Di China, Agama Tak Punya Tempat di Kurikulum Anak-anak

21 Februari 2018 19:44 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pemeluk agama Yahudi dan seorang Muslim (Foto: REUTERS/Darren Staples)
zoom-in-whitePerbesar
Pemeluk agama Yahudi dan seorang Muslim (Foto: REUTERS/Darren Staples)
ADVERTISEMENT
Di Inggris, tercipta sebuah paradoks dalam narasi soal agama dan apakah ia penting untuk masuk di pendidikan formal anak muda.
ADVERTISEMENT
YouGov, sebuah badan polling independen di Inggris, dalam surveinya yang terbit Desember 2017 lalu menunjukkan bahwa pendidikan agama tak punya cukup banyak penggemar di Inggris Raya.
Dalam survei tersebut, lebih dari separuh responden menyebut pelajaran agama “sama sekali tidak penting” atau “tidak cukup penting” untuk masuk ke dalam kurikulum sekolah menengah. Sementara, hanya 12 persen dari 1.648 responden saja yang mengatakan bahwa pelajaran agama “Sangat Penting”.
Sebagai perbandingan, 60 persen dari responden ini menyebut pelajaran kewarganegaraan “Cukup Penting” dan “Sangat Penting”. Sementara, 85 persen meyakini bahwa pelajaran soal hubungan seksual di level “Cukup Penting” dan “Sangat Penting”.
Survei YouGov: Mata Pelajaran Paling Penting (Foto: YouGov)
zoom-in-whitePerbesar
Survei YouGov: Mata Pelajaran Paling Penting (Foto: YouGov)
Padahal, di saat yang sama, pemerintah Inggris cukup proaktif dalam melibatkan agama ke dalam pendidikan anak muda mereka. Dikutip dari Economist, Inggris mendanai 7.000 sekolah yang memiliki asosiasi dengan kelompok agama tertentu.
ADVERTISEMENT
Selain mayoritas sekolah-sekolah Kristiani (baik Anglikan maupun Katolik), juga terdapat 48 sekolah Yahudi, 27 sekolah Muslim, 11 sekolah Sikh, dan lima sekolah Hindu. Melawan arus, jumlah sekolah keagamaan selain Kristiani terus meningkat dari masa ke masa.
Dus, terciptalah kontradiksi: padahal masyarakat sudah tak tertarik-tertarik amat dengan agama, pemerintahnya yang konservatif justru getol menguatkan keberadaan agama di kurikulum pendidikannya.
Tentara China di halaman Tiananmen (Foto: Reuters/Kim Kyung-Hoon)
zoom-in-whitePerbesar
Tentara China di halaman Tiananmen (Foto: Reuters/Kim Kyung-Hoon)
Paradoks yang serupa juga terdapat di China. Namun, yang terjadi justru kebalikannya.
Sementara, pemerintah China tak punya hasrat besar soal agama, masyarakatnya justru punya kebutuhan mendesak akan agama. Misalnya saja orang-orang Tibet dengan Budha dan kaum Hui dan Uighur dengan agama Islamnya.
Keduanya, mau tak mau, bertabrakan. Tak seperti yang terjadi di Inggris, polarisasi keduanya kerap berakhir duka di negara ini. Contoh yang teramat jelas untuk dilewatkan adalah penangkapan pada tokoh-tokoh Muslim Uighur dengan dalih ekstremisme, atau pemblokiran arus masuk (maupun keluar) Tibet yang ditakutkan menjadi jalur agitasi politik ekstrem Budha Tibet.
ADVERTISEMENT
Di bangku sekolah, urusan agama dan pendidikan lebih rumit lagi. Sebetulnya, ini tak mengherankan; edukasi selalu menjadi palagan tempur ide tradisional dan gagasan progresif yang mereformasi.
Masalahnya, tak seperti di Timur Tengah, agama adalah sesuatu yang liyan bagi China. Setidaknya demikian sejak Revolusi Kebudayaan (selanjutnya disebut RK) digaungkan pada pertengahan 60an.
