Gaung Era Baru China dan Ambisi Xi Jinping

20 Oktober 2017 9:21 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden China Xi Jinping (Foto: REUTERS/Damir Sagolj)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden China Xi Jinping (Foto: REUTERS/Damir Sagolj)
ADVERTISEMENT
Jika Presiden Amerika Serikat Donald Trump menggaungkan visi “Make America Great Again”, maka Negeri Tirai Bambu dengan populasi terbesar di dunia tak mau kalah dengan menggemakan visi “New Era of China” yang termuat dalam pidato Presiden Xi Jinping saat pembukaan Kongres Partai Komunis China ke-19, Rabu (18/10).
ADVERTISEMENT
Pidato panjang sekitar 3,5 jam di Great Hall of the People, Beijing, itu dihadiri sekitar 2.000 delegasi partai yang disaring dari seluruh penjuru negeri. Kongres itu merupakan agenda rutin Partai Komunis China yang digelar dua kali dalam tiap satu dekade atau lima tahun sekali.
Kongres yang masih akan berlangsung satu pekan ke depan itu memiliki satu tujuan penting bagi negara: memproyeksikan pemimpin China untuk masa jabatan lima tahun berikutnya.
Dalam sebuah negara dengan sistem satu partai, tak mengherankan bila agenda partai berarti juga agenda negara, dan seringkali--atau jika mungkin dikatakan selalu--berlaku vice versa alias kebalikannya.
Teddy Ng merangkum pidato panjang Xi ke dalam tujuh poin, seperti ditulisnya dalam South China Morning Post berjudul “7 Things You Need to Know About Xi Jinping’s Vision of a ‘New Era’ for China”.
ADVERTISEMENT
Pertama, sebuah frasa yang terdengar begitu prinsipil mengenai era baru China, yakni “socialism with Chinese characteristics for a new era”. Salah satu kunci membuka era baru China, menurut Xi, adalah dengan kepemimpinan partai dalam setiap aspek kehidupan masyarakat.
“Partai tegas menentang semua upaya yang akan melemahkan, mendistorsi, atau menolak pimpinan partai dan pelaksanaan sosialisme,” kata Xi dalam pidatonya. Xi juga menekankan, China mesti waspada dalam setiap upaya menyalin praktik demokrasi gaya barat.
Kedua, menjadi negara yang akan memimpin dan paling memengaruhi dunia pada 2050. Ketiga, mempertahankan momentum “yang tak dapat diubah”, yakni kampanye anti-korupsi dan supremasi hukum.
Xi berulang kali menekankan, partai maupun pemerintahan akan tetap tunduk di bawah hukum dan melalui pengawasan publik. Tidak ada satu orang pun yang mampu menempatkan diri di atas hukum, kata Xi. Juga tak ada toleransi atas perilaku korupsi. Sikap China selama di bawah Xi tegas terhadap pelaku korupsi: hukuman mati.
ADVERTISEMENT
Keempat, mempertahankan kedaulatan nasional. China saat ini, dalam pandangan Xi, telah membuat “terobosan historis” dalam reformasi pertahanan dan militer nasional. Kelima, menegakkan otoritas pemerintah pusat atas Daerah Administratif Khusus Hong Kong dan Makau, serta menentang kemerdekaan Taiwan.
Keenam, membuat sebuah kebijakan “lahan bermain” untuk investasi asing. Kendati mendaku sebagai negara dengan asas sosialisme, China akan semakin membuka dirinya bagi investasi bisnis multinasional. Xi menegaskan, "China yang telah terbuka tidak akan menutup, tapi akan terbuka lebih luas dan lebih luas.”
Ketujuh, melindungi kepentingan publik. Dalam hal ini yang dimaksudkan ialah memperkecil kesenjangan sosial, memperbanyak lapangan pekerjaan, dan memberikan kemudahan bagi penduduk untuk memiliki rumah sebagai properti mereka.
Kongres Partai Komunis China. (Foto: REUTERS/Aly Song)
zoom-in-whitePerbesar
Kongres Partai Komunis China. (Foto: REUTERS/Aly Song)
Xi dan Kongres Partai Komunis
ADVERTISEMENT
Berdasarkan tujuh poin ringkasan pidato Xi tersebut, secara umum pada dasarnya yang disampaikan sang presiden tak terdengar baru-baru amat dalam benak publik tentang China. Jantung dari semua poin itu ialah ambisi Xi untuk menjadikan China sebagai negara adidaya nomor wahid di dunia pada 2050, mendepak dominasi Amerika Serikat terhadap tatanan dunia global.
