Era Baru Hubungan Indonesia-Malaysia di Bawah Kepemimpinan Mahathir

30 Juni 2018 6:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jokowi Sambut Kedatangan Mahathir Mohamad (Foto: Yudhistira Amran Saleh/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi Sambut Kedatangan Mahathir Mohamad (Foto: Yudhistira Amran Saleh/kumparan)
ADVERTISEMENT
Pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad ke Indonesia menjadi perhatian. Pertemuan itu diharapkan menjadi momentum perbaikan hubungan kedua negara, tapi ada pula yang pesimistis karena tak ada kerja sama yang dijalin di pertemuan pertama ini.
ADVERTISEMENT
Jokowi menyambut langsung Mahathir di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Kedatangan Mahathir ke Tanah Air merupakan yang pertema setelah dia dilantik sebagai Perdana Menteri pada Mei 2018.
“Kalau teman-teman ingat Raja Arab Saudi (saat datang ke Indonesia) Pak Presiden menjemput di airport, karena beliau pemimpin yang dituakan, senior,” ucap juru bicara Kementerian Luar Negeri, Arrmanatha Nasir di kantor Kemlu, Jalan Pejambon, Jakarta Pusat, Kamis, (28/6).
“Karena sudah senior, PM Malaysia sudah pernah juga jadi PM sebelumnya, sebagai penghormatan Pak Presiden dan kedekatan Pak Presiden Jokowi dengan beliau, maka beliau jemput (PM Mahathir) di airport,” sambung dia.
Pertemuan Jokowi dan Mahathir berlanjut di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat. Dalam pertemuan itu, Jokowi meminta langsung kepada Mahathir agar memperhatikan nasib dan keselamatan WNI yang bekerja di Negeri Jiran. Sampai 2017, jumlah WNI di Malaysia mencapai lebih dari 2,5 juta orang.
ADVERTISEMENT
"Kami tadi juga menitipkan untuk perlindungan bagi tenaga kerja Indonesia yang berada di Malaysia," kata Jokowi di Istana Bogor, Kompleks Istana Kepresidenan Jawa Barat, Jumat (29/6).
Selain itu, permasalahan lainnya juga jadi perbincangan keduanya, misalnya pembangunan sekolah Indonesia untuk TKI, korupsi, hingga isu mengenai Laut China Selatan. Tidak lupa, masalah ekonomi dan kelapa sawit juga menjadi pembahasan kedua pimpinan negara tersebut.
Untuk masalah kelapa sawit, hal itu dibahas demi menyatukan sikap Indonesia dan Malaysia dalam melawan kampanye negatif terhadap produk tersebut di Eropa.
"Yang jadi perhatian upaya kemitraan Indonesia dan Malaysia adalah akses pasar kelapa sawit dalam menghadapi blokade Uni Eropa, Indonesia dan Malaysia merupakan produsen kelapa sawit terbesar kesatu dan kedua di dunia," ucap juru bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir, Kamis (28/6).
ADVERTISEMENT
Sayangnya, dari pertemuan yang berlangsung selama 2,5 jam tersebut tidak ada perjanjian atau MoU yang ditandatangani keduanya. Padahal, lazimnya setiap lawatan kepala negara, ada perjanjian yang disepakati. Menanggapi hal itu, Menlu RI Retno Marsudi menjelaskan bahwa tujuan Mahathir ke Indonesia baru sekadar kunjungan perkenalan saja.
"Enggak (penandatanganan MoU). Karena ini sebenarnya satu lawatan perkenalan. Yang kedua, karena ini leaders, they set a vision. Visionnya apa ke depan kita mau begini," kata Retno Jumat (29/6).
"Makanya yang di-touch adalah isu-isu besar. Good governance, antikorupsi, perbatasan, kemudian TKI, sawit, dan sebagainya. Setelah ini kalau Menteri Luar Negeri (Malaysia) sudah dilantik maka saya akan segera duduk dengan Menlunya," lanjut dia.
Kunjungan Mahathir ke Indonesia dianggap oleh Guru Besar Hukum International Universitas Indonesia Hikmahanto NM Juwana bisa membuat hubungan Indonesia dan Malaysia semakin baik. Menurut Hikmahanto, Mahathir menunjukkan sikap positifnya yang akan melindungi nasib WNI yang ada di Malaysia.
