DPR akan Sahkan RUU Siber, Lebih Mengerikan dari UU ITE?

26 September 2019 15:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
com-Ilustrasi Kejahatan Siber Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
com-Ilustrasi Kejahatan Siber Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Pemerintah dan DPR sepakat untuk menunda pengesahan Revisi KUHP dan tiga RUU lainnya. Yakni, RUU Lembaga Permasyarakatan, RUU Minerba, dan RUU Pertanahan. Namun, rupanya masih ada satu lagi RUU yang dinilai sama bermasalahnya, yakni RUU KKS (Ketahanan dan Keamanan Siber).
ADVERTISEMENT
RUU KKS atau yang biasa disebut RUU Siber itu memang belum banyak dibicarakan media. RUU itu juga tak menjadi sorotan mahasiswa dalam aksi demonstrasi kemarin.
Berdasarkan draf yang diperoleh kumparan, RUU Siber memiliki 77 pasal di dalamnya. Terdiri dari 13 bab dan tebalnya mencapai 33 halaman.
Salah satu hal yang cukup kontroversial ada pada pasal 14f. Dalam pasal tersebut, disebutkan bahwa negara bisa memutus akses internet secara sepihak bila ada potensi ancaman siber.
Draft RUU Siber. Foto: Dok. Hukum Online
Persoalannya, definisi ancaman siber itu tidak benar-benar clear. Tak terlepas kemungkinan bahwa pasal tersebut dapat disalahgunakan untuk membungkam kritik.
Di Mesir pada 2011 lalu misalnya, Presiden Hosni Mubarak mengeluarkan kebijakan untuk mematikan seluruh akses internet masyarakat. Hosni berdalih, hal itu dilakukan untuk menciptakan stabilitas nasional.
ADVERTISEMENT
Pada saat itu rakyat Mesir memang tengah meminta Hosni turun. Itu karena, Hosni sudah memerintah secara diktator selama 30 tahun.
Kekhawatiran terhadap RUU Siber itu pun ini diamini oleh Southeast Asian Freedom of Expression Network (SAFENet). Apalagi, RUU itu terkesan dirampungkan secara buru-buru.
Ilustrasi keamanan siber. Foto: pixelcreatures via Pixabay
Melalui akun Twitter pribadinya, Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto, memberikan pandangannya tentang kejanggalan RUU yang akan mengatur Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dan lalu lintas internet.
"Jika RUU KKS disahkan hari Senin 30 September 2019 akan pecahkan rekor pembuatan UU tercepat di Indonesia. Lebih cepat dari UU KPK. Dibuat hanya dalam 5 hari!" tulis Damar seperti dikutip kumparan, Kamis (26/9).
Damar Juniarto. Foto: Prima Gerhard/kumparan
BSSN sendiri merupakan sebuah badan yang dibentuk melalui Perpres No. 53 Tahun 2017. Badan tersebut didirikan di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 19 Mei 2017. Badan ini merupakan transformasi dari Lembaga Sandi Negara, Direktorat Keamanan Informasi, Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika, Kementerian Komunikasi dan Informatika.
ADVERTISEMENT
Rencananya, BSSN akan berada secara langsung di bawah kendali presiden melalui RUU Siber. Dengan cara tersebut, sejumlah kementerian dan lembaga negara lainnya akan menjadi subordinat dari BSSN. Khususnya dalam isu yang terkait dengan persoalan keamanan di dunia maya.
Damar menilai, RUU yang diusulkan oleh Baleg (Badan Legislatif) DPR itu diajukan secara diam-diam. Menurutnya, Pansus DPR untuk RUU Siber itu baru dibentuk belum lama ini. Tepatnya pada 16 September lalu, dan hingga kini belum ada Rapat Umum Dengar Pendapat (RUDP).
“Belum sidang sama sekali sampai kemarin gara-gara demo. Apakah ini akan jadi dalam 5 hari?” tanyanya.
ADVERTISEMENT
Pernyataan Damar itu merujuk pada rancangan jadwal acara pembahasan RUU Siber dari DPR. Dalam rancangan itu, disebutkan bahwa pansus baru menggelar rapat pada 24-26 September 2019. Sementara agenda pengambilan keputusan akan dilaksanakan pada rapat paripurna 30 September 2019.
