LIPSUS, Dewan Pengawas KPK, Dini Purwono

Dini Purwono: Kami Percaya Quick Count, Langsung Bersiap untuk 2024

24 April 2019 16:16 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Politisi PSI, Dini Shanti Purwono. Foto: Iqbal Maulana/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Politisi PSI, Dini Shanti Purwono. Foto: Iqbal Maulana/kumparan
Sebagai ‘singa diskusi,’ caleg PSI Dini Purwono bergegas dari kantor kumparan menuju kantor TVRI, Rabu (17/4). Laris manis menjadi jubir atau influencer bagi PSI atau TKN Jokowi-Ma’ruf Amin, di hari pencoblosan, Dini justru tak bisa bergabung dengan teman-temannya sesama caleg PSI untuk memantau perhitungan suara.
Dini resah karena belum mengetahui hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei mengenai partainya. Ia lalu menelepon Sekjen PSI Raja Juli Antoni untuk mengetahui perkembangan terbaru. Di ujung telepon, Raja Juli Antoni menjelaskan ke Dini bahwa sulit bagi PSI untuk lolos parliamentary threshold.
Sedih sudah pasti, tapi peraih gelar Master dari Harvard Law School ini justru terlecut. Ia sadar PSI sudah menjadi alternatif di tengah hingar bingar politik Tanah Air. Alih-alih ‘tutup buku,’ Dini menegaskan PSI akan terus berjuang dan melawan hegemoni partai nasionalis lama yang lebih sering ‘lip service.’
Bertarung di kandang Banteng yaitu Dapil Jateng I yang meliputi Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Kabupaten Kendal, dan Kota Salatiga, Dini justru menemukan celah suara potensial. Menemui konstituen dari tikar ke tikar, cafe ke cafe, Dini mengaku punya pemilih loyal di antara 1.859.104 pemilih.
Bagaimana keseruan sang eks pengacara korporasi ini menggarap suara Jawa Tengah? Simak wawancara kumparan dengan Dini Purwono di sebuah kafe di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (22/4) :
Politisi PSI, Dini Shanti Purwono. Foto: Iqbal Maulana/kumparan
Selama ini Anda lebih sering kerja kantoran, apa pengalaman menarik waktu turun ke dapil?
Seru juga sih waktu pertama kali blusukan 1,5 tahun lalu. Lucu banget, kalau di sini kan dari kursi ke kursi kalau ketemuan, kalau di sana dari tikar ke tikar. Benar-benar blusukan ke rumah warga. Kadang ada keterbatasan tempat.
Kalau ketemu warga kita lebih kepada mendengarkan ya, mendengarkan keluh kesah mereka. Namanya juga calon wakil rakyat, jadi kita mau dengar dulu keluhan mereka apa, aspirasi mereka apa. Jadi kita menyesuaikan dengan para audiens saat bicara.
Bagaimana juga, ini tantangan kita. Kan tugas parpol memberikan edukasi politik ke masyarakat. Kita gali momentum itu, bagaimana dengan bahasa sederhana tapi tetap dapat substansinya apa itu politik.
Kita ngobrol saja biasanya, ngobrol santai. Apalagi kalau ketemu milenial, kan sukanya pasti kita ngomong dari kafe ke kafe, ngopi-ngopi. Senang bisa ketemu anak muda, bisa ngobrol dan ngasih motivasi.
Apalagi latar belakang saya hukum, jadi senang ketemu mahasiswa Fakultas Hukum. Mereka suka nanya, gimana sih nanti kalau sudah lulus kuliah, gimana dunia kerja. Jadi enggak cuma kampanye masalah politik, tapi juga ada unsur sosialnya juga.
Apa yang banyak dikeluhkan masyarakat selama kampanye?
Sebenarnya kalau isu sih banyak dan beraneka ragam tergantung komunitasnya apa. Kalau kita ketemu sama komunitas petani, kegalauannya beda sama anak kuliah, milenial. Beda juga sama ibu-ibu, ada ibu biasa, ada ibu hamil.