Tidak mengherankan muncul spekulasi bahwa Xi melalui pidatonya tersebut--dan secara lebih luas melalui Kongres--sebetulnya ingin meneguhkan posisi sebagai orang paling piawai dalam memimpin China saat ini. Dalam kalimat lain, seperti sudah banyak prediksi mengemuka bahwa kongres itu hanya semacam “deklarasi” atas kuatnya posisi Xi, dan peluang yang sudah terbuka lebar baginya untuk menjabat kembali sebagai Presiden China di periode kedua.
ADVERTISEMENT
Tom Phillips dan Benjamin Haas dalam artikel “China's Communist Party Congress – All You Need to Know” yang dimuat dalam The Guardian mengatakan, Xi tengah membangun kultus kepribadian untuk menjadi sosok berpengaruh bagi China dalam tempo jangka panjang--pengaruh yang tetap melekat meski kelak secara definitif ia tak lagi berada di pucuk kekuasaan.
Pada kenyataannya, bagaimanapun, tulis Phillips dan Haas, para ahli mengatakan Kongres tahun ini adalah tentang satu orang: Xi Jinping.
“Hal yang paling penting... adalah kemungkinan besar hanya untuk mengonfirmasi keunggulan Xi Jinping--hampir seperti penobatan,” kata Elizabeth Economy, direktur Studi Asia di Council of Foreign Relations.
Xi juga disebut sebagai pemimpin China yang paling dominan sejak Mao Zedong. Jeff Wasserstrom, seorang ahli China di University of California, ketika diminta untuk menyebut lima orang China yang paling berkuasa minggu ini menjawab: “Xi, Xi, Xi, Xi, dan Xi.”
Mao Zedong. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Mao Zedong. (Foto: Wikimedia Commons)
“Tidak ada kultus kepribadian yang nyata, misalnya, dan Xi belum memulai rencana ekonomi gila seperti Lompatan Jauh ke Depan. Tapi seperti Mao, Xi populer, karismatik, dan sangat percaya diri--ciri-ciri berbahaya dalam sistem tanpa checks and balances,” tulis Phillips dan Haas.
ADVERTISEMENT
Ambisi Xi tentang era baru China pun bukan hal baru jika mengingat keterkaitannya dengan gimik di awal jabatannya sebagai presiden pada 2012. November 2012, Xi yang saat itu baru terpilih sebagai presiden, mengajak para elite militer dan pemerintahan mengunjungi Museum Nasional China yang baru saja direnovasi, sebagaimana ditulis Ian Johnson dalam artikel “Xi Jinping and China’s New Era of Glory” di The New York Times.
Di museum itu, Xi berhenti pada bagian pameran bertema “The Road of Rejuvenation” untuk mengambil perhatian. Di sana, ia menceritakan bagaimana China dipandang rendah oleh negara-negara lain pada abad ke-19 dan 20. Namun sekarang, kata Xi, China tengah berada di jalan menuju kembali ke “kemuliaan”.
ADVERTISEMENT
Xi kala itu menyatakan mimpinya adalah menyelesaikan “tugas suci” tersebut. Dari sana Xi mengambil ilham atas bentuk pemerintahannya terhadap 1,3 miliar orang China. Suatu ambisi yang dikenal dengan peremajaan bangsa China dan “China’s Dream”.
Xi pantas percaya diri menjadi presiden untuk kedua kalinya. Salah satu alasan utamanya, menurut Ian, ialah karena Xi memiliki modal sejarah keluarga. Ayah Xi merupakan salah satu pendiri China, dan Xi tumbuh di dunia istimewa bangsawan komunis China. Itu memberinya modal sosial yang tak terbayangkan daripada kedua pendahulunya di China pasca Perang Dingin yang hanya berlatar orang biasa, Hu Jintao dan Jiang Zemin.
Menjalankan tugas suci berarti memastikan semua hal sesuai dengan garis lurus partai. Mungkin benar adanya bahwa kediktatoran tidak mungkin hidup tanpa manipulasi paling mungkin yang bisa dilakukan. Termasuk hari ketika Kongres berlangsung dengan sejumlah tindakan strategis yang memengaruhi kehidupan sehari-hari warga--tentu saja secara spesifik warga Beijing dan sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Pabrik baja dan pabrik lainnya di sekitar Beijing diperintahkan untuk memangkas waktu produksi mereka selama Kongres berlangsung. Semata-mata untuk memastikan bahwa Kongres berlangsung di bawah langit biru--walau tak seorang pun bisa dengan mudah menyangkal polusi udara di ibu kota China yang menghantui.