Damar Juniarto. Foto: Prima Gerhard/kumparan
Menurut Damar, ada empat poin yang bermasalah dalam RUU Siber. Pertama, RUU Siber mengancam privasi dan kebebasan bereskpresi; kedua, membatasi perkembangan teknologi; ketiga, menghalangi kapasitas individu dalam meningkatkan keamanan siber; keempat, minim partisipasi multistakholder.
“BSSN bisa melakukan deteksi atas lalu lintas internet. Ini sama saja dengan penyadapan massal, Bisa blokir, sensor semau hati, dan bisa bertindak mencabut akses internet,” ungkapnya.
Hal senada disampaikan Pakar Keamanan Siber Pratama Delian Persadha. Pratama bahkan menyebut pembahasan RUU Siber seperti Jin karena dibahas secara sembunyi-sembunyi.
ADVERTISEMENT
"Tiba-tiba muncul seperti mahluk jin, kita kaget karena prosesnya sangat cepat di DPR. Padahal banyak pasal-pasal yang perlu dibicarakan secara serius," kata Pratama seperti dikutip Antara, Selasa (24/9).
Ilustrasi main Twitter. Foto: Melly Meiliani/kumparan
Pratama menambahkan, keberadaan RUU itu akan membuat fungsi lembaga negara lainnya menjadi terganggu. Dalam pasal 14, kata dia, Badan Intelijen Negara (BIN) harus melapor pantauan siber kepada BSSN. Padahal, menurutnya, BIN hanya boleh melapor kepada presiden sesuai UU No 17 tentang Intelijen Negara.
Yang lebih berbahaya, lanjutnya, RUU Siber berpotensi mengganggu kebebasan akademik.
"Kalau kita belajar hacking walaupun untuk tujuan pendidikan bisa kena pidana kalau tidak lapor, ini kan membatasi ilmu pengetahuan," tambahnya.
Ilustrasi Hacker Foto: Thinkstock
Hal berbeda disampaikan Federasi Teknologi Informasi Indonesia (FTII). Ketua Umum FTII Andi Budimansyah menyebut organisasinya mendukung DPR untuk segera memproses RUU Siber. Itu karena, kata dia, regulasi yang mengatur keamanan siber sudah mendesak.
ADVERTISEMENT
"Kami memberikan apresiasi kepada DPR RI yang mengusulkan adanya regulasi mengenai keamanan dan ketahanan siber di Indonesia. Ini menunjukkan kepedulian DPR RI terhadap lembaga-lembaga yang terkait dengan siber," kata Andi.
Menurut Andi, FTII adalah federasi organisasi Indonesia yang dibentuk oleh masyarakat teknologi yang beranggotakan asosiasi yang berhubungan dengan teknologi informasi. Sejumlah asosiasi yang menjadi anggota FTII, kata dia, sangat membutuhkan regulasi yang mengatur soal keamanan dan ketahanan siber.
"Saat ini, Indonesia baru memiliki UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), tapi belum ada yang lebih mengatur keamanan dan ketahanan siber," katanya.
Ilustrasi keamanan siber. Foto: TheDigitalWay via Pixabay
Sementara itu, Anggota Panitia Khusus RUU Siber, Bobby Adhityo Rizaldi, tak menampik bahwa proses pembahasan RUU ini terbilang singkat. Hal itu lantaran kesibukan anggota DPR yang berasal dari partai-partai politik dalam menghadapi Pemilu 2019.
ADVERTISEMENT
"Baleg DPR RI kemudian membawanya ke rapat paripurna dan membentuk Pansus RUU KKS. Namun, waktu kerja yang dimiliki Pansus hanya tinggal sepekan," kata Bobby di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (24/9).
Politikus golkar, Bobby Adhityo. Foto: Dok. Golkarpedia
Politikus Partai Golkar ini menjelaskan, RUU Siber masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas pada 2018. Pihaknya pun kini tinggal menunggu pemerintah untuk segera menyerahkan Daftar Isian Masalah (DIM).
"Kami harapkan pada saat rapat dengan pemerintah, sekaligus DIM diserahkan kepada DPR RI sehingga RUU KKS dapat dilanjutkan untuk dibahas dengan DPR RI 2019-2024," katanya.