Gaya Jetset Para Pengacara dan Kontroversinya

14 Desember 2017 12:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Saya kalau ke luar negeri, sekali pergi itu minimum spend Rp 3 M, Rp 5 M. Tas Hermes yang harganya Rp 1 M juga saya beli. Saya suka kemewahan.
ADVERTISEMENT
Ucapan di atas terlontar dari mulut Fredrich Yunadi saat diwawancara Najwa Shihab dalam episode “Setia Pengacara Setya” di Catatan Najwa, 24 November 2017. Tak pelak, Fredrich yang saat itu menjadi pengacara Setya Novanto dalam kasus megakorupsi e-KTP menjadi perbincangan di jagat maya, dengan tagar #SukaKemewahan wira-wiri di media sosial.
Pengacara Bicara tentang Kemewahan. (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
“Bagi saya, kalau mau melihat saya, saya seperti sama dengan pengacara top kan, Hotman Paris. Dia itu lebih dari saya, tapi saya juga tidak kalah dengan beliau. Apapun soal kemewahan, saya juga sama. Saya suka mewah,” imbuhnya.
Pengakuan “minimum spend 3 M, 5 M saat di luar negeri” juga membuat akun Instagram Fredrich, @yunadi, diintip netizen. Di dalamnya, Fredrich mengunggah beberapa foto saat ia berlibur bersama keluarga di Eropa hingga Australia.
ADVERTISEMENT
Ketika berjalan-jalan ke luar negeri, Fredrich memang royal. Guna memanjakan keluarga dan rombongannya, Fredrich mengaku menggunakan fasilitas nomor wahid alias first class. Untuk urusan hotel, ia mengklaim selalu memesan kamar dengan tipe bintang 5 dan presidential suite--kamar paling mewah dan mahal di hotel.
Oh, dan selain tas Hermes, Fredrich juga punya barang-barang mewah seperti motor Harley-Davidson dan busana Stefano Ricci. Bukan sekadar punya, tapi mengoleksi.
Mantan pengacara Budi Gunawan itu memiliki 4 motor Harley-Davidson, yang satu motornya rata-rata dibanderol seharga Rp 2 miliar. Sementara busana Stefano Ricci biasa dijual di pasaran dengan harga jutaan rupiah.
“Setiap orang ada hobi kan beda, masing-masing, seperti saya suka Stefano Ricci dan Hermes, istri saya sering belikan. Lihat aja pic (gambar) saya itu, sebagian kecil koleksi saya. Bagi saya itu hobi, bukan pamer,” kata pria yang sudah 20 tahun lebih menjadi pengacara ini.
ADVERTISEMENT
Perkataan Fredrich jelas jadi blunder--baginya maupun para pengacara. Publik mencibir dan berspekulasi soal kaum pengacara jetset, terutama pengacara kasus korupsi yang diduga memperoleh bayaran fantastis.
Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani justru senang. Menurutnya, apa yang dilakukan Fredrich--mengumbar aset kekayaan di hadapan publik--merupakan voluntary disclosure (pengungkapan aset secara sukarela).
Pengacara dan kemewahan bukan hal baru. Hotman Paris Hutapea--yang disebut-sebut Fredrich “pengacara top”--merupakan salah satu pengacara jetset di Indonesia. Ia punya ragam sebutan, mulai Raja Pailit, celebrity lawyer, sampai Bling-bling Lawyer oleh salah satu majalah Australia.
Penampilan parlente Hotman menjadi bukti kuat jika yang ia kenakan dari ujung rambut hingga ujung kaki bagai etalase uang berjalan. Mulai pakaian, berlian, hingga supercar Ferrari tunggangannya, tak ada yang murah. Semua mahal.
ADVERTISEMENT
Belum lagi, sejumlah supercar lain seperti Lamborghini, Hummer, Cadillac, dan Audi tercatat pernah menghiasi garasi rumahnya.
Tapi, Hotman tak cuma membeli, melainkan juga berinvestasi. Di bidang properti, ia membeli ruko-ruko di Jakarta dan Bandung untuk disewakan. Ruko-ruko itu tak sembarangan, sebab berada di kawasan elite seperti di Kelapa Gading, Thamrin City, Central Park, dan Cihampelas Bandung.
Hotman Paris yakin berinvestasi ruko akan lebih mudah mendatangkan keuntungan dibanding berinvestasi rumah.