Muslim China di Masjid Niujie, Beijing (Foto: NICOLAS ASFOURI / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Muslim China di Masjid Niujie, Beijing (Foto: NICOLAS ASFOURI / AFP)
Sejak memerdekakan diri sebagai negara modern menjadi Republik Rakyat China pada 1949 hingga saat ini, China mengalami beberapa kali perubahan soal pendekatan negara terhadap agama masyarakatnya. Perbedaan pendekatan ini dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu: 1) era pra-RK; 2) era RK; dan 3) era pasca-RK
ADVERTISEMENT
1. Era Pra-RK
Dari 1949 sampai permulaan RK pada 1966, konstitusi keluaran 1954 menjamin “kebebasan memeluk kepercayaan” seluruh warga negara RRC.
Sebenarnya, jaminan kebebasan memeluk kepercayaan ini lebih menekankan hal sebaliknya, bahwa masyarakat RRC juga dijamin kebebasannya untuk tidak memeluk agama atau kepercayaan apapun.
Menurut Hirotaka Nanbu dalam jurnalnya di British Journal of Religious Education, penguasa di era ini memandang bahwa perkembangan zaman dan pembangunan di China akan menghapuskan peran agama dari kehidupan masyarakatnya.
2. Era RK
Nasib agama berubah di sepanjang era RK. Agama menjadi target penindasan. Semua aktivitas keagamaan dianggap sebagai takhayul dan wajib dihentikan.
Bagi umat Islam, misalnya. Masjid-masjid ditutup, kalau tidak dihancurkan. Di daerah otonom Ningxia Hui, tempat pemeluk agama Islam cukup banyak, keadaan bisa dibilang mengenaskan. Memeluk agama menjadi sebuah tindakan kriminal. Masyarakat Hui muslim ditangkap dan dipenjara. Selain itu, ternak babi (yang haram bagi muslim) juga diwajibkan di wilayah Hui.
ADVERTISEMENT
Namun, tak hanya kepada pemeluk agama Islam, keadaan payah ini juga terjadi bagi pemeluk agama lain--apapun agamanya.
3. Era pasca-RK
Berakhirnya RK menjadi gong awal Open Door Policy oleh Pemerintah China. Untuk agama, fase baru ini mendorong upaya agar agama dan sosialisme hidup berdampingan.
Menurut Nanbu, sementara pembangunan coba diraih, agama diharapkan untuk secara positif berkontribusi pada modernisasi masyarakat China. Maka dari itu, kebebasan beragama kembali dijamin. Artikel 36 dalam Konstitusi menunjukkan hal ini:
“Citizens of the People’s Republic of China enjoy freedom of religious belief. No state organ, public organisation or individual may compel citizens to believe in, or not to believe in, any religion; nor may they discriminate against citizens who believe in, or do not believe in, any religion. The state protects normal religious activities.
ADVERTISEMENT
No one may make use of religion to engage in activities that disrupt public order, impair the health of citizens or interfere with the educational system of the state. Religious bodies and religious affairs are not subject to any foreign domination.”
“Masyarakat RRC menikmati kebebasan beragama dan memeluk kepercayaan. Tidak boleh ada badan di pemerintahan, organisasi masyarakat, atau individu yang memaksa warga negara untuk percaya, atau untuk tidak percaya, pada agama apapun; mereka juga dilarang melakukan diskriminasi terhadap masyarakat yang percaya, maupun tak percaya, pada agama apapun. Negara bertugas melindungi aktivitas keagamaan
Tidak ada seorangpun yang boleh menggunakan agama untuk mengganggu ketertiban umum, merusak kesehatan masyarakat, atau ikut campur dalam sistem pendidikan negara. Badan keagamaan dan urusan keagamaan juga tak boleh berada di bawah dominasi asing.”
ADVERTISEMENT
Memang, kebebasan beragama ini tak bisa dinikmati pengurus dan anggota Partai Komunis China. Mereka “...atheis. Mereka hanya boleh percaya pada Marxisme, Leninisme, dan pemikiran-pemikiran Mao Zedong.”
Alasannya, kepercayaan dan agama akan “...melemahkan kemampuan bertarung organisasi partai, mengurangi otoritas partai di mata masyarakat, dan juga mengganggu implementasi yang baik dari kebijakan-kebijakan partai.”