ADVERTISEMENT
“Menurut saya sih semakin positif karena kehadiran Pak Mahathir, walaupun beliau politisi senior tapi setelah terpilih melakukan kunjungan ke Indonesia untuk memperkenalkan diri,” kata Hikmahanto saat dihubungi kumparan, Jumat, (29/6).
“Apalagi Pak Mahathir juga bilang bahwa akan diperhatikan anak-anak para TKI yang ada di Malaysia. Jadi menurut saya akan positif ke depan,” lanjutnya.
Hikmahanto mengakui, sampai saat ini hubungan Indonesia dan Malaysia masih naik turun. Untuk itu, ia berharap pertemuan itu bisa berdampak positif bagi kedua negara.
“Jadi, ya bertetangga ya seperti itu naik turun. Jadi kalau misalnya yang sekarang itu jadi di-refresh lagilah hubungan antarnegara. Kebetulan Pak Mahathir kan jadi pemimpin baru di Malaysia,” ujar Hikmahanto.
Joint Press Statement Jokowi-Mahathir. (Foto: Yudhistira Amran Saleh/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Joint Press Statement Jokowi-Mahathir. (Foto: Yudhistira Amran Saleh/kumparan)
Pandangan berbeda disampaikan Kajur Hubungan International Unsoed M. Yamin. Dia menilai, kunjungan Mahathir ke Indonesia tidak ada yang istimewa karena selama ini, setiap pemimpin di Asia Tenggara yang baru saja terpilih sudah biasa untuk mengunjungi negara tetangga terlebih dahulu.
ADVERTISEMENT
“Jadi siapapun yang terpilih mereka akan berkunjung ke Indonesia, siapapun Presidennya di Indonesia, itu sudah tradisi yang sudah terbangun sejak lama,” ujar Yamin.
Meski begitu, Yamin mengakui pertemuan Jokowi dan Mahathir bisa membuat pembangunan di Indonesia semakin baik. Sebab, kata Yamin, Jokowi bisa menjadikan kesempatan itu untuk mendapatkan pengalaman dari Mahathir selama membangun Malaysia di periode sebelumnya.
“Setahu saya adalah Jokowi jarang mengutarakan rasa pesimis terhadap segala sesuatu dan ditambah Mahathir ini kan dianggap oleh Jokowi sosok panutan ya. Keberhasilan membangun Malaysia dengan segala riaknya semenjak masa di Malaysia tahun 60-an itu. Nah itu kan menjadi pembelajaran buat Jokowi bagaimana kemudian bangsa Melayu dibawa berlari kencang gitu,” terang Yamin.
ADVERTISEMENT
Yamin meyakini, terpilihnya Mahathir dan kunjungannya ke Indonesia belum bisa menjamin tidak terulangnya permasalahan kebudayaan dan wilayah dari kedua negara. Sebab menurutnya sebagai tetangga, Indonesia dan Malaysia memiliki budaya yang tidak jauh berbeda. Sehingga Yamin berani menegaskan permasalahan itu masih bisa terjadi.
“Itu pasti akan tetap terulang klaim-klaim seperti itu karena irisan budaya kita ini kan sama ya. Irisan budaya kita seringkali diklaim itu karena kesamaan budaya,” tutur Yamin.
Terlepas dari semua hal itu, Yamin tetap mengapresiasi pertemuan kedua kepala negara tersebut. Yamin menganggap pertemuan itu bisa menjadi tanda kerja sama yang baik antara Indonesia dan Malaysia akan terjadi.
“Jokowi tipikal orang yang tidak ingin berkonflik tapi tegas dalam menegaskan sesuatu. Misalnya, seperti ketika kita melihat kasus Natuna, ketika Tiongkok mengklaim Natuna adalah bagian dari sejarah mereka juga, Jokowi kan tidak mengeluarkan statemen resmi tapi cukup berkunjung ke Natuna gitu. Nah sinyal-sinyal seperti itu yang ingin ditunjukkan sebenarnya oleh Jokowi (saat bertemu Mahathir),” ungkapnya.
ADVERTISEMENT