Daripada Aktifkan Komando Gabungan, Jokowi Harus Fokus RUU Antiteror

17 Mei 2018 10:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi anggota TNI AD (Foto: ANTARA FOTO/Rahmad)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anggota TNI AD (Foto: ANTARA FOTO/Rahmad)
ADVERTISEMENT
SETARA Institute menganggap rencana Presiden Joko Widodo mengaktifkan kembali Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopssusgab) TNI untuk penanggulangan tindak terorisme harus dipikirkan masak-masak. Apalagi masih ada pembahasan revisi UU No 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Terorisme belum selesai.
ADVERTISEMENT
"Pengaktifan kembali Komando Operasi Khusus Gabungan TNI oleh Presiden Jokowi secara prinsipil dapat diterima sepanjang tetap patuh pada ketentuan dalam Pasal 7 UU 34/2004 tentang TNI. Pelibatan TNI bersifat sementara dan merupakan last resort atau upaya terakhir dengan skema perbantuan terhadap Polri yang beroperasi dalam kerangka integrated criminal justice system," kata Ketua SETARA Institute Hendardi dalam keterangan tertulisnya, Kamis (17/5).
Ia berharap Presiden Jokowi dapat mendisiplinkan jajarannya yang mengambil langkah-langkah kontraproduktif dan bertentangan dengan semangat kepatuhan pada rule of law dan penghormatan pada hak asasi manusia. Hendardi menilai, cara-cara represi justru akan menjauhkan warga dengan Jokowi yang akan berlaga kembali di Pilpres 2019.
"Dibanding menghidupkan kembali Komando tersebut, Jokowi lebih baik turut aktif memastikan penyelesaian pembahasan revisi RUU Antiterorisme. Karena dalam RUU itulah jalan demokratis dan ramah HAM disediakan melalui kewenangan-kewenangan baru Polri yang diperluas, tetapi tetap dalam kerangka rule of law," ungkap dia.
ADVERTISEMENT
"Bahkan, perbantuan militer juga hanya bisa dibenarkan jika situasi sudah di luar kapasitas Polri (beyond the police capacity). Polisi dan BNPT telah bekerja optimal meringkus jejaring terorisme dan menjalankan deradikalisasi. Jika membandingkan peristiwa yang terjadi dan peristiwa teror yang bisa dicegah, maka sesungguhnya Polri dan BNPT telah bekerja optimal," tutur dia.
Hendardi Ketua Setara Institute (Foto: Rafyq Alkandy/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Hendardi Ketua Setara Institute (Foto: Rafyq Alkandy/kumparan)
Pengaktifan kembali komando tersebut, lanjut dia, memang sebagai bagian dari upaya memperkuat kemampuan negara dalam menangani terorisme, tetapi pemanfaatannya tetap dalam konteks tugas perbantuan terhadap Polri.
"Sebab, pendekatan nonjudicial dalam menangani terorisme bukan hanya akan menimbulkan represi massal dan berkelanjutan tetapi juga dipastikan gagal mengikis ideologi teror yang pola perkembangannya sangat berbeda dengan di masa lalu. Langkah Jokowi juga dapat dinilai sebagai tindakan melanggar UU," ungkap dia.
ADVERTISEMENT
Ia mengatakan, Koopssusgab mesti digunakan untuk membantu dan di bawah koordinasi Polri serta ada pembatasan waktu yang jelas kapan mulai dan kapan berakhir, sebagaimana satuan-satuan tugas yang dibuat oleh negara. Hendardi berujar, tanpa pembatasan, apalagi di luar kerangka sistem peradilan pidana, Koopssusgab hanya akan menjadi teror baru bagi warga negara.
"Dengan pola kerja operasi tentara, represi sebagaimana terjadi di masa lalu akan berulang. Cara ini juga rentan menjadi instrumen politik elektoral pada Pilpres 2019." ujar Hendardi.