Namun, melalui akun YouTube-nya, Hotman mengingatkan, pantang bagi pengacara yang sedang menangani kasus hukum untuk memamerkan kekayaannya. Hal tersebut, ujarnya, bisa berimbas pada klien yang perkaranya ia tangani.
“Hati-hati, di tingkat kasasi, bisa-bisa hukuman terdakwa berlipat ganda. Kasihan kliennya. Sementara pengacaranya hanya ketawa atau sedih sedikit saat kliennya dihukum berat. Yang masuk penjara adalah kliennya. Jadi, jangan pamerkan harta kekayaan, terutama saat membela perkara korupsi,” kata Wakil Ketua Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) itu.
ADVERTISEMENT
Secara terpisah, Hotma Sitompoel, pengacara papan atas lain di tanah air, tak menampik “kemewahan” bak identitas yang melekat pada para pengacara ternama.
Saat menyambangi kantor Hotma di Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron, Jakarta Utara, Selasa (5/11), kesan mewah dan megah terpancar jelas dalam desain interior bangunan itu.
Semerbak aroma harum menyambut kaki melangkah masuk ke ruangan kerja Hotma di lantai 5. Deretan patung menghiasi tiap sudut ruangan, mulai patung elang perunggu sampai patung Yesus dengan anak buta. Semua dikemas apik dengan nuansa klasik.
Interior kantor Hotma Sitompul (Foto: Dwi Herlambang Ade Putra/kumparan)
LBH Mawar Saron didirikan Hotma sejak 15 tahun lalu. Tak seperti firma hukum Hotma Sitompoel & Associates di Jakarta Pusat yang berbayar, LBH Mawar Saron khusus dibentuk dengan misi memberikan layanan hukum gratis bagi masyarakat miskin.
ADVERTISEMENT
Di sudut ruangan tunggu lantai satu LBH Mawar Saron, deretan bingkai foto Hotma tersusun rapi. Potretnya sejak zaman dulu hingga saat ini seakan menjadi bukti ia sudah makan asam garam di dunia hukum Indonesia.
Saat ditanya tentang makna desain interior ruangan-ruangan itu, Hotma menjawab enteng. “Nggak ada (arti khusus). Begini-begini saja. Ya, ada juga orang yang suka gaya minimalis. Saya sukanya yang begini, sih.”
Hotma mendesain ruang kerjanya bersama sang istri dan arsitek. Soal kenapa nuansa mewah begitu kental di dalamnya, Hotma punya alasan sendiri. Sebab, ujarnya, tamu-tamu yang datang kepadanya kerap orang penting, termasuk pejabat.
“Kenapa mesti megah? Yang datang ke sini kan orang gede-gedean juga. Jaksa Agung, Kapolri. Kan dia mesti lihat, gue bukan (pengacara) main-main, nih,” kata Hotma.
ADVERTISEMENT
Kemewahan itu, sambung Hotma, harus dibarengi pelayanan terbaik kepada klien-klien yang mencari keadilan lewat LBH Mawar Saron.
“Ada bahayanya kalau gedungmu hebat, tapi pelayanan kamu nol. Diketawain orang kamu. Dua jempol ke bawah. Gedung aja hebat, pelayanan norak. Tapi kalau gedung kamu bagus, pelayanan kamu luar biasa sama orang miskin itu, dua jempol,” ujarnya.
Dalam menopang aktivitasnya, Hotma menggunakan New Toyota Alpard 2017 yang di pasaran dibanderol sekitar Rp 1 miliar. Bentley Continental GT Supersport dan Porsche pun pernah menghiasi garasi rumahnya sebelum, ujar Hotma, kini dijual.
Terlahir dari keluarga kaya raya, beberapa tahun lalu Hotma suka bergonti-ganti supercar untuk memuaskan hobinya. Ia mengganti mobil mewah tiap dua tahun sekali. Alasannya, harga mobil kian turun dari pasaran jika ditahan terlalu lama.
ADVERTISEMENT
“Karena kalau dua tahun mobilnya hancur, udah turun harganya, udah mulai merongrong. Kalau beli (ganti) mobil, kan nambahnya nggak banyak,” ujarnya, tertawa.
Tapi, hobi itu tak lagi ia teruskan. Rupanya, Hotma ditegur anak sulungnya. Bila ingat itu, Hotma mengaku merasa malu.
“Enggak lagi. Cukuplah dulu. Saya suka malu juga lihat (diri saya) zaman dulu. Idiih, gilak, norak juga ya gua dulu,” katanya, kembali tergelak.
