Denny JA: Pemilu 2019 Tunjukkan Buruknya Pileg dan Pilpres Digabung

18 April 2019 16:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Direktur Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Denny JA memberikan keterang pers terkait hasil quick count pemilihan calon legislatif Pemilu 3019 di Jakarta. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Direktur Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Denny JA memberikan keterang pers terkait hasil quick count pemilihan calon legislatif Pemilu 3019 di Jakarta. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Denny Januar Ali (JA), mengkritisi pelaksanaan Pemilu Serentak 2019. Ia menyebut, banyak dampak negatif yang terjadi karena pilpres dan pileg digabung.
ADVERTISEMENT
"Kita melihat ternyata buruknya pemilu yang digabung. Jika pemilu presiden digabung dengan pemilu legislatif, kita melihat lebih detail buruknya kultur politik yang akan tercipta," kata Denny JA di kantornya, di Rawamangun, Jakarta Timur, Kamis (18/4).
Salah satu alasannya adalah pemilu serentak telah menjadikan pileg menjadi anak tiri ketika dihadapkan dengan pilpres.
"Yang terjadi pemilu legislatif segera jadi anak tiri. Kita lihat 70 persen percakapan publik. Legislatif hanya dapat porsi anak tiri saja. Pemilu presiden golputnya hanya 19 persen. Di hari yang sama legislatif golputya 30 persen. Jauh berbeda," kata Denny JA.
Denny JA juga menyebut, masyarakat banyak yang datang ke TPS lebih banyak ingin memilih calon presiden dibandingkan legislatif. Padahal, kata dia, peran legislatif juga penting dalam konsep trias politica.
ADVERTISEMENT
Selain itu, terdapat kultur pengkhianatan dari caleg apabila pemilu digabung. Sebab, sejatinya, apabila pemilu digabung, caleg memiliki kewajiban untuk juga memenangkan calon presiden yang diusungnya.
"Tapi apa yang terjadi jika caleg itu dia menemukan dapil yang calegnya tak populer seperti misalnya caleg partai pro Prabowo harus berkampanye di Bali. Yang tempat Prabowo tidak terlalu populer. Maka caleg itu akan membuat manuver yang tak ingin dirinya terkait dengan Prabowo," kata dia.
"Kalau dia kampanyekan capres yang tidak populer di sana, dia terkena efek negatifnya. Hal yang sama tidak hanya Prabowo, tapi caleg koalisi Jokowi di Aceh atau Riau juga berbuat hal yang sama," sambungnya.
Denny JA juga melihat adanya ketidakadilan saat pemilu digabung. Akan ada keuntungan bagi partai yang mengusung calon Presiden dan wakil Presiden di pileg. Hal ini biasa disebut dengan efek ekor jas atau coattail effect.
ADVERTISEMENT
Efek buruk lainnya adalah dengan digabungnya dua pemilu secara langsung, menjadikan para caleg semakin tenggelam.
"Kita melihat data survei, bahwa motif pemilih datang ke TPS itu di hati dia 60 persen dia mau memilih caleg, kalau partai 40 persen dia mau milih. Jadi kepala dia ini nama, figur caleg itu yang dipilih, tapi yang terjadi yang mengenal nama caleg itu cuma 25 persen, pengenalan caleg semakin berkurang karna perhatian publik dikuasai oleh begitu hirup-pikuknya aneka manuver capres, akhirnya nama caleg tenggelam," imbuhnya.
Denny JA juga menyebut bahwa penerapan Parliamentary Threshold (PT) masih terlalu rendah. Hal ini menyebabkan terlalu banyaknya partai dan berujung pada ketidakefektifan kinerja parlemen.
"Pertanyaannya apakah 10 partai cukup banyak. Kita lihat bagaimana negara demokrasi matang memiliki jumlah partai, Di Amerika hanya 2 partai. Di negara Eropa yang multipartai hanya 5 atau 6 partai," kata dia.
ADVERTISEMENT
Dengan alasan itu, ia berharap di pemilu 2024 nanti, PT bisa ditingkatkan hingga 8 persen. Hal ini agar tidak terlalu banyak partai yang masuk parlemen.
"Jadi kita melihat ini ketika PT dari 3,5 persen di 2014 jadi 4 persen di 2019 jumlah partainya enggak jauh beda. 2014 10 partai masuk parlemen hanya 2 yang hilang. Sekarang juga mungkin 10 atau 9 yang masuk, 6 hilang. Itu jumlah yang terlalu banyak untuk demokrasi yang stabil," ujarnya.
"Sekarang kita usulkan sebisa mungkin lihat sejarah ambang batas parlemen, jika bisa 2024 melompat jadi 8 persen. Hanya itu yang bisa membuat demokratik enginering yang bisa buat partai 6 saja," pungkasnya.