news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Dua Karya ‘Berebut’ Soeharto

25 Juni 2018 9:14 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Baliho Berkarya di Giwangan, Yogyakarta. (Foto: Dok, Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Baliho Berkarya di Giwangan, Yogyakarta. (Foto: Dok, Istimewa)
ADVERTISEMENT
Jelang Pemilu Legislatif 2014, di perempatan Giwangan, Yogyakarta, terpampang baliho besar yang menampilkan wajah Siti Hediati Hariyadi alias Titiek Soeharto, lengkap dengan potret sang ayah dan logo Partai Golkar. Tahun itu pertama kalinya anak keempat presiden kedua Indonesia itu bertarung memperebutkan kursi parlemen.
ADVERTISEMENT
Yogyakarta adalah pilihan yang tepat. Di sana, di tempat kelahiran ayahnya, ia punya nilai lebih: rasa sayang warga pada Soeharto dan Orde Baru. Tulisan-tulisan seperti “Putri Ngayogyakarta. Putrine Pak Harto” atau “Pak Harto OKE! Mbak Titiek YES!” senantiasa tercantum di berbagai media kampanye Titiek.
Strategi itu sukses. Titiek yang baru benar-benar terjun ke politik pada 2012 mampu mengalahkan Ketua DPD Golkar DIY Gandung Pardiman yang telah mewakili Golkar di DPR RI sejak 2009. Dengan perolehan 80 ribu suara, Titiek pun melenggang ke Senayan.
Kini di tempat yang sama, perempatan Giwangan, dengan tulisan ucapan Selamat Idul Fitri, wajah Titiek tak hanya didampingi potret senyum sang ayah tetapi juga wajah adiknya, Hutomo Mandala Putra. Meski sama-sama bernuansa kuning, logo partai bergambar pohon beringin itu bukanlah logo Golkar, melainkan Partai Berkarya milik sang adik.
ADVERTISEMENT
Maklum, sejak 11 Juni 2018 Titiek telah mengumumkan kepindahannya dari Golkar ke Partai Berkarya. “Saya adalah anak biologis Presiden Soeharto. Saya tidak bisa berdiam diri untuk tidak menyuarakan jeritan rakyat. Oleh karena itu saya memutuskan untuk KELUAR dari Partai Golkar dan memilih untuk memperjuangkan kepentingan rakyat melalui Partai BERKARYA.” Begitulah bunyi petikan rilis yang disebarkan Titiek.
Kepindahan Titiek ke Partai Berkarya ditanggapi berbeda oleh Golkar. “Kalau Mbak Titiek keluar ya itu pilihan dia. Kami hormati pilihan Mbak Titiek. Tapi buat kami sendiri, Golkar tidak terlalu terpengaruh (atas kepindahannya),” ujar Wakil Ketua Dewan Pakar Golkar sekaligus Wakil Ketua MPR, Mahyudin, kepada kumparan, Kamis (14/6).
Sementara menurut Wakil Ketua Badan Kajian Strategis dan Intelijen DPP Golkar Yorrys Raweyai, “Dia (Titiek) aset dan dia masuk dengan membawa kursi, bukan dapat limpahan kursi. Jadi aset dia ini harus kita pikirkan, dan ini kan akan melebar. Ada Priyo di situ (Berkarya) lagi.”
ADVERTISEMENT
Sebelum Titiek, politisi senior Golkar Priyo Budi Santoso memang lebih dulu pindah ke Berkarya, lalu menjabat sebagai sekretaris jenderal partai itu..
Banyak orang-orang Golkar di Berkarya. Dari Tommy Soeharto yang berulang kali gagal menjadi Ketua Umum Golkar, lalu pendirinya Badaruddin Andi Picunang yang telah 20 tahun menjadi kader Golkar, disusul kader muda Golkar yang juga mantu Mbak Tutut, Muhammad Ali Reza, yang menjadi Ketua Berkarya DKI Jakarta.
Titiek Soeharto pindak ke Partai Berkarya (Foto: Antarafoto/Andreas Fitri A.)
zoom-in-whitePerbesar
Titiek Soeharto pindak ke Partai Berkarya (Foto: Antarafoto/Andreas Fitri A.)
“Kami, anak muda yang merasa tidak puas dengan kebijakan-kebijakan partai saat itu, membuat kelompok untuk membuat partai baru, tapi tidak berarti sempalan Partai Golkar. Kami buatlah Partai Beringin Karya,” tutur Badaruddin saat ditemui kumparan, Selasa (12/6).
‘Kami’ yang dimaksud Badaruddin adalah para pencinta Pak Harto yang merindukan suasana Orde Baru. “Kita menunggu waktu aja, akan ada bedol desa dari Golkar, pecinta Pak Harto. Dengan adanya fenomena (kepindahan) Mbak Titiek, orang yang merasa tidak dibutuhkan lagi di Golkar pasti akan mengikuti jejak Mbak Titiek.”
