Dari Medsos hingga Poligami, Penyebab Perceraian di Depok dan Bekasi

5 Oktober 2017 7:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi perceraian. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perceraian. (Foto: Wikimedia Commons)
ADVERTISEMENT
Media sosial bisa diibaratkan seperti pisau bermata dua. Tak hanya memberikan manfaat, namun bisa juga menghancurkan mahligai rumah tangga yang mungkin saja sudah terbina selama bertahun-tahun.
ADVERTISEMENT
Pengadilan Agama Depok sedikit miris melihat fakta yang saat ini terjadi pada pasangan suami istri di wilayah tersebut. Dari sejumlah kasus yang mereka tangani sejak tahun 2010, faktor utama yang membuat pasangan suami istri memilih untuk berpisah, adalah karena pertengkaran yang salah satunya dipicu oleh aktivitas di media sosial.
Iustrasi perceraian. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Iustrasi perceraian. (Foto: Pixabay)
"Media sosial adalah salah satu instrumen yang memicu keretakan rumah tangga," ujar Panitera Pengadilan Agama Depok, Entoh Abdul Fatah, kepada kumparan (kumparan.com) di kantornya, (4/10).
Entoh mengatakan perselisihan tersebut salah satunya dapat dipicu oleh interaksi seseorang yang bermesraan dengan seseorang di media sosial, tak peduli apa saja motif di balik interaksi tersebut.
"Perselisihan, salah satu pemicunya sosial media. Tapi bukan dalam arti media sosial jadi seluruh pemicu, tapi salah satu pemicu," katanya.
ADVERTISEMENT
Entoh mengatakan, kasus perceraian yang dipicu aktivitas medsos ini memang mulai marak terjadi mulai tahun 2010, saat masyarakat mulai mengenal smartphone.
"Sekitar tahun 2010 2011-an, ketika android itu ada," jelasnya.
Selain media sosial, ada lagi sebuah fenomena sosial yang menyebabkan banyaknya gugatan perceraian di kawasan Bekasi. Fenomena tersebut adalah poligami.
Untuk diketahui, poligami sendiri bukanlah hal baru yang terjadi di Indonesia. Namun belakangan, poligami dipopulerkan oleh sejumlah public figure, sehingga banyak orang yang berpikir bahwa berpoligami bukanlah hal yang tabu untuk dilakukan, selama sang suami bisa berlaku adil kepada para istrinya.
Entoh Abdul Fatah (Foto: Ainul Qalbi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Entoh Abdul Fatah (Foto: Ainul Qalbi/kumparan)
Namun, kenyataan tak selalu seindah harapan. Tak jarang banyak istri yang mengeluh dan protes, karena sang suami dianggap tak berlaku adil, ketika mereka memutuskan untuk berpoligami. Alhasil, banyak gugatan perceraian yang diajukan karena masalah poligami tersebut.
ADVERTISEMENT
Dominasi gugatan perceraian yang dilakukan oleh perempuan akibat poligami, kini terjadi di Bekasi. Sejak tahun 2015, kaum hawa di wilayah tersebut semakin berani menggugat suaminya ke pengadilan agama.
Dra Hj Siti Zurbaniyyah.  (Foto: Adim Mugni/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Dra Hj Siti Zurbaniyyah. (Foto: Adim Mugni/kumparan)
Ketua Pengadilan Agama sekaligus Hakim di Pengadilan Agama Bekasi, Dra Hj Siti Zurbaniyyah, mengatakan, dari 2231 kasus perceraian yang ditangani Pengadilan Agama Bekasi sejak Januari hingga awal Oktober 2017, ada 121 kasus perceraian yang disebabkan masalah poligami.
ADVERTISEMENT
Selain poligami, perselingkuhan juga menjadi salah satu faktor yang membuat angka perceraian di Bekasi tinggi. Drama yang biasa terjadi saat sidang perceraian adalah saling elak ketika ditanya hakim soal isu perselingkuhan.
"Sanggahan dari yang cerai itu yang paling populer, 'ah itu cuma teman biasa. Bukan apa-apa itu teman biasa' Kayak gitu," jelas Zurbaniyyah.
Padahal, akibat yang ditimbulkan dari perceraian ini tak hanya berimbas pada pasutri itu saja, namun juga akan mempengaruhi pihak lain, terutama anak-anak.
"Tidak sedikit anak-anak korban perceraian itu menjadi anak-anak yang larut dalam pergaulan bebas, seperti narkoba. Itu harus menjadi kunci di majelis hakim agar mengingatkan kepada mediator, jangan karena emosi salah satu, anak jadi korban. Ini harus jadi perhatian hakim," ungkapnya.
ADVERTISEMENT