Fritz Sumantri: Mencegah Stroke Bukan dengan DSA

9 April 2018 11:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Gerald Liew, pria berkewarganegaraan Singapura, adalah satu dari angka tak pasti dalam kasus gagal metode ‘cuci otak’ milik Dokter Terawan Agus Putranto.
ADVERTISEMENT
Meski terlihat sehat, Gerald didiagnosis berpotensi mengalami aneurisma (pembengkakan pembuluh darah) yang bisa memicu stroke hemoragik (stroke akibat pembuluh darah pecah) di masa depan. Untuk itu, ia disarankan menjalani metode pengobatan paling laris milik Terawan: ‘cuci otak’ atau brain flushing.
Selama 30 menit, Gerald menjalani metode cuci otak dengan harapan mencegah aneurisma yang mungkin menyerang 10 atau 30 tahun mendatang. Lebih baik mencegah daripada mengobati, begitulah moto banyak orang.
Tapi, hal janggal terjadi ketika Gerald selesai cuci otak di ruangan kaca tempat Terawan melakukan tindakan DSA (Digital Substraction Angiography)--alat yang digunakan Dokter Terawan dalam setiap metode ‘cuci otak’-nya.
Entah apa yang terjadi, Gerald harus masuk ruang operasi lagi dan menjalani pembedahan hingga tujuh jam lamanya. Keponakan Gerald, Sarah Diana; istrinya, Becky Liew; dan putra sulungnya, John Liew, sontak heran sekaligus cemas bukan main.
ADVERTISEMENT
Kepada keluarga, menurut Sarah, Terawan berkata, “Ini udah gak akan bisa ngomong, otaknya udah hancur, dia enggak akan bisa ngomong, dia akan lumpuh total, dia gak akan bisa jalan.”
Rupanya, koil yang dipasang meleset dan menghancurkan otak Gerald. Padahal, Terawan merasa koilnya sudah terpasang dengan benar, entah apa yang terjadi dengan koil itu.
“Tapi minggu depan saya akan ke konferensi di luar negeri. Jadi akan saya bawa kasus ini ke luar negeri,” begitulah penjelasan Terawan kepada keluarga Gerald, seperti dituturkan Sarah. Namun, tak lagi ada komunikasi setelah itu.
Sejuta tanya pun menyeruak di kepala Sarah. Apa yang salah? Apakah metode ‘cuci otak’ melalui tindakan DSA memang menggunakan koil? Perlukah tindakan tersebut?
ADVERTISEMENT
Terkait kasus ini, kami mencoba meminta keterangan langsung kepada Dokter Terawan. Namun karena jadwal Kepala RSPAD Gatot Soebroto itu padat, ia belum berhasil kami hubungi. Beberapa kali meneleponnya, asistenlah yang mengangkat telepon.
Meski begitu, usai pertemuan dengan Komisi I DPR di RSPAD, Rabu (4/4), dr. Terawan sempat mengatakan bahwa semua prosedur tentu memiliki risiko.
Tentu keterangan itu belum cukup menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berputar di benak. Maka untuk mendalami kasus ini, kami meminta penjelasan pakar dan menghubungi salah satu spesialis saraf terkemuka, dr. Fritz Sumantri Usman, Sp.S, FINS.
Kami lantas berbincang panjang, mulai dari kasus Gerald Liew hingga soal klaim ilmiah-tak ilmiah metode ‘cuci otak’ yang begitu terkenal, terutama di kalangan pejabat. Berikut obrolan lengkap kumparan bersama Dokter Fritz di RSUP Fatmawati, Jumat (6/4).
Gerald Liew saat cuci otak di RSPAD tahun 2015. (Foto: John Liew)
Terkait kasus Gerald Liew, apakah umum pemasangan koil pada tindakan DSA?
ADVERTISEMENT
Koil itu suatu kawat tipis yang digunakan untuk menyumbat kondisi yang kita sebut aneurisma atau pelebaran pembuluh darah. Nah aneurisma itu, kalau pecah, maka akan menyebabkan pendarahan di otak yang namanya pendarahan subarachnoid. Angka kematiannya sangat tinggi pada kondisi tersebut.
Supaya aneurismanya itu tidak pecah, kita sumbat dengan koil. Kira-kira seperti itu.
Pemasangan koil di otak Gerald Liew meleset. (Foto: John Liew)
Metode DSA itu tidak menggunakan koil. Jadi, metode DSA itu hanya untuk mendiagnosis. Caranya itu hanya dengan menggunakan kateter dan haperin, itu saja.
