Cita-cita Santri Syahid Lestarikan Budaya Banjar Melalui Sasirangan

8 September 2018 12:26 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Salah satu santri mewarnai kain dengan teknik Sasirangan (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu santri mewarnai kain dengan teknik Sasirangan (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
ADVERTISEMENT
Harapan Abdul Syahid, santri dari Pondok Pesantren Nurul Muhibbin, Barabai, Kalimantan Selatan, untuk melestarikan seni dan budaya suku Banjar menjadi kenyataan. Dia memproduksi kain khas Banjar bernama sasirangan.
ADVERTISEMENT
Melalui Program Adaro Santri Sejahtera (PASS), Syahid belajar soal pengembangan bisnis sasirangan. PASS merupakan program yang digagas oleh PT Adaro Energy, Tbk. dengan tujuan mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah Kalimantan Selatan melalui para santri.
Program wirausaha yang ditawarkan oleh PASS pun beragam, mulai dari bisnis ternak ikan lele, sayuran hidroponik, pembuatan keripik hingga sasirangan. Syahid memilih sasirangan sebagai bisnis yang ia percayai tak hanya membawa keuntungan, namun juga manfaat kepada masyarakat luas.
Sasirangan merupakan kain adat khas suku Banjar yang dibuat melalui proses pewarnaan dengan motif berupa bintik-bintik putih sehingga membentuk suatu pola tertentu.
Salah satu santri mewarnai kain dengan teknik Sasirangan (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu santri mewarnai kain dengan teknik Sasirangan (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
Sudah dua tahun pria 24 tahun itu mempelajari bisnis kain khas kota Banjar. Melalui PASS, Syahid dibekali teknik marketing, akuntansi keuangan, kreativitas, komunikasi dalam berniaga hingga motivasi agar semangat wirausaha tetap meninggi.
ADVERTISEMENT
"Sasirangan ini ada nilai budaya, ada seni dan bisa dijadikan wirausaha," ujar Ahmad Syahid saat ditemui kumparan pada Selasa (4/9).
Syahid bercerita, sebelum adanya PASS, dirinya tak tahu cara membuat sasirangan. Namun, saat PASS dikenalkan di pesantren Nurul Muhibbin pada tahun 2016, ia merasa tertarik untuk belajar lebih jauh soal bisnis tersebut.
"Sebelumnya ada program PASS kita tidak tahu sama sekali, terus kita dilatih untuk memilih wirausaha yang diminati. Terus saya memilih saringan," tutur Syahid.
Salah satu santri mewarnai kain dengan teknik Sasirangan (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu santri mewarnai kain dengan teknik Sasirangan (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
Pilihannya untuk ikut PASS tidak salah. Syahid kini bisa hidup mandiri berkat keuntungan penjualan kain sasirangan. Sedangkan satu lembar kain sasirangan, dibanderol seharga Rp 100 ribu hingga Rp 200 ribu.
"Ada tambahan penghasilan, lebih mandiri tidak lagi bergantung dengan orang lain, omset Rp 700 ribu per bulan," ujar Syahid.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, Syahid mengaku kesulitan dalam mengatur waktu antara belajar di pesantren dan berbisnis masih jadi kendala. Namun semangatnya tak putus, bersama empat rekannya, Syahid bergantian menjalankan bisnis.
Ke depannya, Syahid berharap usaha miliknya ini bisa ia pertahankan dan berkembang. Sehingga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat, sekaligus membuka lapangan pekerjaan.