Eros Djarot: Kalau Seni Harus Mengabdi pada Kekuasaan, Negara Fasis

11 Februari 2019 11:41 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT

“Negara yang demokratis selalu memberi ruang kebebasan berekspresi. Sementara negara yang fasis dan otoritarian, negara ingin mengontrol semuanya, termasuk kesenian,” ujar Eros Djarot menanggapi polemik Rancangan Undang-Undang Permusikan.

ADVERTISEMENT
Bagi budayawan cum politisi ini, undang-undang seharusnya menjamin kreativitas para seniman terus berjalan tanpa hambatan-hambatan yang tidak perlu.
“Jadi negara itu ya sebenarnya bisa kalau mau mengatur bagaimana melestarikan kebudayaan. Tapi harus paham dulu mengenai budaya. Negara bisa memberikan arahan-arahan, bukan malah bikin undang-undang yang ‘ini harus pakai ini, ini harus pakai itu’ tapi pemahamannya nggak ada,” katanya ketika ditemui kumparan di kediamannya, kawasan Bintaro, Jumat (8/2).
Sejak Orde Baru, Eros menjadi saksi bagaimana kekuasaan kerap berupaya merepresi para musisi. Ia bercerita bagaimana pemerintah saat itu mengintervensi kebebasan berekspresi para seniman yang menyentil penguasa.
Maka ia harus pintar-pintar bersiasat saat membuat film semi dokumenter Kantata Takwa. Demi menjaga keutuhan karyanya, ia rela menunda 11 tahun filmnya sebelum bisa ditayangkan di bioskop.
ADVERTISEMENT
Komposer musik Badai Pasti Berlalu ini heran, mengapa di era demokrasi ini pemerintah masih saja mencoba mengintervensi seniman. “Sejarah sudah mencatat itu semua, masa mau begitu lagi?” ujar Eros.
Berikut petikan kisah Eros kepada kumparan.
Eros Djarot. Foto: Prabarini Kartika/kumparan
Bagaimana selama ini hubungan hubungan musisi, musik, dan negara?
Yang dilihat adalah hubungan negara dan seniman ya, bukan musik aja. Negara yang demokratis selalu memberi ruang untuk kebebasan berekspresi. Bagi negara yang fasis dan otoritarian, mereka akan mengarahkan semuanya dan kesenian harus menjadi bagian dari propaganda.
Makanya di negara-negara komunis itu ada yang namanya seni untuk revolusi, kalau di negara-negara liberal art for art, seni untuk seni. Jadi salah satu ciri negara yang demokratis itu memberi ruang ekspresi selebar mungkin kepada para senimannya, termasuk musik.
ADVERTISEMENT
Katanya Indonesia mau menuju ke arah sana demokratis dengan membuat undang-undang kan. Saya jadi bertanya urgensinya RUU Permusikan apa?
Undang-undang ini justru akan menjadi alat kontrol pemerintah. Apalagi kalau kita lihat beberapa pasalnya yang justru menunjukkan kemunduran (dalam kebebasan berekspresi). Jadi negara ini kok tiba-tiba membatasi ruang berekspresi ini—hal-hal yang kemudian dipertanyakan—ini sebenarnya mau apa ini?
Mau proteksi, siapa yang diproteksi? Apakah kepentingan birokrasi atau kepentingan kreatornya?
Kalau melihat pasal-pasal karet, pasal 5 itu misalnya, kalau mengikuti pasal karet itu lagu John Lennon yang berjudul Imagine itu akan dilarang.
Soekarno. Foto: Domain Public
Orde Lama juga pernah melarang lagu-lagu Barat…
ADVERTISEMENT
Zamannya Bung Karno kan Koes Plus dipenjara. Ya itu memang salah satu fase di mana kita bisa belajar. Tapi saya merasa pada saat itu bisa dan boleh saja, karena itu kan masa inkubasi.
Masa yang diperlukan untuk mengokohkan nasionalisme Indonesia. Ini nggak dipahami orang, mungkin karena tindakannya juga tidak disertai dengan penjelasan-penjelasan yang memadai.
Jadi negara itu sebenarnya bisa kalau mau mengatur bagaimana melestarikan kebudayaan. Tapi harus paham dulu mengenai budaya.
Negara bisa memberikan arahan-arahan, bukan malah bikin undang-undang yang ini harus pakai ini, ini harus pakai itu, tapi pemahamannya nggak ada.
Koes Plus. Foto: Koes Plus via Facebook
Orde Baru juga melakukan pelarangan terhadap musik tertentu? Bagaimana kondisinya?