Kalau memang, misalnya dikatakan menggunakan koil, itu sudah bukan diagnosis lagi, tapi terapi. Di (bidang) intervensi saraf, biasanya penggunaan koil itu untuk kondisi-kondisi seperti pendarahan subarachnoid.
Nah, kalau misal ada pasien digunakan koil, itu berarti kasus stroke yang akan terjadi itu stroke pendarahan (stroke hemoragik, terjadi karena pembuluh darah di otak mengalami kebocoran atau pecah), bukan stroke penyempitan (stroke iskemik, terjadi karena aliran darah ke otak terhalang clot atau bekuan darah).
Dokter Spesialis Saraf, dr. Fritz Sumantri Usman (Foto: Dwi Herlambang-Prima Gerhard/kumparan)
Apakah pasien yang sehat itu bisa dan boleh dipasangi koil?
ADVERTISEMENT
Itu tindakan preventif. Koil itu hanya dipasang setelah aneurisma pecah. Kalau aneurisma itu belum pecah, beberapa penelitian yang sangat valid mengatakan (tindakan itu) tergantung besar aneurismanya, tergantung letak atau lokasi aneurismanya.
Kalau aneurismanya terletak di sirkulasi pembuluh darah belakang otak, itu lebih mudah pecah dibanding aneurismanya di pembuluh darah depan. Aneurisma besar lebih gampang pecah dibanding aneurisma kecil.
Jadi, misalnya sudah didiagnosis dengan DSA bisa ada aneurisma, kalau memang aneurismanya besar, pasien boleh dikasih pertimbangan untuk aneurismanya dikoil, selama dia tahu risiko kematian dan kecacatan yang mungkin timbul. Tetapi jurnal penelitian mengatakan bahwa tren saat ini, kalau (aneurisma) belum pecah sebaiknya jangan diapa-apakan.
Jadi kalau saat pemasangan koil terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, biasanya yang paling sering terjadi adalah aneurisma pecah, makanya ada stroke pendarahan, sehingga langkah-langkah yang harus ditempuh adalah ya selain mengatasi kondisi saat itu, harus melakukan CT Scan ulang.
ADVERTISEMENT
Kalau memang pendarahannya besar, kita harus memangil setidaknya spesialis neorologi atau bedah saraf--karena Dokter Terawan adalah radiolog.
Keluarga harus lebih dulu tahu risiko dari semua tindakan medis itu?
Harus itu, karena itu adalah bagian dari tanggung jawab kami sebagai tenaga profesional.
Metode cuci otak Dokter Terawan. (Foto: Basith Subastian/kumparan)
Metode ‘cuci otak’ Terawan menggunakan tindakan DSA dan heparin. Untuk apa heparin dan seperti apa DSA?
Kalau di bidang neurologi, heparin itu adalah suatu obat yang termasuk dalam antikoagulan. Antikoagulan itu untuk mencegah penyempitan atau penyumbatan darah. Tetapi kalau penyempitannya sudah terjadi atau penyumbatannya sudah terjadi, penggunaan antikoagulan tidak ada gunannya.
ADVERTISEMENT
Jadi, kalau misalnya kita ingin memberikan antikoagulan, itu biasanya diberikan pada saat kita memasukkan suatu benda ke dalam pembuluh darah seseorang.
Bisanya kasus-kasus seperti katerisasi otak, katerisasi jantung, atau kepada pasien-pasien yang cuci darah, nah itu biasanya dikasih heparin. Supaya pada saat memasukkan kateter atau selang, tidak ada reaksi tubuh yang menyebabkan penyempitan atau penyumbatan. Nah untuk itulah fungsi dari heparin.
DSA sendiri sudah ada dari tahun 1935. Yang pertama mengenalkan itu Egas Moniz di Portugal.
Beberapa eks pasien mengatakan, merasa lebih segar setelah tindakan DSA. Bagaimana?
Pada awal-awal setelah dilakukan DSA, karena efek heparin, karena efek cairan kontras yang masuk itu, memang timbul sensasi nyaman, sensasi pikiran lebih tenang, otak lebih terasa ringan. Memang sering kali ada beberapa perbaikan (motorik) juga.
ADVERTISEMENT
Bagaimana kalau DSA diterapkan pada pasien yang tidak sakit? Bisakah mencegah stroke?