Masyarakat China berdoa saat Tahun Baru Imlek (Foto: GREG BAKER / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Masyarakat China berdoa saat Tahun Baru Imlek (Foto: GREG BAKER / AFP)
Bagaimanapun, era pasca-Revolusi Kebudayaan adalah masa yang lebih baik ketimbang dekade suram China tahun 60-70an itu. Hampir sama seperti Indonesia, beberapa agama diakui secara formal, yaitu: Buddha, Daoisme, Islam, Katolik, dan Protestan.
Di China, pembatasan agama untuk diakui oleh negara punya alasannya sendiri. Menurut Yoshiko Ashiwa, dalam jurnal yang diterbitkannya tahun 2000, sebuah kepercayaan harus memiliki beberapa kriteria untuk diakui sebagai agama oleh pemerintah China.
ADVERTISEMENT
Kriteria tersebut adalah: 1) punya sistem teoretis soal kehidupan setelah mati; 2) punya kitab suci yang menjelaskan sistem tersebut; 3) punya kependetaan (ulama, apabila muslim) yang terlatih secara khusus; 4) punya situs keagamaan yang dikelola oleh kependetaan tadi dan memiliki seperangkat aktivitas yang dilakukan di situs tersebut.
Meski begitu, kebebasan beragama ini tetap tak mampu menjangkau bangku-bangku sekolah. China mengadopsi kebijakan memisahkan agama dari pendidikan sekolah-sekolah negeri --kecuali di beberapa institusi penelitian dan perguruan tinggi yang khusus mempelajari ilmu keagamaan.
Karena tak diajarkan oleh sekolah pemerintah, pendidikan agama diserahkan pada sekolah maupun perguruan tinggi swasta. Menurut State Administration for Religious Affairs (SARA), per Juli 2011, terdapat 92 perguruan tinggi keagamaan di seluruh China. Angka ini sudah cukup tinggi untuk ukuran negeri berpenduduk 1,4 miliar jiwa tersebut.
ADVERTISEMENT
Sebelum dekade 1980an, pendidikan agama hanya boleh dilakukan di tempat peribadatan umat. Menurut Nanbu, per 2008 di China terdapat 85 ribu tempat peribadatan dan 3.000 organisasi keagamaan. Budha diperkirakan memiliki 200 ribu biksu, Daoisme memiliki 25 ribu pendeta.
Namun, lain halnya yang terjadi pada kegiatan pendidikan keagamaan umat muslim (terutama Muslim Hui dan Uighur) dan Kristiani.
Per 1 Februari 2018, Pemerintah China mengeluarkan aturan bahwa anak di bawah umur 18 tahun dilarang memasuki tempat ibadah. Peraturan ini diberlakukan di beberapa daerah, seperti Provinsi Hebei, Xinjiang, dan Gangsu. Dilansir NCR Online, tempat ibadah menjadi tempat haram ketiga buat anak-anak, setelah kelab malam dan kafe internet.
Implementasinya, otoritas di provinsi-provinsi tersebut meminta pendeta-pendeta untuk memajang tanda di muka gereja mereka bahwa anak-anak dilarang masuk.
ADVERTISEMENT
“Mereka juga mengancam gereja kalau mereka menolak memajang larangan itu,” ucap seorang pendeta di Provinsi Hebei, yang tak mau disebutkan namanya.
Buat pemeluk Kristiani, ini amat bermasalah. Mengingat agama tak diajarkan di sekolah formal milik negara di China, tempat ibadah menjadi satu-satunya harapan buat menyebarkan ajaran agama bagi anak-anak.
Larangan serupa juga terdapat di Wenzhou, Provinsi Zhejiang. Secara spesifik, pemerintah meminta pendeta untuk tak memperbolehkan siswa sekolah dasar dan menengah mengikuti Sekolah Minggu.
Muslim China di Masjid Nan Guan, Yinchuan, China (Foto: GOH CHAI HIN / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Muslim China di Masjid Nan Guan, Yinchuan, China (Foto: GOH CHAI HIN / AFP)
Hal yang sama terjadi pada kelompok Muslim, baik Hui maupun Uighur. Sejak Januari 2018, pejabat dinas pendidikan dari daerah Guanghe, Provinsi Gangsu --18 jam perjalanan darat dari Ibu Kota China, Beijing-- melarang anak-anak dari Muslim Hui mengikuti pendidikan keagamaan di masjid-masjid pada masa libur Tahun Baru Imlek.
