Galang Dana untuk Gelar S2 Oxford dan Pro Kontra yang Menyertainya

14 Mei 2019 16:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kay Jessica galang dana untuk Gelar S2 Oxford di Kitabisa. Foto: Dok. Kitabisa
zoom-in-whitePerbesar
Kay Jessica galang dana untuk Gelar S2 Oxford di Kitabisa. Foto: Dok. Kitabisa
ADVERTISEMENT
Media sosial ramai dengan pro kontra penggalangan dana untuk raih gelar di Universitas Oxford. Itu karena ada mahasiswi S2 jurusan Hukum Internasional Universitas Oxford asal Indonesia bernama Kay Jessica melakukan crowdfunding di platform kitabisa.
ADVERTISEMENT
Penggalangan dana itu ditargetkan sekitar Rp 178 juta yang dimulai sejak 6 Mei 2019 lalu. Hingga Selasa (14/5), Kay sudah mengakhiri penggalangan dana tersebut dan mampu mengumpulkan Rp 181.734.969, melebihi jumlah yang ditargetkan.
Usaha Kay melaksanakan penggalangan dana punya latar belakang panjang. Semuanya bermula dari cita-citanya untuk bekerja di Organisasi atau Pengadilan Internasional. Itu sebabnya, sedari kuliah S1, ia memilih masuk Fakultas Hukum di UGM.
Di UGM, Kay aktif di sejumlah kompetisi peradilan semu internasional seperti International Maritime Law Arbitration Moot di Hongkong hingga International Criminal Court (ICC) Moot di Den Haag. Pengalaman yang diperoleh itu makin memantapkannya mendalami Hukum Pidana Internasional dan Hukum Humaniter Internasional (Hukum Perang).
Kay lulus tahun 2016. Universitas Oxford jadi tujuan selanjutnya untuk melanjutkan studi dan menggapai cita-citanya. Singkat cerita ia diterima pada 16 Maret 2017 di universitas impiannya tersebut. Namun, rencananya untuk berkuliah menggunakan beasiswa LPDP kandas karena masalah waktu.
Penggalangan Dana Kay untuk Gelar S2 Oxford di Kitabisa. Foto: Dok. Kitabisa
“LPDP mengumumkan bahwa seleksi Periode Februari 2017 untuk Program Master yang mulai September 2017 ditiadakan. Hal ini dikarenakan LPDP yang pada saat itu berniat untuk mereformasi manajemen dan proses seleksinya,” cerita Kay dalam penggalangan dananya di situs Kitabisa seperti dikutip kumparan, Selasa (14/5).
ADVERTISEMENT
Kay mengaku tak mampu mendanai kuliahnya secara pribadi. Apalagi, ayahnya sudah berhenti bekerja dan keluarganya mengalami masalah kompleks. Penundaan studi ke tahun berikutnya agar bisa daftar LPDP juga tak bisa dilakukan karena kampus tak memberi izin.
Mengetahui keadaan Kay yang sulit secara finansial, Oxford memberi keringanan potongan biaya kuliah dan pembayaran dengan 3 kali cicilan. Kesempatan ini, menurut Kay, tak akan datang dua kali. Setelah berdiskusi dengan keluarga, ia pun melenggang ke Oxford dengan pembiayaan keluarga untuk cicilan pertama.
Seiring berjalannya waktu, tenggat cicilan untuk dibayar pun kian dekat. Pihak kampus pun menyarankan suspensi kalau biaya kuliah tak kunjung bisa dipenuhi. Masalah keluarga Kay juga makin pelik, dari mulai hubungan yang terpecah belah hingga ujian bagi ayahnya yang terkena kanker paru-paru stadium akhir.
Ilustrasi Oxford University. Foto: AFP
“Tidak memiliki pilihan lain pada saat itu, saya mengajukan suspensi studi ke college saya, dengan hati yang berat. Sebagai catatan, suspensi hanya dapat dilakukan satu kali (untuk satu tahun),” terang Kay.
ADVERTISEMENT
Kay sudah melakukan usaha yang ia bisa untuk kembali ke kampus melunasi cicilan biaya kuliahnya. Yakni dengan mencari pinjaman bank dan saudara, mencari beasiswa, sampai harus bekerja paruh waktu. Tapi tak ada yang membuahkan hasil.
Oleh karenanya, menurut Kay, penggalangan dana ini adalah langkah terakhir untuk meraih gelarnya. Meskipun, kemudian langkahnya ini menuai pro kontra terutama di media sosial.