ADVERTISEMENT
Bagi Mahyudin, gelombang kepindahan anggotanya adalah hal wajar. Partai yang selama 32 tahun menopang Orde Baru itu telah kenyang merasakan ditinggal pergi kader-kadernya sejak Reformasi.
'Anak-anak' Partai Beringin (Foto: Basith Subastian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
'Anak-anak' Partai Beringin (Foto: Basith Subastian/kumparan)
“Mereka kan cari kader, mungkin susah juga untuk jadi pengurus. Makanya cari (kader) yang established. Tinggal ‘menculiki’ yang di Golkar. Nggak dipakai (di Golkar) ya diambilin (Partai Berkarya),” ucap Mahyudin.
Sama-sama menggunakan kata ‘karya’, berlambang pohon beringin, disertai warna kuning, dan berisi keluarga Cendana, Berkarya menyatakan Pak Harto sebagai ikon utama mereka, dan nostalgia Orde Baru sebagai masa depan.
Badaruddin, begitu pula para pendiri Berkarya lainnya, yakin banyak masyarakat yang merindukan era kepemimpinan the smiling general Soeharto. Tak hanya melalui logo dan ikon, visi misi hingga program pun disesuaikan dengan kebijakan-kebijakan Orde Baru.
ADVERTISEMENT
“Ada sisi-sisi baik dari zaman Pak Harto yang bisa kami tawarkan sebagai solusi bangsa, yaitu Trilogi Pembangunan: pertahankan pertumbuhan ekonomi tinggi, pemerataan pembangunan, stabilitas keamanan mantap,” kata Priyo kepada kumparan.
Berkarya, meminjam istilah Badaruddin, akan benar-benar memperjuangkan pikiran-pikiran Pak Harto. Mereka yakin bisa merebut basis massa pemilih Golkar yang diklaim 24 persennya adalah pecinta Pak Harto.
Soeharto, Presiden ke-2 Indonesia. (Foto: John Gibson/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Soeharto, Presiden ke-2 Indonesia. (Foto: John Gibson/AFP)
Menjual ingatan akan Orde Baru bagi sebagian orang ibarat Lala mengenang Yudhis, kisah cintanya yang sepintas manis namun nyatanya penuh ancaman hingga kekerasan, dalam film Posesif. Golkar paham betul akan kondisi ini.
Setelah jatuhnya rezim Soeharto pada Mei 1998, seperti ditulis Retnowati Abdulgani dalam bukunya berjudul Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia’s Second President, Golkar memutus ikatan dan melimpahkan semua dosa Orde Baru kepada Soeharto seorang.
ADVERTISEMENT
Menurut Sarmudji, Wasekjen Partai Golkar, mereka tidak lagi menggunakan nama Pak Harto sebagai strategi utama karena tahu adanya resistensi dari masyarakat. Pernyataan serupa ditegaskan pula oleh Ace Hassan. “Kami sudah menjadi partai yang mandiri sejak era Reformasi. Jadi tidak tergantung pada figur atau trah seseorang.”
Meski begitu, survei Charta Politika pada 2014, Analisis Perilaku Pemilih di Pemilu Legislatif 2014: Pengaruh Kekuatan Tokoh dan Media, menunjukkan 32,8 persen dari 1.200 responden memilih Golkar karena partai itu dianggap mewakili semangat Orde Baru atau Soeharto.
Namun menurut Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya, hal itu tak berkorelasi positif dengan trah Cendana. “Yang dirindukan adalah keberhasilan zaman Orde Baru-nya [...] tidak memiliki kaitan langsung dengan darah dari Pak Harto.”
Kampanye Tutut jadi capres 2004 (Foto: AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Kampanye Tutut jadi capres 2004 (Foto: AFP)
Memang, beberapa eksperimen politik oleh keturunan langsung Pak Harto, berulang kali gagal. Misalnya, upaya Siti Hardijanti Rukmana alias Tutut yang pede mengajukan diri sebagai Calon Presiden pada Pemilu 2004.
ADVERTISEMENT
Melalui Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) yang dibikinnya bersama mantan KSAD Raden Hartono, Tutut berjuang merebut takhta. Sayang, PKPB hanya meraih dua kursi di perlemen lalu keok pada pemilu berikutnya di 2009.
Pengalaman pahit lain pernah dialami Tommy Soeharto. Sebelum menjadi Ketua Umum Partai Berkarya, ia telah dua kali mencoba peruntungan menjadi Ketua Umum Golkar yang berbuah kegagalan.
Pada 2009, tiga tahun setelah keluar dari penjara, Tommy mengajukan diri untuk maju bersaing dengan Aburizal Bakrie, Surya Paloh, dan Yuddy Chrisnandi. Tapi tak mendapat suara sama sekali.
“Dia (Tommy) mendaftar tapi tidak dapat dukungan kan. Jadi kosong,” tutur Yorrys Raweyai.