Memasuki zaman Orde Baru itu musik berkembang, waktu itukan ekonomi liberal. Sayangnya pemerintahan Pak Harto itu tidak disertai dengan namanya culture policy.
ADVERTISEMENT
Kesenian-keseniannya itu ya liar dan bebas, dalam pengertian bebas tanpa arahan. Pengertian arahan di sini bukan kemudian pemerintah ikut campur ke dalamnya, tapi bagaimana sebetulnya seluruh kegiatan boleh saja asal jangan ganggu kekuasaan.
Jadi kalau tidak menyinggung kekuasaan bebas aja. Apa aja boleh, asal jangan mengutip Cendana, jangan mengutip kekuasaan, jangan mengutip Golkar, itu saja. Selebihnya boleh.
Mau menghantam PDIP, boleh. PPP, boleh. Asal jangan Golkar.
Contohnya, yang namanya Kantata Takwa itu dipendam sampai berapa tahun itu. Lagu Bongkar suruh diganti liriknya, sudah direkam tapi disuruh diganti liriknya. Bagaimana coba? Lirik kita robohkan setan yang mengangkang (lirik lagi Bongkar).
Konser Kantata Takwa. Foto: IMDB
Lalu bagaimana konser itu berhasil terlaksana pada 1990?
Ya kita bohongi. Kan harus jeli saat itu. Saat itu sudah mulai ada keretakan antara tentara yang pro dan kontra, di kepolisian juga begitu.
ADVERTISEMENT
Jadi kita ambil celah-celah itu, kita yakin 'ini nggak ada apa-apa nih' dikasih izin sama yang pro lah. Waktu itu karena (Setiawan) Djodi deket sama Cendana, saya juga dekat jadi (pemerintah), jadi nggak ada yang curiga.
Kita juga sudah sepakat, pokoknya sebelum konser nggak usah ngomong yang macem-macem. Kesenian aja, biar dia (aparat) nggak tahu.
Eh begitu lagunya dinyanyikan langsung deh. Setelah itu, Iwan Fals dilarang konser-konser di mana-mana. Banyak deh hal-hal yang saya lakukan juga nggak boleh begini nggak boleh begitu.
Itu konsekuensi yang harus kita dalami ya, seniman nggak boleh cengeng.
Sebetulnya Pak Harto di masa terakhir itu mau melakukan yang terbaik, tapi inilah kroni-kroninya, penjilat-penjilatnya itu overacting. Makanya dia malah termakan oleh kroni-kroninya sendiri yang masih melakukan hal yang nggak-nggak.
ADVERTISEMENT
Kami (seniman) sedikit-sedikit diberedel, akhirnya dia (Soeharto) diberedel sendiri. Sejarah yang mencatat itu semua, masa mau begitu lagi?
Iwan Fals tampil dalam konser di Tulungagung. Foto: Antara/Destyan Sujarwoko
Bagaimana kondisi industri musik setelah Reformasi?
Di zaman SBY, saya bikin film Lastri. Saya diberedel, dituduh menyebarkan ajaran komunis.
Jadi SBY jangan sok-sok bilang dia presiden yang pro-demokrasi. Saya sebagai salah satu korban waktu itu.
Karena saya paham bahwa negara saat itu sedang berkembang, saya nggak marah, saya diam saja. Hanya berkata, 'Oh segitu saja toh masa SBY’. Saya maafin dan tidak perlu diperpanjang, tapi (SBY) jangan bicara lagi soal demokrasi sama saya.
Menjadi pemimpin negara itukan membangun peradaban. Kalau peradaban yang militeristik, yang otoritarian, di mana kesenian harus mengabdi kepada kekuasaan, memperkuat cengkeraman kekuasaan ke seluruh lini kehidupan, berarti negara ini bukan lagi negara Pancasila, ini negara fasis.
Kala Negara Mengatur Musik Foto: Basith Subastian/kumparan
Jadi Pak Jokowi hati-hati ya. Rancangan Undang Undang Permusikan dilahirkan, dampaknya ke Pak Jokowi. Kalau pemerintah mengatakan ‘Ini RUU apa-apaan nih’, maka bergerak dan bertindak dong.
ADVERTISEMENT
Jadi hubungan negara sama seniman hubungan yang resiprokal, saling mendukung dan mendukung tanpa paksaan.
Satu mendukung supaya orang menjadi berakal sehat. Saya membuat lagu-lagu, film film kan yang berakal sehat, yang punya selera.
Negara ini sekarang sedang banyak tokoh-tokoh bikin film, itu kan aneh. Sedangkan saya tahu itu lebih banyak bohongnya ketimbang benarnya, ini kan pembodohan juga.
Kalau sudah seperti ini yang bisa melarang hanya pemerintah. Tapi kalau orang-orang mereka yang bohong bagaimana? Itu pembodohan, penipuan, pelecehan intelektual, juga penistaan peradaban.