news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Duka Asmat Digempur Modernitas

22 Februari 2018 21:56 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Patrisius Ciko tak paham kenapa tubuh Maria, putrinya yang masih berumur 1 tahun, begitu kurus, tak sampai 7 kilogram--bobot normal anak seusianya. Saat itu, di depan aula RSUD Agats, Kabupaten Asmat, Papua, Maria tengah menyusu kepada ibunya, Gina Tosen.
ADVERTISEMENT
Tangan bocah kecil itu menyelinap keluar dari kain gendongan ibunya, dan segera digenggam Patrisius yang juga sibuk mengipasinya.
“Anak ini dari lahir tidak terbiasa susu ASI. Tapi juga tidak ada kesalahan pola makan,” ucap Patrisius sembari kemudian duduk bersila dan berbincang dengan kumparan di RSUD Agats, Kamis (8/2).
Pola makan yang dimaksud Patrisius itu ialah mengonsumsi sagu sebagai panganan utama masyarakat Asmat. “Sagu itu makanan pokok dari kami pu nenek moyang to,” ujarnya.
Pohon sagu yang banyak terdapat di hutan-hutan Papua memiliki aci atau pati yang dapat diolah menjadi bahan makanan. Sejak pagi, warga Asmat biasa pergi ke hutan untuk merawat sagu dan membabat pohon yang siap panen. Sementara anggota keuarga lainnya mencari ikan atau babi di hutan.
ADVERTISEMENT
“Jadi baru sore bisa pulang bawa sagu dan ikan,” kata Patrisius.
Namun, sagu dan ikan yang dibawa pulang itu tak seluruhnya untuk dikonsumsi sehari-hari, melainkan juga untuk dijual. Pada titik ini, Patrisius mengambil jalan hidup berbeda dengan generasi orang tuanya.
Alih-alih meneruskan nasib sebagai masyarakat peramu, orang-orang di generasi Patrisius memilih hidup dari menjual hasil alam.
Maka keluarga Patrisius, termasuk Maria putri kecilnya, tak setiap hari mengonsumsi sagu. Keluarga besar mereka, seperti juga kebanyakan orang di Distrik Sawaerma, Asmat, menyelingi menu tradisional mereka--sagu--dengan makanan lain hasil belanja.
Anak-anak di Kabupaten Asmat (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
Komoditas-komoditas “modern” mulai masuk ke Asmat dan diperdagangkan di sana pada periode 1990-an, seiring menggeliatnya pertukaran ekonomi di daerah itu, dan berdirinya toko-toko kelontong yang menjual sembako dan pakaian.
ADVERTISEMENT
Namun jauh sebelum itu, pada medio 1970-an, toko-toko semacam itu telah didirikan para pendatang di Asmat, meski tak sebanyak kini. Saat itu, masyarakat setempat mulai mengenal uang sebagai alat tukar yang didapat dari menjual patung dan sayuran.
Tawaran kehidupan yang lebih mudah--aktivitas produksi minimal dengan keuntungan maksimal--melecut warga Asmat untuk menebang lebih banyak kayu. Terlebih, muncul para penampung kayu gaharu yang mau membeli kayu dengan harga tinggi.
Itu semua sangat menggiurkan, dan membuat aktivitas masyarakat di hutan-hutan ikut berubah. Kayu jadi komoditas, tujuan utama untuk diburu, bukan lagi panganan.
“Perubahan pola hidup terjadi ketika ada usaha gaharu. Usaha gaharu juga mengakibatkan masyarakat membawa anaknya ke tempat gaharu,” tambah Norbertus Kamona, tokoh masyarakat Asmat, kepada kumparan.
Suasana di Asmat. (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
Perubahan kian cepat kala kapal barang pertama masuk Agats, ibu kota Asmat, pada Juli 1997. Kapal itu membawa berbagai barang dagangan, mulai makanan buatan pabrik, mainan anak, alat tulis, aksesoris perempuan, dan barang elektronik.
ADVERTISEMENT
Kedatangan kapal itu disambut meriah oleh penduduk setempat maupun para pendatang yang menetap di Asmat. Sebab, tak banyak kapal merapat ke sana. Bagaimana tidak, bila Laut Arafura yang menghubungkan Asmat dengan daerah-daerah lain begitu ganas. Nelayan setempat saja kerap takut dan tunduk pada gelombang perairan yang keganasnya merambat hingga ke sungai-sungai.
Arus masuk barang ini lantas menggeser pola konsumsi masyarakat, dari mengandalkan kekayaan hutan menjadi mengandalkan barang-barang di toko kelontong. Penduduk yang semula hidup tradisional dengan cara berburu dan meramu, mulai menjual hasil tangkapannya ke toko-toko. Selanjutnya, uang yang mereka dapat dari hasil penjualan itu digunakan untuk berbelanja di toko kelontong terdekat.
Itu pula sebabnya ketika kami berkunjung ke Distrik Siret, Rabu (7/2), tak tampak kesibukan masyarakat Asmat yang dikisahkan sebagai komunitas peramu. Banyak warga yang justru duduk-duduk di dermaga di siang bolong.
Suasana di Asmat. (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
Selain itu, keramaian juga terlihat di sejumlah toko kelontong di Kampung Yausakor. Tiga toko memiliki stok makanan dan minuman kemasan pabrik cukup lengkap. Mi instan, kopi sachet, minuman soda berkarbonat, sampai kornet sapi jadi produk laris yang dicari orang.
ADVERTISEMENT
Dari semua barang yang dijual, kopi dan mi instan jadi primadona penduduk setempat.