Agen-agen keamanan dikerahkan untuk memerintahkan para aktivis yang berpotensi bikin onar guna meninggalkan ibu kota selama Kongres berlangsung. Semua orang di seluruh negeri yang dianggap potensial mengganggu pemerintahan juga dibungkam. Keamanan di Beijing diperketat dengan membatalkan semua cuti polisi dan menyiagakan ribuan perwira dari seluruh wilayah.
Satu tindakan lagi yang tidak dilupakan rezim: memperketat sensor. Penyensor di China bekerja keras lebih dari biasanya selama Kongres. Surat kabar maupun media sosial tidak boleh menyampaikan lain selain apa yang digariskan oleh partai. Semua kisah mesti sesuai dengan kantor berita resmi negara, Xinhua.
Presiden China Xi Jinping (Foto: REUTERS/Jason Lee)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden China Xi Jinping (Foto: REUTERS/Jason Lee)
Ambisi Xi
ADVERTISEMENT
Cukup berbeda dengan Trump yang dengan ocehan menggebu-gebunya justru menimbulkan kesan omong kosong bagi banyak orang dan malah mendiskreditkan Amerika Serikat di mata internasional, Xi tidak main-main dengan komitmennya mengembalikan kejayaan China. Ia berhasil mencuri pandang mata negara-negara lain dan komunitas internasional.
Kebangkitan China yang terjungkal atas pembalikan kekuatan global oleh dunia Barat pada abad ke-19 sudah diramalkan oleh sejarawan Inggris John Hobson, seperti dikisahkakn Edward Luce dalam “The Changing of the Global Economic Guard” dalam The Atlantic. Hobson mengatakan, China telah melewati dengan cepat suatu periode ketergantungan pada ilmu pengetahuan dan modal finansial Barat.
China kemudian membangun kembali kemandirian ekonominya sendiri, mencari tahu sumber dayanya sendiri, dan mengasah keterampilan organisasi untuk industri mesin. Lalu dengan cepat menampilkan diri di pasar dunia sebagai pesaing terbesar dan paling efektif, dengan memulainya dari kawasan Asia dan Pasifik. Sampai akhirnya, China membanjiri pasar Barat dan mendorong mereka untuk menjalankan proteksi ketat sebagai reaksi terhadap ekspansi China.
ADVERTISEMENT
Graham Allison, seorang mantan sekretaris pertahanan AS untuk kebijakan dan perencanaan, mengatakan bahwa dalam waktu sebulan menjadi pemimpin China pada 2012, Xi menetapkan tenggat waktu untuk memenuhi “Two Centennial Goals”. Pertama, China akan membangun “masyarakat cukup makmur” dengan menggandakan pendapatan domestik bruto (PDB) per kapita pada 2010 menjadi 10.000 dolar AS di tahun 2021, saat merayakan peringatan 100 tahun Partai Komunis China.
Kedua, negara tersebut akan menjadi negara yang “sepenuhnya berkembang, kaya, dan kuat” dalam peringatan 100 tahun China pada 2049. IMF memperkirakan jika China berhasil menggapai dua misi tersebut, maka perekonomiannya akan tiga kali lipat lebih besar pada 2049 daripada yang dimiliki Amerika Serikat.
Lee Kuan Yew. (Foto: Reuters/Tim Chong)
zoom-in-whitePerbesar
Lee Kuan Yew. (Foto: Reuters/Tim Chong)
Bapak negara Singapura Lee Kuan Yew, sebelum kematiannya pada 2015, adalah pengamat utama China. Ia menggambarkan selama 40 tahun terakhir, “Ukuran perubahan China sedemikian rupa sehingga dunia harus menemukan keseimbangan baru. Tidak mungkin berpura-pura bahwa China hanya pemain besar lainnya. Ini (China) adalah pemain terbesar dalam sejarah dunia.”
ADVERTISEMENT
Lee meramalkan, jelas Allison dalam “What Xi Jinping Wants” dalam The Atlantic, abad ke-21 sebagai “kontes supremasi di Asia.” Dan saat Xi naik ke kursi kepresidenan pada 2012, Lee mengumumkan kepada dunia bahwa kompetisi ini semakin cepat. Di antara semua pengamat asing, Lee adalah orang pertama yang mengatakan, "Awasi pria (Xi Jinping) ini.”
