Eks Menlu Marty Natalegawa Kritisi ASEAN yang Kian Tak Dianggap

31 Agustus 2018 6:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mantan Menlu RI Marty Natalegawa dalam peluncuran bukunya, Kamis (30/8). (Foto: Denny Armandhanu/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Mantan Menlu RI Marty Natalegawa dalam peluncuran bukunya, Kamis (30/8). (Foto: Denny Armandhanu/kumparan)
ADVERTISEMENT
Mantan Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa mengkritisi ASEAN yang kian tidak dianggap dalam menghadapi berbagai masalah, bahkan di dalam Asia Tenggara sendiri. Menurut Marty negara-negara ASEAN harus kembali kompak satu suara agar perannya tetap signifikan dalam percaturan dunia.
ADVERTISEMENT
Berbicara dalam acara peluncuran buku yang ditulisnya "Does ASEAN Matter? A View from Within", di kantor Center for Strategic and International Studies, Jakarta, Kamis (30/8), Marty mengatakan salah satu contohnya adalah penanganan konflik di Rakhine, Myanmar, yang memakan korban warga Rohingya.
Dalam pembahasan soal hasil temuan tim pencari fakta PBB yang mengungkapkan pembantaian Rohingya di Myanmar, nama ASEAN sama sekali tidak disebut pada debat di Dewan Keamanan. Hal ini menunjukkan dunia tidak lagi berharap pada ASEAN untuk mengatasi konflik di dalam negara anggotanya sendiri.
"Dalam debat soal Myanmar di DK PBB, saya tidak melihat pernyataan soal ASEAN. Mereka mulai tidak mengindahkan kita lagi. Tidak lagi berharap pada kita," kata Marty pada acara yang dihadiri para dubes negara sahabat dan para mantan diplomat tersebut.
Buku karya Mantan Menlu RI Marty Natalegawa (Foto: Denny Armandhanu/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Buku karya Mantan Menlu RI Marty Natalegawa (Foto: Denny Armandhanu/kumparan)
Menurut diplomat berusia 55 tahun ini, ASEAN harus menyampaikan suaranya di DK PBB. Indonesia punya kesempatan untuk menggerakkannya ketika negara ini menjadi anggota tidak tetap DK PBB mulai tahun depan.
ADVERTISEMENT
"Saya khawatir saat ini kita (ASEAN) tidak dianggap," ujar Marty lagi.
ASEAN yang dibentuk 51 tahun lalu di Bangkok, Thailand, telah menelurkan banyak sekali kesepakatan yang menjadi instrumen untuk mengatasi berbagai permasalahan, meningkatkan kemajuan, hingga mempererat kerja sama. Salah satunya yang paling ambisius adalah masyarakat ekonomi ASEAN atau komunitas ASEAN.
Namun menurut Marty, instrumen-instrumen yang ada saat ini kurang dimanfaatkan sehingga negara-negara anggota tidak lagi menjadi ASEAN sebagai sebuah solusi.
"Perlu kepemimpinan dan keberanian untuk menggunakan instrumen itu, jika tidak maka tidak akan relevan lagi. Saat ini kita kurang percaya pada instrumen kita sendiri," ujar Marty yang kini menjabat anggota Dewan Penasihat Tingkat Tinggi untuk Mediasi Sekretaris Jenderal PBB.
ADVERTISEMENT
Hello and Goodbye Forum
Marty juga mengkritisi Forum Asia Timur (EAS) yang menurutnya hanya ajang yang mudah terlupakan, atau dalam kalimat yang digunakannya "hello and goodbye forum", para pemimpin datang, hadir, lalu berlalu.
Ajang tahunan yang digelar setiap bulan November setelah KTT ASEAN saat ini menurut Marty hanya pertemuan para pemimpin. Padahal beberapa bulan sebelum EAS, kata dia, bisa digunakan untuk pertemuan para perwakilan negara-negara anggota untuk merumuskan permasalahan yang akan dibahas di forum puncak.
"Kita punya hello and goodbye forum untuk EAS. Para pemimpin hanya bertemu dalam format EAS, tapi antara Januari dan Oktober adalah pertemuan untuk bekerja," tutur Marty.
Mantan Menlu RI Marty Natalegawa dalam peluncuran bukunya, Kamis (30/8). (Foto: Denny Armandhanu/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Mantan Menlu RI Marty Natalegawa dalam peluncuran bukunya, Kamis (30/8). (Foto: Denny Armandhanu/kumparan)
Seharusnya EAS bisa menjadi ajang menyelesaikan masalah para negara-negara peserta, ketimbang harus menyelesaikannya secara bilateral dan berkembang menjadi masalah yang besar. Permasalahan ini bisa dibahas dengan diadakannya pertemuan rutin para perwakilan negara selama berbulan-bulan sebelum EAS.
ADVERTISEMENT
"Seperti perang dagang, seharusnya bisa dicegah. EAS bisa digunakan, toh negara-negara yang terlibat ada di dalam sana. Sifatnya jangan hanya menunggu pertemuan formal saja," lanjut Marty.
Menurut Marty, ASEAN tidak bisa berdiam diri. ASEAN harus terus bergerak menyajikan ide seperti yang dulu pernah digagas. Belum terlambat, kata Marty, bagi ASEAN untuk muncul dengan visi bersama.
"Saya yakin jika ASEAN berdiam diri, seperti layaknya di atas treadmill, diam maka akan jatuh," kata Marty.
"Saat ASEAN diam, maka masalah ASEAN justru akan dimulai. Maka negara lain akan datang dengan ide mereka sendiri."