news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Darah Penulis di Keluarga Toer, dari Blora hingga Disanjung Dunia

22 Juni 2018 15:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
"Tansah ora enak rasane” celetuk Soesilo Toer ketika mengurai kepanjangan nama belakang keluarganya.
ADVERTISEMENT
Empat kata berbahasa Jawa itu berarti selalu tidak enak rasanya. Saat berbincang dengan kumparan, pria 81 tahun itu menyebut akronim itu diberikan oleh Mastoer, sang ayah. Memang, keluarga Toer dulunya sempat berjaya, tapi kemudian berbanding terbalik kala Kolonial Belanda mengeluarkan sebuah kebijakan yang membuat usaha mereka bangkrut.
Pada masa jaya, lahir anak pertama mereka bernama Pramoedya Ananta Toer pada 6 Februari 1925. Sebenarnya dia adalah anak kedua dari keluarga Toer. Berhubung anak pertama, Ahmad, meninggal dunia dia kemudian dianggap sebagai anak sulung.
Saat itu, Mastoer adalah kepala sekolah di Blora, yaitu Institut Boedi Oetomo (IBO), sejenis sekolah liar (di luar kepemilikan Belanda). Di sekolah tersebut, Pram, sastrawan besar Indonesia, pernah mengenyam pendidikan.
Pramoedya Ananta Toer (Foto: Lontar Foundation/Wikimedia Commons)
Hidup keluarga Toer kala itu sangat berkecukupan. Bahkan disebutkan Soes, gaji ayahnya kala itu hampir setara dengan bupati.
ADVERTISEMENT
“Waktu meninggal kemarin diketemukan dokumen lebih dari 50 surat tanah dari bapak saya. Semua habis sekarang tinggal ini (rumah masa kecil),” sebut Soes, Selasa (5/6).
Menurut Soes, saat itu Pemerintah Belanda di pusat mengalami kebangkrutan dan hal tersebut berdampak pada kebijakan di tanah jajahan, termasuk Indonesia. Belanda lalu mengeluarkan undang-undang sekolah liar (Wilde Scholen Ordonantie) pada tahun 1932.
“Nah itu isinya antara lain tamatan sekolah liar tidak bisa kerja lagi di gubernemen (pemerintahan). Padahal orang Indonesia dulu sekolah kepengen jadi pegawai Belanda,” jelas Soes.
Soesilo Toer di Perpustakaan PATABA (Foto: Retno Wulandhari Handini/kumparan​)
Mendapati kebijakan tersebut, murid sekolah IBO Mastoer berbondong-bondong keluar. Karena tak ada lagi murid, sekolah tersebut bangkrut. Pada saat itu, lahirlah adik keenam Pram, Soesilo Toer, pada 17 Februari 1937.
ADVERTISEMENT
“Waktu saya lahir lagi nista-nistanya. Bapak lagi hancur ekonominya. Apalagi waktu ibu meninggal terus bapak punya hobi baru jadi penjudi. Jadi saya sama Pram itu beda, Pram orangnya optimis saya orangnya pesimis,” Soes bercerita.
Pada tahun 1950, Mastoer meninggal dunia. Praktis, sebagai anak tertua Pram harus mengasuh kedelapan adiknya. Pram memutuskan untuk memboyong kedelapan adiknya ke Jakarta. Waktu itu, Soes sempat menolak ajakan Pram. Namun, karena janji manis penulis Bumi Manusia itu, dia akhirnya luluh dan berangkat ke Ibu Kota.
“Nanti saya sekolahkan jadi meester-meester (master), jadi doktor-doktor,” tiru Soes akan janji Pram.
Soesilo Toer bersama lukisan Pram (Foto: Retno Wulandhari Handini/kumparan)
Sesampai di Jakarta, janji itu nyatanya tak semanis yang pernah diucap Pram. Soes, yang memilih sekolah di Taman Siswa hanya diberi uang Rp 10 oleh Pram. Dia pun harus berjalan kaki sepanjang 6 kilometer untuk sampai ke sekolahnya di wilayah Kemayoran.
ADVERTISEMENT
“Bagaimana mengatasi kekurangan itu? Semua dikuasai orang Betawi, terpaksa nulis ikut jejak Pram. Bikin tulisan majalah Balai Pustaka kunang-kunang. Judulnya “Saya Ingin Jadi Jenderal”,” tutur Soes.
Soes pun mulai menulis sejak usia 13 tahun. Dia bangga benar bila mengingat itu karena membuatnya merasa mampu mengalahkan Pram. Sebab Pram baru mulai menulis pada usia 15 tahun.
Selain Pram dan Soes, Koesalah Toer juga termasuk satu di antara keluarga Toer yang memiliki darah penulis. Trio keluarga Toer itu bahkan merintis perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa (Pataba) yang berada di Blora.
Karya-karya tiga serangkai asal Blora itu banyak dikunjungi oleh masyarakat dari berbagai daerah, bahkan dari mancanegara. Jangan lupakan, Pram pernah 6 kali berturut-turut mendapatkan nominasi sebagai peraih nobel.
ADVERTISEMENT
“Pram itu ya pengganti bapak, ya kakak tertua ya guru, buat saya ya musuh. Karena saya pernah ditempeleng. Ya teman seprofesi. Cuma Pram itu pengarang saya penulis,” kenang Soes tentang Pram.
----------------------------------------------------------------
Ikuti kisah Pramoedya dan Soesilo lebih lanjut di topik Jejak Pram.