Banyak pihak menilai, politisi dan pejabat di Washington masih berpura-pura bahwa China hanyalah pemain besar di antara yang lain. Namun, bagaimanapun Lee mengenal Xi dengan baik. Dan ia mengerti bahwa ambisi China yang melangit itu didorong oleh tekad yang gigih untuk merebut kembali kebesaran masa lalu.
Xi dan para ilmuwan China secara serius percaya bahwa China dapat menggantikan AS sebagai kekuatan utama di Asia. Ketika Allison mengajukan pertanyaan yang meragukan keyakinan itu kepada Lee dalam sebuah pertemuan sesaat sebelum kematian Lee, mata Lee terbuka lebar karena keheranan dengan pertanyaan itu.
ADVERTISEMENT
Seolah kepada Allison, Lee bertanya balik, “Apakah kamu bercanda?” Lee menjawab langsung, “Tentu saja. Kenapa tidak? Bagaimana mungkin mereka tidak bercita-cita menjadi nomor satu di Asia dan pada saatnya dunia?”
Tembok Besar China (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Tembok Besar China (Foto: Wikimedia Commons)
Inti dari tujuan nasional China, menurut Allison, adalah kepercayaan terhadap jalannya peradaban di mana China sebagai pusat alam semesta.
Dalam bahasa Tionghoa, kata untuk China (zhong guo) berarti “Kerajaan Tengah.” “Tengah" tidak mengacu pada ruang antara kerajaan-kerajaan saingan lainnya, tetapi untuk semua yang ada di antara langit dan bumi.
Lee mengatakan, ratusan pejabat China “mengingat sebuah dunia di mana China mendominasi dan negara-negara lain yang terkait dengan mereka akan berlaku sebagai pemohon atas China, sebagai pengikut yang datang ke Beijing untuk menerima penghargaan”.
ADVERTISEMENT
Allison berpendapat, pendorong utama untuk seluruh usaha dalam mewujudkan impian Xi tentang China adalah dengan melegitimasi kekuatan Partai Komunis China sebagai pelopor dan wali negara China. Tak lama setelah menjabat, ujar Allison, Xi mengatakan kepada rekan-rekannya di Politbiro bahwa “memenangkan atau kehilangan dukungan publik adalah masalah yang menyangkut kelangsungan hidup atau kepunahan Partai Komunis China”.
Selama tahun 1990-an ketika banyak intelektual Barat, salah satunya Francis Fukuyama, merayakan “akhir sejarah” dengan kemenangan nyata bagi demokrasi berbasis pasar, sejumlah pengamat percaya bahwa China juga berada di jalan menuju pemerintahan yang demokratis atau tersedot dalam “akhir sejarah” itu.
Namun, nyatanya perhitungan itu belum cukup kompatibel untuk memandang China saat ini. Menurut Allison, hanya sedikit penduduk China yang meyakini kebebasan politik lebih penting daripada merebut kembali reputasi internasional China dan kebanggaan nasional.
ADVERTISEMENT
Seperti dikatakan Lee dengan tegas, “Jika anda percaya bahwa akan terjadi revolusi di China untuk demokrasi, anda salah. Di mana pelajar-pelajar Tiananmen sekarang?” Lalu Lee mengatakan dengan terus terang, “Mereka tidak relevan. Rakyat China menginginkan China bangkit kembali.”
Chen Daoyin, seorang ilmuwan politik yang berbasis di Shanghai, yakin Kongres Partai Komunis China kali ini menandai dimulainya era ketiga politik China sejak Mao Zedong merebut kekuasaan dari kelompok nasionalis pada 1949.
Era pertama, menurut Daoyin seperti ditulis Tom Phillips dalam “Xi Jinping Heralds ‘New Era' of Chinese Power at Communist Party Congress” di The Guardian, adalah periode Mao berkuasa. Mao adalah seorang pembawa standar revolusioner yang membantu China menemukan kaki untuk berdiri. Lalu era kedua, datanglah Deng Xiaoping, sang pembaharu yang mendalangi ekonomi China yang terbuka.
ADVERTISEMENT
“Sekarang giliran Xi Jinping untuk mengantarkan... era Xi Jinping,” kata Daoyin.