Duka dan Petaka Pabrik Kembang Api Kosambi

9 November 2017 15:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
“Sudah dikasih alamat (firasat) sebenernya. Selasa, dia nendang batal. Bantalnya kebakar di pojok kamar karena ada obat nyamuk. Terus kebangun jam satu (pagi), saya lihat ‘Apaan nih? Bau apaan nih?’ Itu kebakar bantalnya. Saya buang saja ke luar. Paginya dia bilang, ‘Untung ketahuan’. Kalau nggak ketahuan mah (sekeluarga) tiga-tiganya mati.”
ADVERTISEMENT
***
Hari masih pagi. Kamis manis. Anwar bersiap pergi kerja. Seperti biasa, sebelum menuju tempatnya bekerja, Anwar lebih dulu mengantar Arsiyah ke gudang PT. Panca Buana Cahaya. Di situlah istrinya bekerja. Hanya berjarak sekitar 300 meter dari rumah mereka.
Anwar dan Arsiyah memang sama-sama bekerja. Maklum, rumah mereka--yang dibangun bersama setahun terakhir--masih butuh pintu dan lantai keramik seperti keinginan Arsiyah. Jadi, keduanya tentu harus bekerja keras dan menabung untuk mewujudkan rumah impian.
Semua berjalan seperti biasa pagi itu. Kopi diseduh hangat, sarapan tersaji di meja. Semua disediakan oleh Arsiyah seperti hari-hari sebelumnya. Hanya satu yang berbeda: Arsiyah pergi setengah jam lebih awal dari biasanya.
Pukul 7.30 Arsiyah berangkat menuju gudang tempatnya bekerja satu bulan belakangan. Anwar sebetulnya agak heran, kenapa istrinya berangkat lebih pagi.
ADVERTISEMENT
“Saya lagi mandi, tumben dia duluan (pergi) kerja. Biasanya jam 8-10. Ini jam 7.30 udah berangkat,” kata Anwar kepada kumparan di rumahnya, Kosambi, Tangerang, Rabu (1/11).
Setelah Pabrik Petasan itu Meledak. (Foto: Prima Gerhard/kumparan)
Pukul 9.30. Gudang PT. Panca Buana Cahaya meledak. Api melahap tiap sudutnya. Ledakan tak hanya sekali, tapi tiga kali.
Sebanyak 49 nyawa pekerja melayang direnggut amuk api. Mereka hangus terpanggang. Termasuk Arsiyah.
Kosambi gempar. Petaka besar membuat kedok gudang yang berkobar itu terbongkar. Siapa sangka, pabrik yang selalu tertutup rapat itu ternyata tempat untuk membuat dan mengemas kembang api.
Kembang api--petasan yang menyemburkan pijar-pijar api di udara--yang biasa menyambut meriah tahun baru itu, tersulut dan meledak sebelum waktunya.
Anwar, suami Arsiyah korban Kosambi (Foto: Ridho Robby/kumparan)
Mimpi Anwar membangun rumah impian bersama Arsiyah pupus. Kopi hangat di Kamis pagi menjadi gelas terakhir yang disiapkan Arsiyah untuknya.
ADVERTISEMENT
Hingga dua pekan berlalu, lelaki 26 tahun itu seolah masih tak percaya 26 Oktober menjadi pertemuan terakhirnya dengan Arsiyah--sebelum maut memisahkan.
Seperti hidup Arsiyah yang berakhir di gudang, pertemuan Arsiyah dan Anwar pun terjadi di gudang. Mereka berjumpa di salah satu gudang Kompleks Pergudangan 99, tempat keduanya bekerja sebelumnya.
“(Kami bertemu) di pabrik. Jadi gudang saya dan gudang dia berseberangan,” kenang Anwar, sendu. Ia dan Arsiyah memang sudah lama bekerja di area Pergudangan 99.
Pertemuan di gudang berlanjut hingga terjalin ikatan untuk saling bersetia sebagai suami istri. Hingga ajal menjemput Arsiyah, lima tahun sudah ia dan Anwar hidup bersama. Mereka dianugerahi putri cilik bernama Indri.
Membentuk keluarga jelas bukan perkara mudah. Anwar dan Arsiyah mengerahkan segala daya upaya untuk mewujudkan mimpi mereka, mulai memiliki rumah sederhana hingga menyekolahkan Indri yang bercita-cita menjadi bidan.
ADVERTISEMENT
“Indri mau jadi apa kalau sudah besar nanti?”
“Mau jadi bidan!”
“Mau jadi Presiden nggak?”
“Nggak, maunya jadi bidan!” seru Indri keras, tegas.
Anak itu begitu polos dan ceria. Ia bermain dengan tiga orang teman sebayanya. Beberapa kali ia memanggil ayahnya di tengah perbincangan, mengajak sang ayah ikut bermain. Namun ketika Anwar balik mengajak Indri untuk ikut mengobrol bersama kami, tamu mereka, Indri tampak malu.
“Sebenarnya sih Indri belum tahu (ibunya meninggal), nanyain terus (ibu di mana). Ya nanti juga tahu sendirilah. Tadi pagi juga nanyain, mama nggak pulang-pulang. Saya bilang ‘Mama pulangnya ke surga, jangan ditanya lagi’,” ujar Anwar lirih.