“Satu toko kelontong di kampung ini bisa jual setidaknya 10 kardus mi instan per bulan,” ujar penjual yang enggan menyebutkan namanya.
Perubahan pola konsumsi dari bahan pangan alami ke produk serbainstan ini pada akhirnya menjadi gaya hidup baru penduduk, termasuk mereka yang kemudian terkena gizi buruk.
“Itu makanya dahulu orang hidup sehat-sehat saja, karena kami punya ikan oke, udang besar-besar,” kata Norbertus Kamona.
Patrisius yang membawa anaknya, Maria, ke RSUD Agats karena gizi buruk, pun mengatakan putrinya itu selang-seling mengonsumsi antara sagu dan nasi plus mi instan.
ADVERTISEMENT
“Misal hari ini kami makan sagu sambil jualan, lalu uang (hasil jualan) besoknya digunakan untuk beli (makanan) di toko kelontong,” ujar Patrisius.
Produk instan yang ‘enak-enak’ ini rupanya benar-benar sudah merasuki masyarakat Asmat.
“Masyarakat kan pergi ke hutan mencari kayu gaharu dengan istri dan anak. Nah, yang disuplai ke tempat gaharu hanya beras, kopi, dan mi instan,” ujar Norbertus.
Anak-anak di Kabupaten Asmat (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
Antropolog UGM Laksmi Savitri mengatakan, perubahan lingkungan--baik di sekitar tempat tinggal maupun pola makan dan pola hidup--lumrah menjadi pangkal bencana di Papua.
Perubahan pola hidup misalnya ketika masyarakat lokal mulai mengenal sistem kerja upahan.
ADVERTISEMENT
Pola hidup modern dengan makanan yang serbainstan tak dibarengi informasi soal panganan pabrikan itu.
“Penduduk itu sedang dibentuk menjadi konsumen, bukan produsen. Kita memang tidak pernah dimudahkan untuk jadi produsen, tetapi selalu dimudahkan menjadi konsumen,” kritik Laksmi.
Peneliti yang menekuni studi etnografi Papua sejak 2010 itu lantas berbagi kisah miris yang pernah ia alami saat melakukan penelitian di Merauke.
Saat itu, seorang bayi berumur satu minggu diberi minum kopi kemasan. Sang bayi lalu diare, dan tiga hari kemudian meninggal. Jadi, masyarakat hanya tahu kopi instan enak, tanpa tahu dampak negatifnya, pun tak tahu bahwa tak semua usia bisa mengonsumsinya.
“Mungkin kita yang setiap hari terpapar dan mengonsumsi makanan instan, cerita itu rasanya tak masuk akal. ‘Kok bisa sih masih bayi diberi minum kopi sachet?’ Tapi bayangkan kalau barang itu baru pertama kali kita minum dan rasanya enak. Mungkin saja lalu kita berikan ke anak-anak,” jelas Laksmi.
ADVERTISEMENT
Gempuran makanan modern ini tak ayal mulai memunculkan penyakit baru yang kemudian membuat warga kelabakan. Padahal, sebelumnya masyarakat Papua terhitung tanggung terhadap serangan penyakit.
“Orang memiliki penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), tuberkulosis, atau HIV/AIDS--penyakit yang sebelumnya tidak pernah ada di wilayah itu,” ujar Laksmi.
Krisis kesehatan di Papua (Foto: Chandra Dyah Ayuningtyas/kumparan)
Awal tahun ini, Februari 2018, kejadian luar biasa (KLB) campak dinyatakan terjadi di Asmat. Sebanyak 651 anak terkena campak, 228 lainnya mengalami gizi buruk, dan 72 di antara mereka meninggal dunia antara September 2017 sampai Februari 2018.
Sungguh menyedihkan karena tragedi ini menimpa suku penakluk rimba dan rawa, dengan pahatan kayunya yang terkenal di seluruh dunia.
“Asmat, dengan daerah yang mereka tinggali di atas lumpur dan rawa, tentu sangat riskan dan berisiko tinggi,” kata Dokter Iqbal El Mubarak, relawan Ikatan Dokter Indonesia yang bertugas di Asmat saat berstatus KLB.
ADVERTISEMENT
Ia membenarkan, perubahan pola konsumsi dan kebersihan lingkungan pasti memiliki pengaruh. Pola konsumsi itu tentu saja termasuk godaan makanan instan yang kini perlahan menggeser makanan pokok yang sejak lama menjadi bagian kehidupan masyarakat Asmat.
“Warga Asmat dengan mudah menggemari makanan dan minuman kemasan yang dirasa lebih enak dan lebih mudah dibuat. Akhirnya pola lama seperti makan ikan, sagu, satu per satu ditinggalkan.”
Abdul Halik Malik, juga dari IDI, menyatakan krisis kesehatan di Asmat adalah puncak gunung es dari berbagai timbunan persoalan sosial. Semua itu, menurutnya, berawal dari transformasi kultural masyarakat.
Norbertus menekankan, untuk menangani semua itu, keterlibatan orang lokal mutlak diperlukan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat setempat.
“Kalau didatangkan tim ahli, mau dokter dengan berapa ribu gelar dari Amerika atau dari mana pun, ketika dia menyampaikan tentang pola hidup sehat, pasti tidak akan diterima masyarakat di sini,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Gizi buruk Asmat (Foto: Antara/M Agung Rajasa)
------------------------
Ikuti isu mendalam lain dengan mengikuti topik Ekspose di kumparan.