Dua tahun lalu, 2016, niatan itu kembali muncul. Nama Tommy muncul di bursa calon ketua umum Golkar. Namun batal karena ia dan Titiek akhirnya memilih mendukung Ade Komarudin--yang lalu mundur, mengalah dari Setya Novanto, di putaran kedua pertarungan kursi ketum.
ADVERTISEMENT
“Ada kesenjangan luar biasa antara ketokohan dan popularitas Pak Harto di masa lalu dengan dukungan politik yang dituai anak-anaknya Pak Harto. Jaraknya jauh sekali,” ujar Direktur Eksekutif Indo Barometer, Muhammad Qodari, soal rangkaian kegagalan politik yang dialami trah Cendana.
Tommy Soeharto Pangeran Cendana (Foto: Basith Subastian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tommy Soeharto Pangeran Cendana (Foto: Basith Subastian/kumparan)
Survei Indo Barometer pada Mei 2018 menunjukkan, banyak orang yang masih mempersepsikan Soeharto sebagai presiden paling berhasil di Indonesia. Penguasa Orde Baru itu memperoleh nilai tertinggi sebesar 32,9 persen mengungguli enam presiden lainnya, termasuk Sukarno dengan 21,3 persen di peringkat kedua, dan Joko Widodo di peringkat ketiga dengan 17,8 persen.
Tapi, Popularitas sang Bapak tak serta-merta turun pada anak-anaknya. Elektabilitas Tommy Soeharto di berbagai lembaga survei, mulai dari Indo Barometer (15-23 November 2017), Polmark Institute (13-25 November 2017), serta LSI Denny JA (28 April-5 Mei 2018) mentok di angka 0,1 persen.
ADVERTISEMENT
“Saya lihat penilaian masyarakat kepada Pak Harto itu tidak identik dengan anak-anaknya. Terutama dengan Tommy Soeharto. Mungkin ada (persoalan) kredibilitas,” ucap Qodari.
Poster Soeharto di jalanan (Foto: Anwar Mustafa/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Poster Soeharto di jalanan (Foto: Anwar Mustafa/AFP)
Nama Pak Harto memang masih menjadi selling point yang jelas. Hanya, Qodari meragukan Partai Berkarya memiliki perencanaan yang baik, mendetail, dan jelas dalam mengelola hingga merealisasikan potensi itu di lapangan.
“Partai Berkarya kalau di daerah geliatnya sangat tidak terasa dibandingkan dengan partai lain seperti Perindo,” ujarnya. Pembangunan kantor-kantor Partai Berkarya di daerah, iklan ataupun sosialisasi, serta sederet upaya lain untuk memperkenalkan partai milik Keluarga Cendana ini dinilai belum terlihat.
“Mas Tommy dan Keluarga Cendana mendirikan partai politik ini belum kelihatan fighting habis-habisan,” lanjut Qodari. “Saya kira sebagai partai baru, jangankan asosiasi dengan Pak Harto, orang tahu Berkarya saja belum tentu.”
ADVERTISEMENT
Belum lagi, menurut Qodari, “Pak Harto itu masih identik dengan Partai Golkar. Sehingga orang-orang yang rindu masa lalu Pak Harto itu larinya ke Golkar, bukan PKPB atau Partai Berkarya.”
Persoalan lain adalah adanya pergeseran demografi pemilih. Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Arya Fernandes menilai nama Soeharto, Orde Baru, dan trah Cendana sudah tak terlalu laku.
“Itu jualan lama yang hari ini tidak terlalu dianggap penting oleh pemilih kita. Karena pemilih kita mengalami perubahan (demografi). Perilaku mereka berubah. Konten-konten yang mereka sukai juga berubah,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Pangsa pasar penikmat Orde Baru yang relatif berusia tua, menurut Arya, sebagian besar telah dikuasai oleh Golkar dengan struktur dan jaringannya yang kuat mengakar. Sementara pasar yang berusia relatif muda justru resisten atau bahkan tak mengenal Orde Baru.
Tommy dan Titiek Soeharto (Foto: Romeo Gacad/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Tommy dan Titiek Soeharto (Foto: Romeo Gacad/AFP)
Tak heran jika kemudian Golkar tak perlu merasa khawatir atas kepindahan turunan Soeharto beserta para loyalisnya ke Partai Berkarya. Bagi Golkar, pengaruh keturunan Soeharto tak signifikan. Hal itu bisa dilihat dari perolehan suara hasil pemilu.
“Anak-anak presiden lain, misalnya, Puan dalam pemilu, bisa dapet (suara) di atas 200 ribu. Kemudian Ibas di atas 200 ribu. Mbak Titiek sendiri kan suaranya di bawah 100 ribu. Jadi (kepindahan Titiek) nggak signifikan saya kira,” papar Mahyudin.
ADVERTISEMENT
Perihal upaya Partai Berkarya untuk merebut basis massa pemilih Golkar, Mahyudin mengatakan, “Buktikan saja nanti di Pemilu 2019.”
------------------------
Ikuti terus manuver putra-putri Soeharto dalam rangkaian ulasan mendalam Cendana is Back di Liputan Khusus kumparan.