sekali dan itu artinya apa, mematikan diskusi. Membuat suasana jadi enggak kondusif sama sekali, sesuatu yang bagus dihajar, asal berbeda pendapat dengan si buzzer ini,” kata pria lulusan S3 dari Universitas Groningen Belanda ini.
Menurut Fahmi, perilaku para buzzer tak memberikan kontribusi positif untuk perkembangan bangsa. Selain itu, mereka justru merugikan pihak-pihak yang dibela. Baik pihak oposisi maupun pemerintah.
ADVERTISEMENT
“Ya namanya pemerintah itu harus dikritik ya, kritikan itu penting untuk memperbaiki diri,” katanya.
Fahmi mengusulkan, para buzzer ini tak hanya menjadi mulut atau pendengung narasi yang pro pemerintah saja. Akan tetapi, mereka juga perlu semacam perwakilan pemerintah di medsos yang mendengarkan suara publik.
“Harusnya kalau banyak orang yang kesal didengarkan, kenapa sih? Setelah mereka mendengarkan, mungkin dibantu dengan big data ya, mereka bisa melihat pola, pattern, masukan. Lalu disampaikan lagi ke pemerintah,” pungkasnya.