Pertama, tidak ada gunanya. Kedua, DSA itu selalu ada risikonya. Bayangkan orang yang tidak sakit, orang yang sehat-sehat saja, dilakukan tindakan DSA dan sialnya pada saat itu terjadi hal yang tidak dinginkan, tentu bukan suatu tindakan yang bijaksana.
ADVERTISEMENT
Saya pernah melakukan DSA, dan tidak pernah bilang sama pasien saya, lakukan DSA-lah untuk mencegah stroke.
Di dunia kedokteran ada adagium, jangan menyakiti pasienmu. Tindakan DSA itu disuntikkan, dimasukkan kateter (‘disakiti’). Jadi kalau kita bisa melakukan sesuatu yang bertujuan hampir sama tanpa rasa sakit, ya lakukan itu dulu baru lakukan (tindakan lain).
Kalau misalnya kurang bermanfaat atau harus ada yang diselesaikan, diselidiki, baru lakukan DSA.
Sebelum DSA pun harus dilakukan banyak prosedur seperti MRI (Magnetic Resonance Imaging), MRA (Magnetic Resonance Angiography), CT Scan.
Nah setelah hasilnya ada, yang harus dilakukan, harus diinvestigasi lagi. Baru kalau perlu DSA, lakukan DSA. Jadi, tidak melakukan DSA di kesempatan pertama.
dr. Terawan menjelaskan hasil risetnya. (Foto: Amanaturrosiydah/kumparan)
DSA model apa yang dimodifikasi dr. Terawan?
ADVERTISEMENT
Itu juga yang saya ingin tanyakan: apa yang dimodifikasi? Kalau DSA biasa itu untuk diagnosis saja. Nah, kalau DSA yang dimodifikasi belum ada di guideline (kedokteran) mana pun di dunia.
Kemudian apa yang dimodifikasi? Cara pemberiannya? Jumlah heparinnya? Obat heparinnya yang diubah? Dipanaskan dulu atau diekstrak dulu? Itu yang saya tanya.
Sejawat-sejawat beliau sekalipun enggak ada yang tahu. Jadi saya enggak tahu. Hanya beliau saja yang tahu, yang katanya melakukan (tindakan DSA) menggunakan heparin yang dimodifikasi. Bentuk modifikasinya seperti apa, saya enggak tahu.
ADVERTISEMENT
Sanggahan untuk Dokter Terawan (Foto: Putri Sarah A./kumparan)
Pembuktian ilmiah dalam metode pengobatan kedokteran itu seperti apa?
Jadi, apabila seorang dokter memiliki inovasi akan suatu jenis obat atau prosedur, yang paling penting adalah dia harus melakukan uji coba terhadap obat-obat tersebut. Uji coba di dunia kedokteran itu sangat ketat. Syaratnya sangat ketat.
Salah satunya adalah harus ada kontrolnya, kemudian harus tidak melanggar kode etik. Kemudian uji kontrolnya bertingkat-tingkat. Itu harus dilakukan semuanya.
Setelah itu dilakukan semuanya, ada lagi fase-fase lain sampai metodenya itu betul-betul kita terima sebagai suatu metode yang valid. Di antaranya, harus ada penelitian multicenter, melibatkan banyak orang untuk melakukan penelitian itu.
Nah setelah data klinisnya menunjukkan hasil yang signifikan, perbaikan, kemudian setelah disepakati, baru boleh dipraktikkan atau disiarkan bahwa sudah ditemukan metode terapi yang baru.
ADVERTISEMENT
Tetapi selama prosedur itu belum dilakukan, berarti terapi tersebut belum divalidasi, belum sah. Apa artinya obat atau prosedur yang tidak valid atau belum teruji? Berarti tidak hanya efektivitasnya, tapi yang penting adalah keamanannya, belum terjamin.
Satu lagi, selama penelitian tersebut, selama prosedur tersebut, selama uji klinis tersebut, pasien-pasien yang ‘dipakai’ untuk uji penelitian tidak boleh membayar, bahkan harus diasuransi apabila terjadi hal yang tidak diinginkan akibat prosedur tersebut.
(Aturan) tentang uji klinis itu ada di UU kedokteran, dan di seluruh belahan dunia mana pun di dunia kedokteran, semua orang tahu kalau memang uji klinisnya seperti itu.
ADVERTISEMENT
Jadi tidak bisa hanya dengan disertasi?