ADVERTISEMENT
Sementara ini, belum jelas apakah pelarangan tersebut akan berlanjut permanen setelah masa libur Tahun Baru Imlek berakhir sebagaimana terjadi bagi Muslim Uighur.
Tak hanya di Guanghe, pelarangan serupa juga terjadi di Linxia, Ibu Kota Provinsi Gansu yang otonom untuk masyarakat Hui China.
“Kami merasa kebijakan ini sangat aneh, dan kami sangat kaget,” ucap Li Haiyang, salah seorang Imam Muslim Hui, seperti dilansir Reuters (17/2).
Ketika ditanya latar belakang pelarangan ini, pemerintah Kota Linxia hanya menjawab bahwa keputusan ini bertujuan menghindari munculnya ideologi yang tak dibenarkan.
“Manajemen urusan keagamaan secara tegas menolak dan menjaga masyarakat dari infiltrasi dan penyebaran ideologi agama yang ekstrem,” tulis Humas Departemen Agama Pemerintah Kota Lixia, seperti dilansir Reuters.
ADVERTISEMENT
Haiyang tentu saja menolak anggapan pengajaran pendidikan agama di masjid-masjid tersebut bertujuan menyebar ekstremisme. Menurutnya pula, pelarangan tersebut sebenarnya sudah terjadi selama beberapa tahun terakhir untuk masyarakat Hui. Namun, implementasinya tak konsisten.
Di Uighur keadaan sama mengenaskannya. Meski mulai bebas di dekade 1980an, pendidikan keagamaan kembali dilarang pada 1996 usai terjadi demonstrasi dan beberapa insiden antara Muslim Uighur dan pihak keamanan di Khotan, Gulja, Bahren, dan Aksu.
Keadaan sebenarnya sempat membaik secara perlahan. Pada 2002, Imam diperbolehkan memberikan pelajaran keagamaan pada satu atau dua murid. Namun, itu hanya bisa dilakukan dengan pengawasan ketat dari Departemen Urusan Keagamaan dan pemerintah lokal.
Meski begitu, pembatasan kegiatan edukasi keagamaan juga masih aktif dilakukan. Pada Mei 2012, sembilan Muslim Uighur di Xinjiang ditangkap dan dipenjara untuk waktu yang cukup lama karena menjalankan sekolah keagamaan ilegal.
Anak-anak Uighur (Foto: Reuters/Thomas Peter)
zoom-in-whitePerbesar
Anak-anak Uighur (Foto: Reuters/Thomas Peter)
Aturan pembatasan usia minimal untuk edukasi keagamaan juga dilakukan. Di Xinjiang, seseorang harus berusia minimal 18 tahun untuk diperbolehkan menerima pelajaran agama --sebuah kebijakan yang ditekankan kembali pada awal Februari 2018 ini.
ADVERTISEMENT
Bagi masyarakat Linxia, kebijakan-kebijakan yang merepresi pendidikan keagamaan ini tentu saja punya pengaruh buruk.
“Orang tua jadi takut mengajari anak mereka soal kepercayaan. Mereka takut hal itu akan membawa masalah ke mereka,” ucap seorang jemaah di New China Mosque di Linxia, yang tak mau disebutkan namanya. “Bagaimana bisa tradisi budaya diturunkan ke generasi selanjutnya kalau keadaan terus seperti ini?”
Paranoia Pemerintah China terhadap ekstremisme tentu saja terus menjadi alasan. Namun, menurut seorang calon Imam di Linxia bernama Zhou, kekhawatiran Pemerintah China terhadap Islam, terutama Muslim Hui, tidak beralasan.
“Kemungkinan ini terjadi (menjadi teroris) hampir tak ada. Kami tak percaya pada ajaran itu. Kami bukan ekstremis,” katanya. Tetap saja, sementara waktu, Zhou harus lebih berhati-hati.
ADVERTISEMENT
=============== Simak ulasan mendalam lain dengan mengikuti topik Outline.