Curhatan Aktivis ke Jokowi Tangani Masalah Rumah Tangga di Pengungsian

6 Maret 2019 13:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Joko Widodo saat bersilaturahmi dengan Perempuan Arus Bawah di Istana Negara. Foto: Fahrian Saleh/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo saat bersilaturahmi dengan Perempuan Arus Bawah di Istana Negara. Foto: Fahrian Saleh/kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam pertemuan dengan para aktivis Perempuan Arus Bawah di Istana Negara, Presiden Joko Widodo mendengarkan berbagai curhatan. Salah satunya dari Sarakiyah, aktivis perempuan dari Lombok Utara, NTB.
ADVERTISEMENT
Sarakiyah kerap menjadi mediator masalah rumah tangga agar tak berujung ke ranah hukum, terutama untuk kasus sidang perkawinan anak. Kasus terakhir yang ia tangani adalah kekerasan rumah tangga karena istri tidak menyiapkan makanan untuk suami.
Pasangan suami-istri itu tinggal di penampungan karena menjadi korban gempa Lombok 2018. Karena keterbatasan itulah istri tak mampu menyiapkan makan untuk suami. Namun suami marah dan memukul istrinya. Sarakiyah lantas mendatangi laki-laki tersebut.
"Pak, ketika tidak ada makanan apakah Bapak harus memukul istri Bapak? Bapak itu terdiam. "Habis saya tidak ada makanan". "Apa yang harus dimasak Ibu sementara tidak bekerja? Sekarang kan gempa," kata Surakiyah mengulang percakapannya, saat berbincang dengan Jokowi di Istana Negara, Rabu (6/3).
Suasana korban terdampak gempa di tempat pengungsian korban gempa Desa Menggala, Kec. Pemenang, Kab. Lombok Utara, NTB, Senin (6/8). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Dia juga menyarankan agar suami yang memukul istri tersebut bekerja mencari nafkah. Sehingga mereka tidak hanya mengandalkan bantuan untuk makan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
"Di sinilah Bapak juga harus bisa mencarikan nafkah mungkin bisa jadi buruh harian atau nelayan supaya bisa mendapatkan penghasilan eko keluarga," tuturnya pada pria tersebut.
Sarakiyah juga membuat penjelasan tertulis atau yang kerap disebut awit-awit oleh warga setempat, tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak.
"Saya ikut andil bermodalkan dari ilmu sekolah perempuan yang 5 tahun ini punya pemikiran mengubah pola pikir masyarakat, bagaimana kesetaraan antara laki-laki dan perempuan bisa kita lakukan," tutur Sarakiyah yang merupakan pemimpin perempuan dari kalangan akar rumput Desa Sukadana, Lombok Utara.
Dalam kesempatan itu, Sarakiyah juga meminta Jokowi untuk membuat aturan terkait pernikahan agar tidak tumpang tindih. Seperti usia minimal menikah di KUA 16 tahun, sedangkan menurut UU Perlindungan Anak minimal 18 tahun.
ADVERTISEMENT
"Karena usia 18 tahun secara fisik dan ekonomi belum siap," kata Surakiyah.
Perempuan Arus Bawah yang diterima Jokowi adalah para aktivis perempuan yang bergerak dalam memberdayakan kalangan akar rumput. Misalnya Jumiatun, mantan pekerja migran di Hong Kong, yang menjadi kader DesBumi Jember; Eros Rosita yang merupakan bidan desa pedalaman Suku Baduy; Pendeta Roswi Wuri, ketua presidium sekolah perempuan di Poso; dan banyak lagi.