Fayakhun Akui Menerima Suap Terkait Penambahan Anggaran di Bakamla

7 November 2018 15:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Terdakwa kasus dugaan suap pengadaan satelit monitoring di Bakamla, Fayakhun Andriadi berjalan keluar seusai menjalani sidang di Tipikor. (Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)
zoom-in-whitePerbesar
Terdakwa kasus dugaan suap pengadaan satelit monitoring di Bakamla, Fayakhun Andriadi berjalan keluar seusai menjalani sidang di Tipikor. (Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)
ADVERTISEMENT
Anggota Komisi I DPR nonaktif Fayakhun Andriadi mengakui telah menerima sebesar USD 911.480 atau sekitar Rp 12 miliar dari Direktur PT Merial Esa Fahmi Darmawansyah melalui Erwin Arief selaku Direktur PT Rohde and Schwarz Indonesia.
ADVERTISEMENT
Uang itu diduga sebagai imbalan bagi Fayakhun karena telah mengupayakan penambahan anggaran untuk Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla) untuk proyek pengadaan satelit monitoring dan drone dalam APBN-P tahun 2016.
"Saya mengakui salah telah menerima uang bantuan uang dari Erwin Arief. Saya meminta maaf kepada semua pihak, menyesal dan berintropeksi diri. Sebagai seorang muslim, saya beristigfar dan memohon ampun kepada Allah SWT," kata Fayakhun saat membacakan pledoi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (7/11).
Politikus Partai Golkar itu kemudian meminta agar permohonan menjadi Justice Collabolator yang diajukan dapat dikabulkan, karena merasa selama proses penyidikan dan persidangan dia kooperatif.
Fayakhun juga meminta agar Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi Jakarta memberikan hukuman yang ringan terhadapnya. Sebab, dia mengaku akan berusaha mengembalikan uang yang diterima dan mengklaim bukan pelaku utama maupun inisiator dalam perkara ini.
Terdakwa kasus dugaan suap pengadaan satelit monitoring di Bakamla, Fayakhun Andriadi menjalani sidang tuntutan di pengadilan Tipikor. (Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)
zoom-in-whitePerbesar
Terdakwa kasus dugaan suap pengadaan satelit monitoring di Bakamla, Fayakhun Andriadi menjalani sidang tuntutan di pengadilan Tipikor. (Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)
Ia pun meminta agar KPK juga mengusut pihak-pihak lain yang diduga terlibat dalam kasus ini. Fayakhun menyebut tidak memiliki pengaruh yang besar dalam penambahan anggaran di Bakamla tahun 2016.
ADVERTISEMENT
"Saya mohon putusan yang seadil-adilnya sesuai dengan kesalahan yang saya lakukan. Mohon diberikan kepada saya kesempatan kedua untuk hidup sebagai orang baik dan menjadi warga negara yang baik," tuturnya.
Dalam kasus ini, Fayakhun dituntut 10 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsidair 6 bulan kurungan oleh jaksa penuntut umum KPK. Selain itu, jaksa juga menuntut pidana tambahan kepada Fayakhun berupa pencabutan hak politik selama lima tahun, setelah selesai menjalani pidana pokok.
Perkara ini berawal ketika pada April 2016, saat Fayakhun bertemu dengan narasumber Kepala Bakamla Ali Fahmi Habsyi dalam kunjungan anggota DPR ke Bakamla. Ketika itu, Ali Fahmi meminta Fayakhun untuk membantu menambah anggaran Bakamla. Dalam pembicaraan itu, Fayakhun dijanjikan akan diberikan fee 6 persen dari nilai anggaran proyek.
ADVERTISEMENT
Fayakhun juga dimintai bantuan oleh Erwin Arief selaku Direktur PT Rohde and Schwarz Indonesia untuk membantu mengupayakan proyek Satelit Monitoring agar dianggarkan. Erwin berjanji akan memberikan fee kepada Fayakhun. Erwin menyebut, Fahmi juga berjanji akan ikut memberikan fee kepada Fayakhun. Perusahaan Fahmi adalah agen untuk produk Rohde & Schwarz
Fayakhun Andriadi menjalani sidang pledoi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (7/11). (Foto:  Nugroho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Fayakhun Andriadi menjalani sidang pledoi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (7/11). (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
Permintaan keduanya disetujui oleh Fayakhun. Pada 29 April, Fayakhun memberitahu Fahmi bahwa rekannya di Komisi I DPR merespons baik pengajuan penambahan anggaran Rp 3 triliun untuk Bakamla, termasuk untuk anggaran satelit monitoring sebesar Rp 850 miliar.
Fayakhun kemudian meminta tambahan fee 1 persen kepada Fahmi dan Ali Fahmi. Sehingga total fee untuk Fayakhun menjadi 7 persen. Permintaan itu disetujui oleh Fahmi dan Ali Fahmi.
ADVERTISEMENT
Fayakhun disebut sempat menagih fee tersebut kepada Fahmi melalui Erwin Arief. Politikus Golkar itu mengancam tidak akan "mengawal" usulan alokasi tambahan anggaran bila fee tidak segera diberikan.
Pada Mei 2016, Fahmi melalui Muhamad Adami Okta dan Erwin meminta kepastian tambahan anggaran proyek untuk Bakamla menjadi Rp 1,220 triliun. Dengan rincian Rp 500 miliar untuk satelit monitoring, lalu Rp 720 miliar untuk drone.
Erwin juga menyampaikan kepada Fayakhun bahwa Fahmi akan segera memberikan fee 1 persen yang diminta oleh Fayakhun. Menurut perhitungan Erwin, fee 1 persen untuk Fayakhun dari total anggaran adalah USD 927.756 atau Rp 11,985,962,000 dengan kurs Rp 13.150.
Fayakhun meminta fee untuknya diberikan dalam dua tahap. Pada tanggal 4 Mei 2016, Fahmi mengirimkan uang sebesar USD 300 ribu ke dua rekening bank berbeda yang sudah diberikan Fayakhun sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Dua rekening bank itu ialah Zhejiang Hangzhou Yuhang Rural Commercial Bank company limited, China, atas nama Hangzhou Hangzhong Plastic co.ltd dan Guangzhou Rural Commercial Bank co.ltd.
Beberapa hari kemudian, Fayakhun kembali menagih sisa fee yang belum diberikan Fahmi. Fayakhun sempat mengirimkan pesan Whatsapp yang berbunyi "Petinggi sdh. Kurcaci bisa ngomel".
Pada 23 Mei 2016, Fahmi melalui anak buahnya mengirimkan uang USD 11 ribu ke rekening atas nama Omega Capital Aviation Limited di ABS AG Singapura dan sebesar USD 501.480 ke rekening atas nama Abu Djaja Bunjamin di OCBC Bank Singapura.
Total uang yang dikirimkan Fahmi untuk Fayahun adalah sebesar USD 911.480. Fayakhun kemudian mengambil secara tunai uang itu melalui Agus Gunawan dan Lie Ketty.
ADVERTISEMENT
Atas perbuatannya, Fayakhun dinilai terbukti melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.