Fahmi Darmawansyah Divonis Hukuman 2 Tahun 8 Bulan Penjara

24 Mei 2017 14:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Tuntutan Fahmi Darmawansyah (Foto: Wahyu Putro/Antara)
Direktur PT Merial Esa, Fahmi Darmawansyah, divonis hukuman 2 tahun 8 bulan penjara. Dia juga diwajibkan membayar denda Rp 150 juta subsidair 3 bulan kurungan.
ADVERTISEMENT
"Mengadili, menyatakan terdakwa Fahmi Darmawansyah telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi secara bersama dan berlanjut," ujar ketua majelis hakim Yohanes Priyana, saat membacakan putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (24/5).
Suami dari artis Inneke Koesherawati itu terbukti menyuap sejumlah pejabat Badan Keamanan Laut (Bakamla). Hal tersebut dilakukan agar salah satu anak perusahaannya, PT Melati Technofo Indonesia (MTI), memenangkan tender proyek monitoring satellite di Bakamla yang memakan anggaran sebesar Rp 222,43 miliar.
Vonis tersebut lebih rendah dibanding tuntutan jaksa sebelumnya, yakni hukuman 4 tahun penjara dengan denda Rp 200 juta subsidair 6 bulan kurungan.
ADVERTISEMENT
Majelis hakim menilai Fahmi terbukti menyuap Deputi Bidang Informasi, Hukum dan Kerja Sama Bakamla yang merangkap pelaksana tugas Seskretaris Utama dan Kuasa Pengguna Anggaran Bakamla, Eko Susilo Hadi. Uang itu juga dibagikan ke sejumlah pihak.
"Dengan total suap adalah 309.500 dolar Singapura, 88.500 dolar AS, 10 ribu euro, dan Rp 120 juta," ujar Yohanes.
Para penerima suap itu, adalah Direktur Data dan Informasi Bakamla merangkap Pejabat Pembuat Komitmen Bambang Udoyo sebesar 105 ribu dolar Singapura; Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla Nofel Hasan 104.500 dolar Singapura; dan Kasubag TU Sestama Bakamla Tri Nanda Wicaksono Rp 120 juta.
ADVERTISEMENT
"Pemberian uang kepada pejabat Bakamla dan pegawai negara diketahui oleh terdakwa dan dilakukan oleh Adami dan Hardy Stefanus. Penyerahan uang kepada saksi Eko dan pegawai lainnya yang mengandung unsur penyelenggara negara menurut majelis telah terpenuhi," kata Yohanes.
M Adami Okta (kiri) dan Hardi Stefanus (tengah) (Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)
Kasus Fahmi bermula saat politisi muda PDIP Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi menjadi narasumber bidang perencanaan anggaran Kepala Bakamla, Arie Soedewo, pada Maret 2016. Ali menemui Fahmi di kantornya dan menawarkan PT Merial Esa untuk 'bermain proyek' di Bakamla.
Jika bersedia, Fahmi harus memberikan fee sebesar 15 persen dari nilai pengadaan. Fee itu dibagi dalam dua tahap.
Transaksi pemberian uang pun dilakukan melalui anak buah Fahmi, yaitu Muhammad Adami Okta dan Hardy Stefanus--yang kini telah divonis 1,5 tahun penjara.
ADVERTISEMENT
Setelah melalui proses lelang, PT MTI akhirnya menjadi perusahaan yang lolos pada September 2016. Setelah itu, Adami mendatangi kantor Eko untuk memberikan fee 2 persen dari total 7,5 persen nilai proyek sebesar Rp 4,161 miliar.
Eko Susilo Hadi, Mantan Deputi Informasi Bakamla. (Foto: Antara/Wahyu Putro A)
Uang tersebutlah yang diterima Eko, dan dibagikan ke Bambang, Nofel dan Tri Nanda, yang diduga atas persetujuan Arie Soedewo.
Pertimbangan majelis hakim untuk merendahkan vonis Fahmi berdasarkan pada hal-hal tertentu, salah satunya adalah pemberian hibah tanah dari Inneke dan Fahmi untuk Bakamla di Semarang, Jawa Tengah.
"Terdakwa belum pernah dihukum dan bersama Inneke Koesherawati telah menghibahkan sebidang tanah untuk monitoring satellite kepada negara bahwa sebidang tanah itu untuk kepentingan bakamla di Semarang, Jawa Tengah," kata Hakim Yohanes.
ADVERTISEMENT
Inneke Koesherawati mendampingi Fahmi D. (Foto: Antara/Wahyu Putro A)
Perbuatan Fahmi terbukti melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf b UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal itu mengatur tentang hukuman bagi orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
Usai pembacaan putusan, Fahmi pun tidak memutuskan untuk banding. "Saya percaya sekali kepada keputusan yang mulia jadi saya terima apa yang telah diputuskan," ujar Fahmi.
ADVERTISEMENT