Formappi Nilai Legislasi DPR Rendah, Hanya Sahkan 6 UU per Tahun

21 Desember 2018 15:31 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Direktur Eksekutif Formappi, I Made Leo Wiratma (Foto: Adhim Mugni/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Direktur Eksekutif Formappi, I Made Leo Wiratma (Foto: Adhim Mugni/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menilai kinerja legislasi DPR RI selama periode 2014-2019 masih rendah. Sebab, selama periode tersebut, rata-rata DPR hanya mampu mengesahkan enam undang-undang saja setiap tahunnya.
ADVERTISEMENT
Misalnya, pada tahun 2018, dari 50 rancangan Undang-Undang (RUU) prioritas, hanya lima saja yang menjadi Undang-Undang. Namun, menurut Direktur Eksekutif I Made Leo Wiratma, hal tersebut sedikit tertolong dengan hasil legislasi RUU Kumulatif Terbuka yang berjumlah 44.
"Total RUU yang disahkan DPR selama 4 tahun berjumlah 68 RUU dengan rincian 24 RUU Prioritas ditambah 44 RUU Kumulatif Terbuka," kata Made di Kantor Formappi, Jakarta Timur, Jumat (21/12).
Konferensi Pers Formappi terkait Evaluasi Kinerja DPR Masa Sidang I 2018/2019. (Foto: Darin Atiandina/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Konferensi Pers Formappi terkait Evaluasi Kinerja DPR Masa Sidang I 2018/2019. (Foto: Darin Atiandina/kumparan)
Namun demikian, Made masih menilai catatan tersebut menunjukkan kecenderungan produktivitas legislasi DPR yang semakin menurun. Ia menilai DPR masih belum paham arti kata prioritas dalam kerja legislasinya.
"Capaian rendah DPR dalam menghasilkan UU Prioritas membuktikan pengabaian makna istilah skala prioritas dalam UU tersebut," tambahnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Formappi menilai bahwa rendahnya hasil legislasi karena adanya pengulangan terhadap pembahasan RUU tertentu di setiap masa sidangnya. Mekanisme perpanjangan pembahasan RUU tersebut, dinilai membuka jalan bagi mandeknya penyelesaian RUU yang dibahas DPR bersama Pemerintah.
Rapat Paripurna DPR RI di Kompleks Parlemen. (Foto: Fahrian Saleh/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Rapat Paripurna DPR RI di Kompleks Parlemen. (Foto: Fahrian Saleh/kumparan)
"DPR nampak sangat menikmati mudahnya pembahasan RUU yang semestinya hanya dibatasi selama 3 kali masa sidang, tetapi di saat bersamaan mereka bisa mengabaikan batasan tersebut karena dimungkinkan oleh UU MD3 pasal 99," ujarnya.
Selain itu, dalam keputusan memperpanjang proses pembahasan tersebut tidak disertai dengan alasan yang jelas. Menurut Made, keputusan tersebut cenderung hanya dikarenakan persoalan waktu dan materi yang belum memungkinkan RUU tersebut dibahas.
"Formappi menemukan bahwa keputusan memperpanjang proses pembahasan RUU-RUU cenderung tidak konsisten. Ada RUU yang sudah diperpanjang pada masa sidang sebelumnya tetapi tidak diperpanjang lagi pada masa sidang berikutnya, lalu diperpanjang lagi pada masa sidang selanjutnya," ujarnya.
Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VI dengan Kementerian BUMN tentang utang BUMN. (Foto: Resya Firmansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VI dengan Kementerian BUMN tentang utang BUMN. (Foto: Resya Firmansyah/kumparan)
Salah satu contohnya adalah RUU larangan minuman beralkohol dibahas sebanyak dua kali masa sidang. Namun pembahasannya tidak konsisten di setiap masa sidang.
ADVERTISEMENT
RUU ini hanya dibahas pada masa sidang 4 tahun 2017-2018, namun masa sidang 5 tidak dibahas. Setelah itu kembali dibahas pada masa sidang ke 1 tahun 2018-2019, tapi masa sidang 2 tidak dibahas lagi.
"Beberapa RUU juga selalu mengalami perpanjangan bahkan melewati belasan masa sidang, selama beberapa tahun tetapi belum selesai juga dan belum jelas juga kapan akan selesai," pungkasnya.