Eks Menko Ekuin Dorodjatun Kuntjoro-Jakti Akan Bersaksi di Sidang BLBI

12 Juli 2018 9:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dorodjatun Kuntjoro Jakti (Foto: Helmi Afandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Dorodjatun Kuntjoro Jakti (Foto: Helmi Afandi/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Penuntut umum KPK akan menghadirkan mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Menko Ekuin) Dorodjatun Kuntjoro-Jakti sebagai saksi dalam sidang lanjutan kasus korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI), Kamis (12/7).
ADVERTISEMENT
Mantan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu akan bersaksi untuk Syafruddin Arsyad Tumenggung, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yang duduk sebagai terdakwa, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
"Hari ini saksi ada dua orang. Mantan Menko Ekuin, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti dan mantan Deputi di BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional), M. Syahrial," ujar jaksa KPK Kiki Ahmad Yani saat dikonfirmasi melalui pesan singkat.
Syafruddin menjadi pihak yang menerbitkan SKL BLBI kepada bos Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim. Perbuatannya disebut merugikan keuangan negara hingga Rp 4,58 triliun.
Syafruddin Arsyad Temenggung kembali mengikuti sidang di Pengadilan Tipikor. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Syafruddin Arsyad Temenggung kembali mengikuti sidang di Pengadilan Tipikor. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Syafruddin didakwa melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM). Kedua perusahaan itu berada di bawah naungan Sjamsul Nursalim.
ADVERTISEMENT
Sedangkan Dorodjatun, menjadi pihak yang didakwa bersama-sama Syafruddin, Sjamsul Nursalim dan istri Sjamsul, Itjih S. Nursalim, dalam kasus tersebut.
Pada kesaksian sebelumnya, mantan Kepala Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) Kwik Kian Gie mengungkap adanya tiga kali rapat pembahasan untuk penerbitan SKL BLBI. Pertemuan pertama digelar di kediaman Megawati Soekarnoputri, yang menjabat Presiden Indonesia saat itu.
Sjamsul Nursalim. (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sjamsul Nursalim. (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
Menurut Kwik, dalam pertemuan itu, sejumlah pejabat negara turut hadir. Yakni, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, mantan Menteri Keuangan Boediono, mantan Menteri BUMN Laksamana Sukardi, dan Jaksa Agung MA Rahman. Kwik menjadi orang yang menentang pertemuan tersebut lantaran tidak digelar di Istana Negara, sehingga bukan rapat kabinet yang sah.
Menurut Kwik, pertemuan pertama itu, membahas tentang penerbitan SKL untuk para obligor yang kooperatif. Namun, Megawati akhirnya membatalkan kesepakatan itu dan memutuskan untuk membahas SKL BLBI di Istana Negara pada dua pertemuan berikutnya.
ADVERTISEMENT
"Bentuknya (kooperatif) ketika itu, obligor itu kalau dipanggil, datang, diajak bicara mau. Tetapi untuk saya, yang dinamakan kooperatif belum tentu menyelesaikan masalah, karena pengusaha itu yang bersangkutan obligor itu bisa pura-pura kooperatif," ujar Kwik, yang bersaksi untuk Syafruddin di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (5/7).
"Sifatnya kooperatif, tetapi de facto tidak pernah membayar. Menurut saya (kooperatif) ukurannya ada uang, adalah ada uang tunai yang masuk ke kas negara atau tidak," tegasnya.
Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) periode 1999/2000, Kwik Kian Gie di Pengadilan Tipikor, Jakarta. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) periode 1999/2000, Kwik Kian Gie di Pengadilan Tipikor, Jakarta. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Kasus ini bermula saat krisis yang melanda Indonesia pada 1998 mengakibatkan sejumlah bank membutuhkan kucuran dana. Untuk mengantisipasi kerugian, pemerintah mengeluarkan dana BLBI kepada sejumlah obligor, termasuk untuk BDNI.
BLBI memberikan bantuan kepada BDNI sebesar Rp 37 triliun. Bantuan itu terdiri dari fasilitas surat berharga pasar uang khusus, fasilitas saldo debet dan dana talangan valas. BDNI juga menerima dana BLBI sebesar Rp 5,4 triliun dalam periode setelah 29 Januari 1999 hingga 30 Juni 2001 berupa saldo debet dan bunga fasilitas saldo debet.
ADVERTISEMENT
Namun dalam kelanjutannya, BDNI diduga menyalahgunakan dana tersebut. BPPN, yang ditugaskan untuk kembali menyehatkan perbankan dan aset-aset bermasalah pascakrisis, menetapkan BDNI sebagai bank yang melakukan pelanggaran hukum. Namun, Syafruddin malah menerbitkan SKL untuk BDNI, padahal Sjamsul belum memenuhi syarat untuk mendapat SKL.
Atas perbuatannya, Syafruddin didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.