Tapi kalau boleh saya rangkum, isunya itu adalah sepertinya wakil rakyat kita enggak pernah turun ke bawah dan berkomunikasi dengan rakyatnya. Isunya banyak, tapi mereka bingung mau ngomong ke mana. Itu komunikasi yang harus dibangun antara rakyat dengan wakil rakyat.
Mereka mencoba ke sudin-sudin yang perpanjangan kementerian, mereka merasa jawabannya selalu normatif, pasif, enggak pernah memberikan solusi atau terobosan. Misalnya ada satu isu, mereka akan men-check list, ‘oh enggak ada dokumen ini, enggak bisa’.
Saat ke dapil, kejadian apa yang paling menyentuh?
Ada yang terharu sampai nangis karena seumur hidupnya tidak pernah bertemu caleg DPR RI, tapi kali ini betul-betul datang ke rumahnya, masuk ke rumahnya, salaman.
Mereka bilang, ‘selama ini saya bingung kalau mau milih caleg, bingung milih parpol apa.’ Tapi kali ini saya tahu saya pasti akan pilih PSI, dan saya akan milih Mbak atau Mas karena Mbak atau Mas yang datang ke saya, yang telah saya jabat tangannya’.
Jadi masyarakat kita itu enggak minta neko-neko. Mereka ini cuma ingin diperhatikan, didatangi, didengar keluh kesahnya. Enggak cukup didengar saja sih, setelah itu kita harus langsung memikirkan langkah apa untuk memberikan solusi, bagaimana cara memperbaiki kualitas hidup masyarakat.
Jateng kan dikenal sebagai kandang banteng, apa strategi agar bisa dilirik konstituen?
Kita di PSI harus betul-betul jadi wakil rakyat yang sesungguhnya. Kita enggak boleh membangun hubungan instan hanya untuk ambil suara. Makanya jauh-jauh hari, 1,5 tahun sebelum pemilu, kita turun ke dapil bahkan ada yang tinggal di dapil untuk menjalin hubungan dengan konstituen, dengan masyarakat.
Kita jelas enggak main politik uang, secara psikologis masyarakat juga lebih nyaman karena lebih mengenal kita, betul-betul tatap muka, ngobrol. Jadi kita kayak temannya masyarakat. Menurut saya itu sih kelebihan caleg PSI.
Karena memang caleg PSI ini yang pendidikannya cukup baik rata-rata, jadi waktu kita diskusi dengan warga kita bisa memberikan ide-ide kreatif, kita bisa lebih solutif, enggak cuma kayak pakai kacamata kuda. Kita juga relatif muda jadi lebih thinking out of the box. Jadi itu yang menjadi pembeda kita sehingga masyarakat melihat, ‘eh ini kayaknya ada harapan, angin segar, ada sesuatu yang berbeda’.
Beberapa program PSI dinilai kontroversial, seperti menentang poligami dan Perda Syariah, apa risikonya sudah diperhitungkan?
Basis ideologi kita jelas. Kita terbuka, progresif, nasionalis, Bhinneka. Karena kita memang ideologinya kan Pancasila. Kalau mau dilihat DNA perjuangan kita, itu anti korupsi. Jadi PSI itu bukan mau cari kontroversi pada saat kita sebut PDIP dan Golkar, dan dikaitkan dengan Perda Syariah. Diskriminasi itu kan sebenarnya sejalan dengan prinsip kita soal antitoleransi.
Kita menentang semua aturan, termasuk perda yang sifatnya diskriminatif. Bukan cuma Perda Syariah saja, pokoknya semua perda berbasis agama, yang berbasis apapun yang bersifat diskriminatif.
Ketua Umum PSI Grace Natalie (tengah), bersama jajaran DPP PSI konferensi pers terkait hasil quick count Pileg 2019. Foto: Dok. Tim Media PSI
Yang tidak sesuai dengan konstitusi kita, ya kita lawan. Makanya kita miris melihat ada partai nasional tapi ke mana saat terjadi diskriminasi cuma karena beda pendapat, beda agama?
Poligami juga begitu. Bukan kita ingin mencampuri urusan agama orang, bukan. Tapi kita melihat praktik poligami dari kacamata sosial. Semua yang kita sampaikan enggak ngarang, semua itu berbasis kajian ilmiah.