Di antara mereka yang pro membela bahwa apa yang dilakukan Kay merupakan hal yang wajar. Adapun mereka yang kontra melihat bahwa keputusan Kay untuk kuliah S2 di Oxford tidak memiliki urgensi atau dampak terhadap cita-citanya di masa depan. Berikut di antaranya:
Pro
Kontra
Untuk mengetahui dinamika seputar kuliah luar negeri sebagaimana yang dialami Kay dan bagaimana sebaiknya menyikapinya, kumparan telah mewawancarai dua mahasiswa S2 asal Indonesia yang masing-masing berkuliah di Inggris dan Thailand.
ADVERTISEMENT
Salah satu yang menyayangkan langkah Kay yakni Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Dunia, Fadjar Mulya. Menurutnya, setiap sarjana yang ingin studi S2 di luar negeri harus mengantisipasi keadaan finansial dan risiko yang akan dihadapi sebelum berangkat ke kampus tujuan.
“Kalau kita mau sekolah kita harus siap secara finansial dulu, entah itu lewat beasiswa ataupun dana pribadi. Aku menyarankan untuk teman-teman Indonesia yang pengin studi di luar negeri: nekat boleh, tapi rasional,” kata Fadjar kepada kumparan, Senin (14/5).
Namun begitu, pria yang kini menempuh studi Departemen Kimia Chulalongkorn University, Thailand ini tak bisa berkomentar atas musibah yang dialami Kay. Ia pun merasa iba kalau keluarganya mengalami musibah dan ayahnya mengalami sakit kanker.
ADVERTISEMENT
“Aku pikir boleh saja ketika mencari crowdfunding di Kitabisa.com karena alasan ayahnya sakit. Kay mungkin berpikir kalau diawal dia sudah siap secara pendanaan dari keluarganya, namanya musibah kita kan enggak tahu datangnya. Semoga ayahnya Kay segera sehat dan selamat juga untuk Kay karena gerakan donasinya sudah terkumpul," terangnya.
Kuliah lagi? Why not banget! Foto: Istimewa
Fadjar menyarankan agar para sarjana tidak perlu memaksakan untuk studi S2 kalau tidak siap. Sebab, menurutnya studi S2 bukanlah sesuatu yang wajib.
“Jadi kalau terlalu memaksakan itu juga kurang baik juga, ada banyak hal yang bisa dilakukan dari crowdfunding misalnya kita bisa nyekolahin anak-anak yang berasal dari keluarga pra sejahtera, banyak juga teman-teman yang enggak bisa kuliah gara-gara belum dapat Bidikmisi atau putus sekolah karena masalah finansial,” terangnya.
ADVERTISEMENT
Komentar lain datang dari mahasiswa Indonesia yang kuliah S2 di Inggris Raya yakni Angga Fauzan. Mahasiswa jurusan Design and Digital Media, The University of Edinburgh, ini tak semata-mata menyalahkan penggalangan dana yang dilakukan Kay.
Angga pun sempat memiliki pengalaman serupa layaknya Kay. Dia pernah sempat diterima di Universitas Edinburgh tahun 2017 lalu, tetapi cowok kelahiran Boyolali dalam posisi belum mendapat beasiswa LPDP. Ia lantas memilih mendaftar lagi ke kampus tahun depan sambil mendaftar LPDP.
“Untuk (LPDP) kuliah di 2018 alhamdulillah lolos untuk keberangkatan 2018. Akhirnya, aku daftar lagi ke Universitas Edinburgh, dengan bilang bahwa sebelumnya sudah daftar dan sekarang sudah dapat beasiswa. Kutunjukkin juga bukti lolos LPDP-nya,” katanya kepada kumparan (14/5).
ADVERTISEMENT
Dari pengalamannya tersebut, Angga menyarankan bagi mereka yang hendak melanjutkan S2 tapi belum mampu secara finansial atau belum ada beasiswa agar sabar menunggu tahun depan. Di waktu menunggu itu bisa dimanfaatkan untuk mendaftar beasiswa.
“Kalau memang mampu (biaya sendiri) ya silakan. Tapi kalau dirasa belum mampu dan kampusnya enggak bisa defer (menunda kuliah), ya apply dulu beasiswanya sembari bilang bahwa sudah pernah diterima di kampusnya. Saat beasiswanya sudah dapat, apply lagi ke kampusnya sembari bilang kalau sudah punya beasiswa,” katanya.
Dengan begitu, menurut Angga, dari pihak pemberi beasiswa dan pihak kampus merasa teryakinkan akan kualifikasi sang calon mahasiswa.
“Kalau mengomentari yang dilakukan sama si Kay mah, itu hak dia. Orang mau donasi silakan, mau menyalurkan ke pihak lain juga silakan. Selamat aja buat Kay yang dananya sudah kekumpul dan bisa kuliah lagi. Semoga lancar, dan keluarganya diberi kesehatan,” pungkasnya.
ADVERTISEMENT
kumparan sudah menghubungi Kay untuk mendapat konfirmasi mengenai penggalangan dananya. Namun hingga berita ini dirilis, belum ada respons.