Tidak, belum. Disertasi untuk program doktoral. Dengan segala hormat saya, memang semua harus dilakukan step by step. Tapi sekali lagi, itu taste, selera kedokteran. Beberapa orang bilang mungkin cara ini cukup, tapi banyak orang bilang cara ini belum cukup.
Kalau hasil penelitian itu sudah didisertasi melalui sidang ilmiah, bukan berarti dia langsung valid. Selama ada orang bisa menunjukkan, “Oh ternyata penelitian Anda enggak valid, ternyata bahan yang dipakai untuk penelitian enggak bener, ternyata hasilnya salah, desain penelitiannya enggak seperti ini.” Mohon maaf, itu enggak ada gunanya.
ADVERTISEMENT
Kalau ada metode yang disebut bisa menyembuhkan tapi tidak melalui pembuktian ilmiah, bagaimana?
Harusnya dibuktikan dulu. Harus melewati pembuktian dulu.
Jadi, ini sama kayak mobil. Supaya kita yakin mobil kita aman, meskipun itu mobil sport atau apa, ada tes-tesnya. Bahkan ada tes mobil ditabrakkan. Supaya kita bisa lihat, apakah airbag-nya berkembang dengan sempurna, apakah tingkat keamanannya bagus.
Nah kalau kita lihat, itu memang seperti buang-buang mobil. Tapi kenyamanan dan keamanan yang kita gantungkan pada mobil tersebut jauh lebih tinggi nilainya daripada harga mobil itu.
Demikian juga dengan obat. Jadi walaupun uji klinis itu biayanya besar, orang harus betul-betul aman saat melakukan (pengobatan) tersebut. Karena yang sudah lulus uji klinis saja selalu ada risiko untuk gagal, apalagi obat-obat dan terapi-terapi yang tidak melalui fase uji klinis. Kegagalan, ketidakamanan, dan efektivitasnya dipertanyakan.
ADVERTISEMENT
Tanggapan terkait putusan MKEK untuk memberi sanksi pemecatan terhadap Dokter Terawan?
Yang pasti MKEK IDI (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia) itu orang-orang yang penuh dengan integritas. Mereka tidak akan mengeluarkan suatu keputusan dengan terburu-buru. Mereka tidak akan mengeluarkan keputusan dengan sembrono. Nah, jadi kita lihat saja ke mana ke depannya.
Memang beberapa orang berharap akan ada penyelesainnya yang sebaik-baiknya. Tapi yang pasti, masalah sudah timbul. Publik sudah tahu harus kejelasannya. Apa yang terjadi sebenarnya, dan bagaimana MKEK dan IDI dan Dokter Terawan sama-sama menyelesaikan masalah.
Dokter Terawan. (Foto: Chandra Dyah Ayuningtyas/kumparan)
Senin (9/4), Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia menggelar konferensi pers terkait beredarnya surat rekomendasi pemecatan Mayjen TNI dr. Terawan Agus Putranto dari Majelis Kehormatan Etik Kedokteran IDI yang menuai pro-kontra di masyarakat. Dalam konpers tersebut, PB IDI mengumumkan penundaan pemecatan Terawan.
ADVERTISEMENT
“Dilaksanakan rapat Majelis Pimpinan Pusat tanggal 8 April 2018 yang dihadiri seluruh unsur pimpinan pusat. Rapat memutuskan menunda melaksanakan putusan MKEK karena keadaan tertentu. Oleh karena itu, ditegaskan Dokter Terawan masih berstatus sebagai anggota IDI,” kata Ketua Umum PB IDI Prof. Dr. Ilham Oetama Marsis.
Keputusan tersebut diambil setelah forum pembelaan terhadap dr. Terawan digelar pada 5 April, disusul rapat Majelis Pimpinan Pusat PB IDI pada 8 April. Selanjutnya, IDI merekomendasikan pengujian oleh tim Health Technology Assessment (HTA) Kementerian Kesehatan terkait metode terapi ‘cuci otak’ yang masih menjadi perdebatan di kalangan dokter.
“Tapi jangan lupa, yang perlu dipertanyakan apakah penemuan itu dapat diterapkan kepada masyarakat luas. Jadi ada tahapan (pembuktian bahwa) apa yang dilakukan itu bisa dilakukan pada masyarakat tanpa merugikan. Perlu ada standar untuk diberlakukan,” kata Ilham.
ADVERTISEMENT
------------------------
Ikuti terus perkara Geger Terawan di Liputan Khusus kumparan.