Hotma Sitompul (Foto: Tomy Wahyu Utomo/kumparan)
Meski berlabel pengacara jetset, Hotma enggan menunjukkan apa yang ia miliki di depan publik. Menurutnya, tolok ukur kemewahan tak melulu soal harta yang dimiliki.
“Dengan berlian banyak, dengan segala macam, kantor mewah, sukses loe? Oh, tentu kami mau dibilang sukses. Pengen dibilang sukses oleh siapa? Itu dulu,” kata Hotma.
ADVERTISEMENT
Pengacara yang sudah 40 tahun menyelami dunia advokat ini tak mempersalahkan para pengacara yang hidup bermewah-mewahan. Sebab, jalan yang ditempuh para pengacara dalam meraih kemewahan pun tak gampang. Mereka harus melewati berbagai rintangan dan kerja keras selama bertahun-tahun.
Tapi, ujar Hotma, tak perlu juga terlalu mengumbar soal kemewahan itu. Apalagi, stigma buruk pengacara di hadapan publik akan kian kuat karenanya.
“Hidup mewah. Mau mewah, mewah aja, enggak usah diomong-omongin. Kata orang, ‘Kok bisa sih bermewah-mewah di antara orang miskin?’ Kemewahan itu tidak ada yang salah, tapi orang membicarakan dan mencibir di belakang, meski di depan bilang, ‘Oh, naik mobil ini, hebat.’ Sadar nggak dengan cibiran itu.”
“Orang susah, sopir gak bisa bayar sekolah anaknya, lu hidup bermewah? Langit sudah tinggi, tidak perlu bilang dia tinggi,” kata Hotma.
ADVERTISEMENT
“Jadi kalau ditanya sukses itu apa, (bukan soal kemewahan). Orang yang sukses adalah orang yang paling berguna untuk banyak orang. Kalau untuk dirimu sendiri kau kaya raya, tapi tidak berguna bagi orang lain, jangan bilang sukses. Kaya raya, hidup sendiri bermewah-mewah, di samping ada orang susah tidak peduli. Sukses? Belum,” kata Hotma.
Ayah tiri dari penyanyi Bams eks band Samson itu tak menampik dia pun suka kemewahan.
“Jangan bilang saya munafik. Saya pernah mengalami zaman itu, menikmati kemewahan itu, tetapi tidak pernah lepas menolong orang. Mestinya kan begitu, seimbang,” kata dia.
Menolong orang-orang miskin yang mencari keadilan atas perkara yang menjerat mereka, jadi cara Hotma memperoleh keseimbangan, meski bayaran untuk itu tak besar.
Interior kantor Hotma Sitompul (Foto: Dwi Herlambang Ade Putra/kumparan)
Masalahnya, labelling mewah pada pengacara sudah begitu merasuk sampai ke kalangan muda yang mencita-citakan hidup mewah dengan merintis karier sebagai pengacara.
ADVERTISEMENT
Apalagi, menjadi rahasia umum bahwa pengacara yang menangani perkara besar akan mendapat bayaran fantastis. Mulai ratusan juta hingga miliaran rupiah. Mereka bisa dibayar per jam (hourly rate), borongan (contract), atau berkala (retainer), dengan upah tergantung pada bobot kesulitan satu kasus.
Hotma yang sering diundang untuk mengisi kuliah umum di Fakultas Hukum sejumlah universitas, kerap melemparkan pertanyaan kepada para calon sarjana hukum: mau menjadi apa ketika kelak lulus nanti?
Yang membuatnya terkejut, para mahasiwa itu menjawab: mau jadi pengacara karena ingin berharta banyak dan naik mobil keren.
Semua ini, kata Hotma, buah kesalahan dari para pengacara yang terlalu mengumbar kemewahan di depan publik.
“Itu kesalahan kami. Bicara (kemewahan) begitu salah,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Pengacara Todung Mulya Lubis mengamini ucapan Hotma. Menurutnya, tak perlu mempertontonkan kemewahan untuk menjaga martabat profesi pengacara di hadapan masyarakat.
“Mesti rendah hati. Jaga martabat profesi yang mulia ini. Kemewahan kan bukan segala-galanya. Ada yang senang kemewahan, ada yang enggak. Jangan kita menjual kemewahan,” kata Todung di kantornya, kawasan SCBD, Jakarta Selatan, Senin (4/12).
Jadi, suka mewah tak masalah. Tapi mengumbarnya--terlebih di negara dengan populasi penduduk kelas menengah ke bawah yang banyak, itu lain soal.