Waktu bicara soal menentang poligami, kita juga dapat dari LBH Apik yang memang secara kajian membuktikan bahwa dari sudut sosial, (poligami) dampaknya adalah penurunan kualitas hidup perempuan dan anak-anak.
Puas dengan hasil di Jateng? Lalu ke depannya, ingin PSI jadi seperti apa?
Jadi PSI akan tetap melanjutkan perjuangan, kita akan tetap melawan. Basis suara yang kita dapat saat ini akan kita catat, tidak akan sia-sia, itu akan jadi modal kuat kita untuk memperkuat kaderisasi selama 5 tahun ke depan. Jangan sampai kerja keras kita selama 2 tahun ini sia-sia.
Begitu banyak orang mempercayakan suaranya ke PSI, membuktikan bahwa paham kita sudah bagus, solid, dan ternyata banyak orang yang ingin perubahan dalam Indonesia. Mereka ingin ada partai nasionalis yang berbasis ideologi kuat, semacam versi nasionalisme-nya PKS.
Bagaimana rencana PSI di DPRD?
Kalau melihat perolehan suara untuk DPRD, itu cukup menggembirakan. Di beberapa DPRD, seperti di Semarang, Jakarta, Solo, Surabaya, kita sudah dapat kursi. Bahkan di Jakarta kita empat besar, di luar negeri juga surprising banget hampir di semua negara kita leading di atas PDIP.
Jadi ini menggembirakan, suatu pencapaian yang cukup bagus untuk partai baru. Tahun 2014 baru bikin akta, 2016 baru dapat persetujuan Menkumham, terus lari lagi 2017 untuk lolos verifikasi KPU untuk dapat tiket pemilu dan nomor urut. Kita cuma punya waktu 1,5 tahun lebih untuk mengejar dan menggerakkan semua mesin partai, terutama di daerah untuk mengejar pemilu kemarin.
Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie (tengah) pada acara Festival 11 Yogyakarta di Jogja Expo Center (JEC) Bantul, DIY, Senin (11/2). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Waktu pertama tahu PSI enggak lolos gimana rasanya?
Sebenarnya tanggal 17 (April) itu kan habis dari kumparan saya ke TVRI, acara jam 6 sore sampai 8 malam. Di jalan, saya telepon Bro Toni, Sekjen PSI (Raja Juli Antoni). ‘Gimana? Posisi kita gimana?’
Toni bilang, ‘Sejauh ini sih kayaknya enggak sampai, ya. Karena buktinya semua lembaga survei satu koma’. Waktu itu, PSI masih mendapat satu koma. ‘Jadi gimana Ton?’
‘Ya sudah, kita tunggu nanti real count, tapi kayaknya kalau lembaga survei sudah ngomong, quick count itu sudah hampir benar. Paling cuma beda sedikit dari yang final. Kalau misal data yang masuk di atas 50 persen, biasanya habis itu landai. Lo enggak bisa mengharapkan itu lompat. Kita sih pasti harus mengikuti SOP’.
SOP PSI maksudnya bagaimana?
Prosedurnya kita harus mengakui dengan sportif bahwa kita kalah, kita harus ngomong gitu. Jadi sebelum sujud syukur (Prabowo), itu posisi PSI. Memang kita anaknya sportif, kita kan akal sehat, jadi sudah kalah ya sudah, enggak masuk ya sudah. Enggak usah halu gitu.
Yang penting kita sudah lakukan yang terbaik, ya sudah. Inilah yang terbaik, masih ada besok. Kan yang penting kita langsung move on, yang positif aja. Langsung kita lihat apa yang bisa kita kerjakan ke depan, enggak usah diributin yang memang sudah lewat. Ambil positifnya saja, kita generasi optimistis masalahnya.
Saat PSI tidak lolos versi quick count, apa ada konstituen yang kontak langsung?
Mereka WhatsApp, pertama kali mungkin mereka takut saya down. ‘Mbak enggak apa-apa kan? Enggak apa-apa? Semangat ya Mbak’.