Hingga Arsiyah dimakamkan, Indri tak tahu ibunya itu sudah tak lagi bersamanya. Dan Anwar tak tahu bagaimana harus menjawab dan menjelaskan gamblang pada putri empat tahunnya itu.
ADVERTISEMENT
Terlebih, jawaban yang harus ia berikan amat pahit, bahwa Arsiyah menjadi korban ledakan dan kobar api yang meluluhlantakkan seisi gudang PT. Panca Buana Cahaya.
Maka yang Indri tahu hanya: mama belum juga pulang.
Arsiyah korban Kosambi (Foto: Ridho Robby/kumparan)
Sorot mata Anwar sendu. Ia jarang mengangkat kepala sepanjang kami berbincang. Duka masih dalam menyengat batinnya. Tapi, Anwar mengatakan sesungguhnya sudah lebih tenang. Paling tidak, istrinya sudah dimakamkan.
“Seenggaknya sudah ketemu jenazahnya, sudah dimakamkan di TPU Belimbing,” timpal Zaih, ayah Arsiyah. Sama remuknya dengan Anwar, mata Zaih merah dan berkaca-kaca. Anak keduanya telah tiada.
Kedua lelaki itu diam sejenak, sebelum akhirnya sang ayah kembali angkat bicara. “Tidak ada yang tahu kalau itu pabrik kembang api. Gak akan diizinin (kerja) kalau tahu.”
ADVERTISEMENT
Keberadaan gudang PT. Panca Buana Cahaya memang menuai banyak tanya. Sebagian orang berujar, gudang itu pabrik plastik. Sebagian yang lain mengiranya pabrik cuci pasir. Yang jelas, tak ada yang betul-betul tahu bahwa pabrik itu telah beralih fungsi menjadi gudang petasan dua bulan belakangan.
“Kalau tau itu bahan peledak, siapa mau izinin anaknya kerja di sana?” ujar Zaih, geram.
Baik Zaih maupun Anwar tak pernah tahu Arsiyah kerja di pabrik kembang api dan petasan. Terlebih, Arsiyah baru sebulan bekerja di sana.
Anwar bercerita, tawaran pekerjaan itu awalnya datang dari salah seorang kawan. Arsiyah lantas tertarik, sebab di sana tak ada shift kerja malam--tak seperti pabrik tempat ia bekerja sebelumnya.
“Awalnya kerja di pabrik sendok. Terus ada teman yang ajak kerja (di tempat lain). Jadi pindah karena dia gak mau kerja malem. Maunya siang,” kata Anwar.
ADVERTISEMENT
Dengan penuh niat dan harapan baik, Anwar mengizinkan Arsiyah untuk bekerja di tempat baru itu. Walau sebetulnya, keraguan sempat muncul di benak Anwar. Sebab, ia tak boleh sekalipun melihat, bahkan sekadar menengok, ke dalam pabrik tempat istrinya bekerja.
Padahal, semasa bekerja di gudang sebelumnya, Anwar diperbolehkan masuk dan menengok Arsiyah saat istrinya itu bekerja.
Hingga akhirnya ia mengetahui kebenarannya ketika semua sudah terlambat. Ledakan pabrik itu terlanjur merenggut nyawa istrinya.
“Baru tau kalau itu (pabrik) kembang api saat kejadian. Saya masuk aja nggak boleh. Pengen tau posisi kerjanya di mana, takutnya bobol dari belakang, dari samping. Tapi ini gak boleh masuk. Sama sekali gak boleh masuk,” kata Anwar.
Namun Arsiyah jarang mengeluhkan pekerjaannya. Ini membuat keraguan Anwar berangsur reda. Ia meyakinkan diri, Arsiyah bekerja di tempat yang baik dan sesuai harapan.
ADVERTISEMENT
Sikap Arsiyah yang jarang mengeluh itu terus membekas di hati Anwar. “Tiap pagi bikinin kopi, sarapan. Selalu begitu. Sekarang udah kehilangan.”
Salah satu kebaikan hati Arsiyah yang melekat di ingatan Anwar ialah keinginannya membantu anak yatim piatu. “Dia pingin nyantunin anak yatim piatu,” ujar Anwar.
Sisa ledakan pabrik kembang api Kosambi (Foto: Prima Gerhard/kumparan )
Kepergian Arsiyah masih terasa seperti petir di siang bolong. Kalau saja boleh mengucapkan salam perpisahan, Anwar ingin meminta maaf atas segala kesalahan yang pernah ia perbuat.
Arsiyah kini sudah tiada. Anwar hanya bisa mendekap kenangan akan istrinya, lalu melanjutkan hidup dan membesarkan Indri, buah hati mereka.
Pun begitu, Anwar terus berharap pintu keadilan terbuka selebar-lebarnya untuk mengungkap kebenaran di balik ledakan pabrik kembang api tempat Arsiyah bekerja.
Tragedi Ledakan Pabrik Kembang Api Kosambi (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
ADVERTISEMENT