DPR Tak Berwenang Ubah Peraturan KPU Agar Koruptor Bisa Jadi Caleg

5 Juli 2018 17:47 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Diskusi ICW: PKPU Diundangkan, KPU Harus Siap Hadapi Gugatan Ke MA (Foto: Yuana Fatwalloh/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Diskusi ICW: PKPU Diundangkan, KPU Harus Siap Hadapi Gugatan Ke MA (Foto: Yuana Fatwalloh/kumparan)
ADVERTISEMENT
Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 yang mengatur tentang pelarangan mantan narapidana korupsi (koruptor) menjadi calon anggota legislatif resmi diundangkan Kementerian Hukum dan HAM. Meski demikian, PKPU ini tetap ditentang oleh DPR.
ADVERTISEMENT
Menanggapi hal ini, Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Negeri Jember, Bayu Dwi Anggono mengungkapkan KPU akan mendapat sejumlah serangan. Sehingga ia meminta KPU perlu waspada dan mengantisipasi serangan itu.
"Ada tiga serangan yang mungkin akan dihadapi PKPU ini. Yaitu serangan secara hukum, secara etik, dan secara politik," kata Bayu di Kantor ICW, Jakarta Selatan, Kamis (15/7).
Dari tiga serangan yang kemungkinan besar akan dihadapi KPU, Bayu menilai serangan secara politik akan jauh lebih berbahaya dibandingkan serangan secara hukum dan etik. Menurutnya, hal ini disebabkan adanya kepentingan parpol yang ingin meloloskan kadernya yang merupakan mantan narapidana korupsi.
"Justru yang paling menurut saya berbahaya adalah serangan politik, yaitu bertemunya kepentingan sebagian partai yang tidak dapat menerima PKPU ini, yang punya agenda ingin meloloskan kader-kadernya yang mantan terpidana. Kemudian bertemunya caleg-caleg pemodal yang mungkin dia juga punya keinginan tampil lagi di kancah perpolitikan kita, meskipun sebelumnya cacat integritas," paparnya.
ADVERTISEMENT
Hal itulah, menurut Bayu, yang membuat DPR mengundang KPU dalam rapat tertutup selama dua jam dan meminta KPU agar menerima pendaftaran koruptor sebagai caleg di masa pendaftaran pada 4-17 Juli ini. Meski memanggil sebuah lembaga untuk rapat merupakan kewenangan DPR, namun ia menilai hal itu salah kaprah.
"Itu kemudian bisa menggunakan hak-hak yang dimiliki DPR, seperti rapat konsultasi memanggil KPU. Menurut saya ini salah kaprah," tegasnya.
Meski muncul intervensi dari DPR, Bayu menegaskan PKPU sudah sah di mata hukum. Sehingga semua pihak wajib menjalankan aturan yang berlaku.
"Penyusunan PKPU ini telah melalui rapat konsultasi. Putusan MK telah menyatakan hasil rapat konsultasi tidak lagi mengikat. Apa wewenangnya DPR sehingga memaksakan KPU mengubah PKPU, padahal di situ merupakan kewenangan dari KPU?" ujarnya heran.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan putusan MK pada 10 Juli 2017, keputusan dalam rapat konsultasi KPU di komisi II DPR memang tidak bersifat mengikat. Dalam hal ini, komisi II DPR meminta agar koruptor tak dilarang menjadi caleg, namun KPU menolak dan tetap menerbitkan aturan tersebut.
Bayu menilai, KPU menjadi lemah dengan menerima pendaftaran koruptor sebagai caleg seperti yang diminta DPR. Ia juga menilai, hak angket terhadap PKPU yang diusulkan oleh DPR berlebihan, karena PKPU ini bersifat positif
"Justru hak angket itu kan dalam konteks penyelenggaraan pelaksanaan undang-undang atau kebijakan yang berdampak luas terhadap masyarakat. Padahal kan di sini berdampak positif," pungkasnya.