Dewan Pers: Sekitar 20 Pasal di Revisi KUHP Bisa Pidana Wartawan

21 September 2019 11:13 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tema diskusi 'Mengapa RKHUP Ditunda?' dalam sebuah diskusi di Kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (21/9). Foto: Adhim Mugni Mubaroq/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Tema diskusi 'Mengapa RKHUP Ditunda?' dalam sebuah diskusi di Kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (21/9). Foto: Adhim Mugni Mubaroq/kumparan
ADVERTISEMENT
Dewan Pers menyatakan ada sekitar 20 pasal dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dapat mengancam kerja jurnalistik. Bahkan, pasal-pasal itu dinilai bisa mempidana wartawan yang mengerjakan tugasnya sesuai UU Pers.
ADVERTISEMENT
"Kami menyampaikan ada beberapa catatan di mana itu kontraproduktif, pasal karet, dan tumpang tindih. Dalam UU Pers, apa pun ceritanya adalah produk yang muncul di alam demokrasi. Ada sekitar 20 pasal," kata Ketua Komisi Hukum Dewan Pers, Agung Darmajaya, saat diskusi 'Mengapa RKHUP Ditunda?' di Kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (21/9).
Ia mengatakan pers merupakan salah satu pilar dalam demokrasi. Namun, kinerja-kinerja wartawan dinilai akan terhambat dan terancam pidana apabila ada pasal di revisi KUHP yang tumpang tindih dengan UU Pers.
Darmajaya menegaskan persengketaan pers diselesaikan oleh Dewan Pers, bukan langsung ke ranah pidana.
"Ketika muncul persoalan, muncul dalam pidana, artinya bicara UU Pers tentang kebebasan berkreasi, menyampaikan gagasan dan pendapat, di satu sisi terbelenggu dengan pidana, akhirnya jadi tumpang tindih," ucapnya.
ADVERTISEMENT
"Kalau ranahnya pers itu kan jelas, ketika ada persoalan pers, maka larinya bukan pidana," sambungnya.
Darmajaya menyebutkan pasal yang akan mengancam kebebasan pers di antaranya pasal tentang penghinaan terhadap presiden. Aturan itu tertuang dalam Pasal 217-220 di bab tindak pidana terhadap martabat presiden dan wakil presiden.
Lalu, pasal penghinaan terhadap pemerintah akan juga menjadi perdebatan. Hal itu diatur dalam Pasal 240 dan 241 terkait penghinaan terhadap pemerintah, serta pasal 246 dan 247 terkait penghasutan untuk melawan penguasa umum.
"Mungkin ada jadi debatable panjang ialah tentang penghinaan, penghinaan kepala negara seperti apa sih?" ujarnya.
"Kemudian kritik pejabat publik. Ya itulah risikonya, kecuali masuk ranah pribadi, itu menjadi persoalan. Ya kalau pejabat publik, ya itu risikonya bisa dikritik," pungkasnya.
ADVERTISEMENT
Salah satu pasal yang menjadi polemik di revisi KUHP adalah pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Sebagian kalangan meyakini, pasal tersebut bisa mengancam kebebasan berpendapat dan membuat presiden antikritik.
Menanggapi kontroversi itu, Menkumham Yasonna Laoly akhirnya memberikan penjelasan. Yasonna menegaskan pasal tersebut merupakan delik aduan dan laporan penghinaan terhadap presiden tidak dapat dilakukan oleh semua orang.
"Ketentuan ini dimaksudkan, untuk menyadarkan atau mengajukan kritik kepada kebijakan pemerintah tidak ada masalah. Dan itu delik aduan dan harus dilaporkan langsung oleh presiden sendiri," ujar Yasonna di Graha Pengayoman, Kemenkumham, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (20/9).
Ia menjelaskan, penghinaan yang dimaksud adalah merendahkan martabat presiden dan wakil presiden secara personal, seperti memfitnah maupun menghina dengan tujuan memfitnah.
ADVERTISEMENT
"Jadi jangan dikatakan bahwa membungkam kebebasan pers, membungkam ini. Saya buat contoh misalnya, saya sebagai Menkumham berbeda dengan saya sebagai Yasonna Laoly. Kalau kalian mengatakan kepada saya Yasonna Laoly tak becus mengurus undang-undang, tak becus urus lapas, tak becus urus ini itu, sah saja, karena itu pendapat publik. Namun kalau kamu bilang saya anak haram jadah, saya kejar kau sampai ke liang lahat. Itu bedanya antara harkat martabat dengan kritik," paparnya.