Cibiran hingga Paksaan Masyarakat Jadi Kendala Penghulu Menolak Suap

25 April 2018 9:36 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Dua penghulu asal Trucuk dan Imogiri ini jadi teladan karena berani menolak gratifikasi yang terjadi dalam profesi yang mereka jalani. Ialah Abdurrahman Muhammad Bakri (35) dan Samanto (38).
ADVERTISEMENT
Keduanya masuk dalam daftar 5 pelapor gratifikasi terbanyak ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sepanjang tahun 2015 sampai 31 Maret 2018. Bukan tanpa kendala, cibiran dari rekan kerja, tahapan pelaporan yang rumit hingga desakan masyarakat adalah rintangan yang harus dilalui.
Seperti yang dialami oleh Samanto, dirinya mengaku rekan kerjanya sempat mencemooh apa yang dilakukan oleh ayah tiga anak tersebut.
"Kalau secara langsung enggak ada, tapi di belakang ya kalau ketemu saya ada yang bilang 'Pakai lapor-lapor segala'. Tapi kalau ke saya langsung enggak ada," ujar Samanto saat ditemui kumparan (kumparan.com) di kantor KUA Kecamatan Imogiri, Yogyakarta, pada Kamis (22/4).
Namun demkian, Samanto memilih untuk tak menghiraukan. Dirinya menganggap, cemooh tersebut adalah sebuah risiko atas prinsip yang ia pilih.
ADVERTISEMENT
"Ya, semua punya prinsip dan prinsip itu punya risiko kalau mereka punya pendapat dan sikap seperti itu ya silakan saja," lanjut Samanto.
Samanto (Foto: Retno Wulandhari/kumparan)
Sementara itu, penghulu pertama yang bertugas di Kecamatan Trucuk, Klaten, Jawa Tengah, menyebut hambatan terbesar yang harus ia hadapi datang dari masyarakat setempat.
Acap kali pria yang akrab di sapa Abdur itu menghadiri pernikahan warga sebagai penghulu, keluarga pengantin memberikannya amplop berisi uang. Saat ditolak, ada saja cara warga menyelipkan amplop tersebut.
"Itu ngasihnya macam-macam ada yang pas salaman, pas pamit itu dikasihkan, ada yang langsung dimasukkan di tas, ada juga yang ke kantor ditaruh di meja. Jadi tidak ada kesempatan untuk menolak lagi," ujar Abdur saat ditemui kumparan pada Jumat (21/4) di kantornya.
ADVERTISEMENT
Setiap kali hal itu terjadi, Abdur mencoba memberi pengertian kepada warga bahwa biaya sebesar Rp600 ribu yang dibayarkan ke KUA, sudah termasuk biaya profesi dan transportasi penghulu. Sehingga masyarakat tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan lagi, apalagi harus memberikan amplop berisi uang kepada si penghulu.
Namun, tak sedikit juga masyarakat yang masih kukuh memberikan amplop uang dengan dalih ikhlas. Apabila demikian, Abdur tak lantas goyah. Dirinya dengan berat hati harus menerima amplop tersebut kemudian melaporkannya ke KPK.
"Pertama harus ditolak dulu, dan ketika penolakan itu tidak bisa diterima masyarakat. Dengan terpaksa kami terima dan kami harus melaporkan ke KPK," ujar Abdur.
Abdurrahman Muhammad Bakri (Foto: Retno Wulandhari/kumparan)
Selain cibiran dan paksaan dari masyarakat, proses pelaporan gratifikasi ke KPK juga dirasa rumit. Abdur dan Samanto harus melalui banyak tahapan mulai dari pelaporan secara tertulis, kelengkapan dokumen dan bukti hingga transfer ke rekening KPK.
ADVERTISEMENT
"Jlimet sebenarnya. Awalnya lapor, kita kirim lewat e-mail kemudian nanti akan muncul KPK memberikan berita acara klarifikasi. Lalu saya cetak dan saya scan lagi, saya kirim lagi baru nanti keluar putusan penetapan yang disampaikan kita. Kemudian muncul jumlah nominal yang ditetapkan, lalu kita transfer, bukti tranfer kita kirim lagi. Itu berkali-kali kan repot gitu," kata Samanto.
Meski rumit dan memakan banyak waktu, keduanya hingga kini masih terus melaporkan gratifikasi yang mereka terima.
"Pertama itu sudah aturan, kemudian secara hati nurani itu tidak boleh, kita sebagai aparatur negara harus mengikuti aturan yang ada, melaksanakan yang menjadi tanggung jawab kita," ujar Abdur.
Samanto dan Abdur tak pernah menyangka mereka masuk dalam daftar pelapor gratifikasi terbanyak ke KPK. Bagi keduanya, niat serta tanggung jawab untuk melaporkan yang bukan menjadi hak mereka merupakan hal yang terpenting.
ADVERTISEMENT