Ada juga yang minta maaf, ‘Mbak saya sudah jaga di TPS sini, Mbak. Mohon maaf kalau di TPS kami kurang bagus hasilnya’. Padahal kita sama sekali enggak bayar, enggak apa. Betul-betul relawan, itu betul-betul simpatisan yang care banget sama PSI.
Banyak yang WhatsApp dari dapil, minta maaf, mereka sudah berusaha sebaik mungkin tapi belum berhasil mengantar PSI ke parlemen. Itu terharu, tahu enggak. Banyak yang seperti itu, jadi saya semangati mereka balik.
Politisi PSI, Dini Shanti Purwono. Foto: Iqbal Maulana/kumparan
Jangan khawatir, kita akan tetap melanjutkan perjuangan ini begitu. Ke depan, kita akan perkuat kaderisasi. Mereka antusias langsung semuanya, ‘Ayo Mbak, kita siap-siap untuk 2024’.
Apa yang Anda lakukan agar konstituen yang sudah memilih tidak kecewa?
Di WhatsApp grup kita tetap diskusi. Sudah ada beberapa wacana program yang akan kita lakukan. Kalau untuk DPRD kan jelas ya, kita sudah harus siap-siap masuk dalam menyusun program, aplikasi solidaritas harus jalan, untuk DPR RI kita tetap pantau kinerja parlemen pemerintah dari luar.
Kita kan sudah punya orang-orang yang mempercayakan suara mereka ke kita. Jadi meski kita di luar parlemen, kita harus tetap bisa memantau, bagaimana sh kebijakan parlemen pemerintah dan eksekusinya. Kita juga tetap harus menampung aspirasi masyarakat, menjembatani begitu.
Yang jelas, kaderisasi ya untuk lima tahun ke depan. Terus nanti ada program fundraising. Jadi kita sudah move on langsung, enggak pakai sujud syukur yang gitu-gitu. Kita enggak denial, jadi langsung terima kalau kita enggak tembus 4 persen.
Kita langsung bikin program ke depan untuk persiapan 2024, kita enggak mau mengecewakan orang-orang. Orang bilang, jangan berhenti, yang namanya perjuangan ya enggak cuma sekali, kita harus coba lagi.
Anda cukup sering menjadi narasumber di televisi khususnya dalam acara debat politik antar tokoh. Banyak yang menyukai gaya Anda, apa resepnya?
Kalau ditanya, setiap kali dipanggil media untuk jadi narsum debat, itu deg-degan, bukannya enggak deg-degan. Orang-orang pikir enggak, padahal deg-degan, rasanya kayak mau ujian akhir semester. Rasanya, aduh gimana ini kalau enggak kejawab, gitu kan. Kalau tiba-tiba jawabannya bodoh atau nge-blank.
Tapi ya pastinya, setiap panggilan itu pertama kali pasti gentar juga. Tapi kan harus dihadapi juga. Persiapan pasti, tapi ya mungkin juga ada kebantu karena background saya hukum, selama ini kan mungkin sudah biasa juga ketemu counterpart atau lawyer dari pihak lawan untuk negosiasi, berargumentasi. Itu juga membantu sih dalam saya memformulasi pokok-pokok pemikiran.
Kalau misal kita belum punya data, ya yang pasti harus koordinasi dengan direkturnya TKN ya, direktur konten. Mesti memastikan jawaban kita itu sinkron, terutama yang berkaitan dengan debat capres.
Paling senang debat lawan siapa?
Maksudnya BPN ya? Semuanya seruh sih. Tapi waktu terakhir sama Mas Ferry Juliantono Gerindra, itu oke. Orangnya memang fair, dalam arti kalau diskusi sama dia, kalau kita emang oke, kita benar, dia akan dengan gentleman, dengan sportif, akan bilang ya saya setuju dengan PSI itu.
Kalau sama yang lain sebenarnya kalau dari 02 itu kan mereka kompak banget. Mereka satu suara dan memang kalau saya dengar mereka memang sudah benar-benar kerja keras juga. Mereka selalu kayak bikin belajar kelompok, semua jubir-jubirnya diskusi.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten