Dalam Sidang BLBI, Rizal Ramli 'Kepret' Sri Mulyani

5 Juli 2018 22:05 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri, Rizal Ramli menjadi saksi dalam sidang kasus BLBI atas terdakwa Syafruddin Temenggung di Pengadilan Tipikor, Jakarta. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri, Rizal Ramli menjadi saksi dalam sidang kasus BLBI atas terdakwa Syafruddin Temenggung di Pengadilan Tipikor, Jakarta. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mantan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri, Rizal Ramli, mengaku heran dengan keputusan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menjual aset Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim. Ia menilai aset BDNI dijual terlalu rendah.
ADVERTISEMENT
Hal itu diungkapkan Rizal saat bersaksi dalam perkara penghapusan piutang BDNI milik Sjamsul Nursalim yang mendapat Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Dalam keterangannya, Rizal menyebut bahwa pada tahun 2005, nilai aset BDNI yang dilaporkan ke BPPN adalah sebesar RP 4,5 triliun. "Sampai saya berakhir masa jabatannya dan diganti Pak Dorodjatun (Kuntjorojakti) sebagai Menko (Ekonomi) dan Pak Ary Suta sebagai ketua BPPN, lalu digantikan Pak Syafruddin Arsyad Temenggung. Memang ada kerugian negara, tapi saat BPPN menyerahkan ke Menteri Keuangan akhir tahun 2005, nilainya aset BPPN Rp 4,5 triliun. Aneh bin ajaib, pada 2007 dijual Rp 200 miliar oleh Menkeu Sri Mulyani saat itu," ujar Rizal, saat bersaksi untuk terdakwa eks Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (5/7).
Mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri, Rizal Ramli menjadi saksi dalam sidang kasus BLBI atas terdakwa Syafruddin Temenggung di Pengadilan Tipikor, Jakarta. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri, Rizal Ramli menjadi saksi dalam sidang kasus BLBI atas terdakwa Syafruddin Temenggung di Pengadilan Tipikor, Jakarta. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Krisis yang melanda Indonesia pada 1998 mengakibatkan sejumlah bank membutuhkan kucuran dana. Untuk mengantisipasi kerugian, pemerintah mengeluarkan dana BLBI kepada sejumlah obligor, termasuk untuk BDNI.
ADVERTISEMENT
BDNI milik Sjamsul mendapat BLBI sebesar Rp 37 triliun yang terdiri dari fasilitas surat berharga pasar uang khusus, fasilitas saldo debet dan dana talangan valas. Selain itu, BDNI juga disebut menerima BLBI sebesar Rp 5,4 triliun dalam periode setelah 29 Januari 1999 sampai dengan 30 Juni 2001 berupa saldo debet dan bunga fasilitas saldo debet.
Namun kemudian BDNI melakukan penyimpangan dalam penggunaan dana puluhan triliun tersebut. BPPN kemudian menetapkan BDNI sebagai bank yang melakukan pelanggaran hukum. Sehingga diwajibkan mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian Master Settlement Aqcusition Agreement (MSAA).
Berdasarkan perhitungan, jumlah kewajiban yang harus dibayar BDNI adalah sebesar Rp 47,2 triliun. Jumlah itu terdiri dari BLBI sebesar Rp 30,9 triliun, simpanan nasabah dan utang sebesar Rp 7,06 trilun, serta kewajiban balance sheet berupa utang BLBI kepada BI sebesar Rp 4,7 triliun dan L/C serta utang lainnya sebesar Rp 4,59 triliun. Total kewajiban sebesar Rp 47,2 triliun itu dikurangi oleh jumlah aset yang dimiliki sebesar Rp 18,8 triliun. Sehingga yang harus dibayarkan BDNI adalah sejumlah Rp 28,4 triliun.
ADVERTISEMENT
Disepakati bahwa BPPN mengambil alih pengelolaan BDNI dan Sjamsul akan bertanggung jawab menyelesaikan kewajibannya secara tunai maupun berupa aset dalam perjanjian MSAA.
Dokumen terkait perhitungan atas kewajiban dan aset BDNI kemudian dibuat. Pada dokumen tersebut, termuat jumlah kewajiban dan juga jumlah aset BDNI. Dalam aset tersebut, juga dimuat bahwa BDNI memiliki piutang berupa pinjaman kepada petani tambak sebesar Rp 4,8 triliun.
Piutang tersebut dicantumkan seolah-olah merupakan piutang yang lancar. Namun berdasarkan pemeriksaan audit berupa Financial Due Dilligent (FDD) oleh Kantor Akuntan Publik Prasetio Utomo & CO, disimpulkan bahwa kredit petambak plasma tersebut tergolong macet.
Glenn selaku Kepala BPPN menyatakan bahwa Sjamsul melakukan misrepresentasi atas keadaan kredit petambak sebesar Rp 4,8 triliun. Namun Sjamsul menolak menambah aset untuk mengganti kerugian dengan alasan utang petambak termasuk Kredit Usaha Kecil.
ADVERTISEMENT
Setelah dilakukan penghitungan, didapatkan hak tagih utang dari para petambak plasma tersebut hanya sebesar Rp 220 miliar. Meski demikian, sisa utang BDNI yakni sebesar Rp 4,58 triliun belum dibayarkan. Sementara Syafruddin, yang menjadi Kepala BPPN sejak 22 April 2002, kemudian menandatangani surat yang menjelaskan bahwa Sjamsul sudah menyelesaikan kewajiban PKPS.
Perbuatan Syafruddin tersebut dinilai membuat Sjamsul Nursalin mendapat keuntungan sebesar Rp 4,58 triliun. Hal tersebut pula yang kemudian dihitung sebagai besaran kerugian negara.